Renungan Harian

Renungan Malam Natal Kristen Selasa 24 Desember 2024 Lengkap Renungan dan Bacaan Alkitab

Renungan harian Kristen hari ini berjudul “Orang yang Sudah Berdamai Sejahtera Harus Berjuang Menghadirkan Damai Sejahtera bagi Sesamanya.”

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/DOY MELANO
Inilah renungan malam Natal Kristen Selasa 24 Desember 2024. Renungan harian Kristen hari ini berjudul “Orang yang Sudah Berdamai Sejahtera Harus Berjuang Menghadirkan Damai Sejahtera bagi Sesamanya.” 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Inilah renungan malam Natal Kristen Selasa 24 Desember 2024.

Renungan harian Kristen hari ini berjudul “Orang yang Sudah Berdamai Sejahtera Harus Berjuang Menghadirkan Damai Sejahtera bagi Sesamanya.”

Isi renungan Kristen hari ini diambil dari Bacaan Alkitab 1 Yesaya 9 : 1 – 6.

Lalu Mazmur: Mazmur 96 : 1 – 13, Bacaan 2: Titus 2 : 11 – 14 dan Bacaan 3: 2 : 1 – 14.

Semoga bacaan renungan malam Natal Kristen meneguhkan iman saudara.

Berikut ini renungan hari ini disadur dari gkjw.or.id.

[Cek Berita dan informasi Renungan Harian KLIK DISINI]

Baca renungan malan Natal Kristen

Kita tentu pernah mendengar sebuah ungkapan yang begini: “Orang itu akan merasa bahagia ketika melihat saudaranya sedih dan akan sedih ketika melihat saudaranya bahagia”. 

Entah siapa orang pertama yang mencetuskan ungkapan ini, kita tentu tidak dapat menelusurinya lebih jauh. 

Meskipun ungkapan ini hanyalah ungkapan yang bernuansa candaan, tetapi apabila ungkapan tersebut diungkapkan oleh seseorang yang benar-benar berhadapan dengan situasi yang sama persis, maka ungkapan tersebut dapat berubah menjadi keseriusan dan menciptakan ketegangan tertentu.

Dikatakan bahwa ungkapan tersebut bisa menciptakan suasana ketegangan antar hidup sesama bukanlah tanpa alasan. 

Bisa jadi orang lain yang mendengarkannya menjadi tersinggung terhadap seseorang yang mengungkapkannya. 

Orang lain dapat beranggapan bahwa keberadaannya tidak lebih daripada sosok yang selalu memiliki iri hati atas pencapaian yang dialami oleh orang lain, dipenuhi kedengkian atas sukacita yang dirasakannya, atau bahkan tertuduh memiliki rencana-rencana jahat terhadap seseorang yang mengungkapkan kalimat tersebut.

Terlepas dari ada atau tidaknya keseriusan dalam diri seseorang yang mengungkapkan kalimat tersebut, pada kenyataannya kita seringkali terjatuh pada pemaknaan bahwa perasaan “bahagia” atau “damai sejahtera” adalah perasaan yang sifatnya sangat pribadi atau personal. 

Memang tidak ada yang salah dengan pemaknaan itu, karena pada kenyataannya kita tidak bisa memaksakan perasaan bahagia atau damai sejahtera yang kita alami dapat menjadi perasaan bahagia dan damai sejahtera yang juga harus dialami oleh orang lain. 

Sebagai contoh: bagi sebagian orang, kegiatan memancing adalah kegiatan yang dapat menghadirkan kebahagiaan atau bahkan mampu menghadirkan kedamaian dalam hidupnya, sedangkan bagi orang lain belum tentu. 

Bagi sebagian orang pergi rekreasi ke pantai dan berjemur di sana adalah suatu kegiatan yang dapat menghadirkan kebahagiaan bahkan mampu menghadirkan kedamaian dalam hidupnya, sedangkan bagi orang lain belum tentu. 

Tentu masih ada begitu banyak kegiatan-kegiatan yang dianggap dapat menciptakan kebahagiaan atau damai sejahtera pribadi namun belum tentu dapat dirasakan oleh orang lain.

Sekali lagi tidak ada yang salah dengan pemaknaan bahwa bahagia atau kedamaian itu sifatnya personal. 

Namun akan menjadi masalah ketika dengan pemahaman tersebut kita jatuh pada ekstrim pemaknaan yang lain sehingga kita enggan atau ragu untuk mengupayakan dan menghadirkan kesenangan, kebahagiaan, dan damai sejahtera bagi orang lain dan orang-orang di sekitar kita: “saya kan tidak tahu apa yang menjadi sumber kebahagiaan atau damai sejahtera orang lain, sehingga saya tidak perlu susah-susah menghadirkannya.” 

Atau bahkan bisa jauh lebih ektrim lagi bila kemudian kita jatuh pada egosentrisme dengan hanya berfokus pada upaya membahagiakan atau mencari damai sejahtera diri sendiri.

Karya keselamatan yang dikerjakan Allah melalui Yesus Kristus tidak serta merta berbicara tentang anugerah keselamatan itu sendiri. 

Karena apabila karya keselamatan itu hanya berbicara tentang anugerah keselamatan itu sendiri, para Rasul dan nabi-nabi terdahulu tentu tidak akan repot-repot menceritakan detail-detail bagaimana cara Allah memberikan anugerah kesalamatan itu kepada manusia. 

Melalui detail-detail yang diceritakan dalam Alkitab tentang bagaimana cara Allah menyelamatkan manusia, kita diajak untuk berefleksi dan turut bekerja bersama Allah dalam menjalankan karya keselamatan tersebut.

Kisah kelahiran Tuhan Yesus yang diceritakan oleh Lukas diawali dengan dijalankannya kebijakan Kaisar Agustus untuk mendata jumlah segenap warganya. Kebijakan tersebut mendorong Yusuf dan Maria untuk berjalan dari kota Nazaret menuju ke Betlehem supaya keberadaan mereka turut terdaftar di dalamnya. 

Setelah proses pendataan keluarga Yusuf dan Maria itu selesai dilangsungkan, tibalah waktunya bagi Maria untuk melahirkan bayi Yesus yang ada dalam kandungannya. 

Dikarenakan tidak ada satupun penginapan yang tersedia bagi mereka, maka proses persalinan itupun dilakukan dengan fasilitas yang sangat sederhana, bahkan tidak layak. 

Bayi Yesus itupun dilahirkan di kandang domba, dibungkus dengan kain lampin, dan dibaringkan di palungan.

Sampai di sini, kita dapat berefleksi bahwa karya keselamatan Allah melalui Yesus Kristus dihadirkan melalui cara yang sederhana bagi manusia. 

Bahkan tidaklah salah apabila kita mengatakan bahwa kesederhanaan itupun juga dibalut dengan berbagai macam tantangan. 

Meskipun Lukas tidak menjelaskan tantangan-tantangan itu secara lebih mendetail (berbeda dengan Matius), namun kita pun tahu bahwa berbagai situasi yang dihadapi oleh Yusuf dan Maria pada detik-detik menjelang bayi Yesus dilahirkan adalah situasi yang tidak mudah. 

Singkatnya, karya keselamatan yang mendatangkan damai sejahtera itu dikerjakan oleh Allah melalui cara yang sederhana dan bahkan diliputi dengan berbagai macam tantangan.

Kita pun juga dapat mencoba menempatkan diri berada pada posisi Yusuf dan Maria yang pada kisah kelahiran Yesus ini menjadi perantara. 

Sejak awal mula Maria ditunjuk untuk mengandung bayi Yesus, posisi Maria pun diliputi dengan tantangan. 

Dalam tradisi Yahudi, hanya hukuman rajam yang pantas diberlakukan bagi seorang perempuan yang mengandung tanpa melalui proses pernikahan. 

Tentu Maria yang hidup dalam tradisi Yahudi sangat mengetahui tradisi tersebut, menerima tawaran dari Allah untuk menjadi sarana karya keselamatan Allah merupakan pergumulan yang tidak ringan bagi dirinya. 

Namun Maria pada akhirnya menyerahkan hidupnya untuk dapat menjadi perantara karya keselamatan Allah tersebut.

Demikian pula apabila kita menempatkan diri dalam posisi Yusuf yang pada saat itu mengetahui bahwa Maria mengandung bayi yang bukan berasal dari darah dagingnya secara langsung, tentu hal tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi seorang Yusuf. 

Yusuf benar-benar ditantang untuk dapat menerima kondisi itu, menempatkan suasana batin dan psikologis seturut dengan kehendak Allah. 

Jika Yusuf terbawa dalam egonya sebagai seorang laki-laki, jangankan mau tetap setia, menemani Maria berjuang dengan bayi Yesus yang dikandung sampai dengan proses kelahirannya, mungkin Yusuf sudah membatalkan pertunangan itu sejak semula.

Doa Penutup

Menghayati anugerah keselamatan hanya pada batas relasi antara diri sendiri dengan Allah adalah sikap yang tidak tepat, karena cerita-cerita yang mendahului bagaimana karya keselamatan itu bisa terjadi menegaskan kepada kita bahwa di antara tokoh-tokoh yang menjadi perantara karya keselamatan itu “diharuskan” menanggalkan ego diri mereka masing-masing, secara tidak langsung dituntut untuk tidak hanya memikirkan kebahagiaan dan damai sejahtera bagi diri mereka sendiri.

Nabi Yesaya yang menyampaikan nubuatan keselamatan bagi Israel, hidup dalam posisi yang tidak mudah. 

Dia bisa saja membiarkan bangsa itu tetap hidup dalam keputusasaan karena peperangan dan penindasan yang mereka alami. 

Yesaya yang tadinya merasakan kenyamanan seorang diri di tempat persembunyiannya (bnd. Yes 8:11-22), diharuskan keluar dari zona nyamannya untuk dapat menghadirkan damai sejahtera itu bagi segenap bangsa Israel, mewartakan janji keselamatan Tuhan Allah dengan segala tantangannya.

Bersyukur secara pribadi atas anugerah keselamatan yang diberikan Allah kepada kita adalah baik. 

Namun apabila hanya berhenti pada titik tersebut, bisa dikatakan bahwa kita hanya memikirkan damai sejahtera itu untuk diri sendiri. 

Sebagaimana surat Paulus kepada Titus dalam bacaan kedua kita, rasa syukur atas anugerah keselamatan Tuhan Allah itu harus diwujud-nyatakan dalam perubahan perilaku menuju ke arah yang lebih baik, dan kita berupaya dengan sekuat tenaga agar kebahagiaan dan damai sejahtera yang kita rasakan juga dapat dirasakan oleh sesama kita. 

Sesederhana apapun wujud kebahagiaan dan damai sejahtera itu, serta seberat apapun tantangan dalam kita mewartakannya, marilah kita bagikan kepada sesama kita. 

Kiranya Tuhan senantiasa memampukan kita.

Amin.

(*)

- Baca Berita Terbaru Lainnya di GOOGLE NEWS
- Dapatkan Berita Viral Via Saluran WhatsApp
!!!Membaca Bagi Pikiran Seperti Olahraga Bagi Tubuh!!!

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved