Sri Mulyani Sebut Indonesia Akan Menjadi Titik Terang Ekonomi Global yang Memburuk
sepertiga negara di dunia akan mengalami tekanan ekonomi dalam 4-6 bulan kedepan baik karena kesulitan akibat beban utang yang tinggi
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Ramalan terhadap kondisi ekonomi pada 2023 mendatang semakin santer terdengar.
Perang Rusia dengan Ukraina turut memberikan tekanan terhadap ekonomi secara global.
Tak hanya itu tingginya utang di sejumlah negara untuk menanggulangi dampak Covid-19 terus memicu berubahnya situasi ekonomi di beberapa negara di dunia.
• Sri Mulyani Ubah Pola Insentif Anak Buahnya, Cek Gaji PNS Kemenkeu Terbaru 2022
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan sepertiga negara di dunia akan mengalami tekanan ekonomi dalam 4-6 bulan kedepan baik karena kesulitan akibat beban utang yang tinggi, ditambah lemahnya fundamental makroekonomi dan isu stabilitas politik.
"Ini terjadi tidak saja di negara berkembang, namun juga kondisi di banyak negara maju," ujarnya melalui postingan instagramnya @smindrawati, Selasa 11 Oktober 2023.
Dalam postingan tersebut Sri Mulyani bertemu dengan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva.
“Bersua dan berdiskusi bersama teman lama, Kristalina Georgieva Managing Director of IMF, selalu menjadi momen yang menarik dan berharga bagi saya,” ujarnya.
Sri Mulyani menuturkan bahwa Kristalina justru memberikan apresiasi kepada Indonesia yang telah meraih pertumbuhan tinggi dengan kondisi stabilitas politik dan fundamental ekonomi yang kuat, di tengah kondisi dunia yang berat.
Sehingga dengan apresiasi tersebut, Sri Mulyani yakin Indonesia akan tetap menjadi titik terang dalam ekonomi global yang memburuk.
"Saya dan Kristalinaberpendapat untuk menghadapi krisis global yang saat ini tengah terjadi, diperlukan mekanisme untuk mitigasi risiko terjadinya resesi apabila kondisi ini benar-benar berlanjut," ujarya.
Ia menambhak mekanisme yang diterima oleh semua negara, baik negara maju dan negara berkembang, untuk membuat bantalan (buffer) agar negara-negara yang mengalami kesulitan dapat dibantu dan tidak terperosok kedalam jurang krisis dan resesi ekonomi yang lebih dalam.
“Indonesia akan terus aktif mendukung dirumuskannya opsi-opsi dan langkah konkret untuk memitigasi risiko multi krisis saat ini,” ujarnya.
Berikut adalah langkah-langkah yang harus dipersiapkan dalam menghadapi resesi ekonomi 2023:
Jangan buru-buru jual aset
Perencana Keuangan Mitra Rencana Edukasi Mike Rini Sutikno mengatakan, resesi ekonomi bukan berarti masyarakat harus berhenti berinvestasi. Atau bahkan menjual seluruh kepemilikan aset investasinya.
"Jangan buru-buru menjual aset investasi anda, karena takut hargannya turun, itu namanya bersikap panik," kata dia sebagaimana dikutip kompas.com
Mike menyadari, dalam kondisi perekonomian yang berada di dalam resesi, kinerja investasi cenderung menurun. Namun demikian, masyarakat disarankan untuk tidak serta merta menjual aset investasinya. Apalagi aset investasi yang dimiliki saat ini nilainya berada jauh di bawah harga beli.
Alih-alih menambah kepemilikan uang tunai, hal itu justru membuat masyarakat merugi.
"Jawabannya itu bukan menjual semua, lalu masukan ke tabungan, ke emas, itu panik. Jawabannya yang paling tepat adalah mengelola risiko investasinya, atau risk management," tuturnya.
Namun, di sisi lain masyarakat disarankan untuk tetap berinvestasi. Harapannya, di tengah lonjakan inflasi dana yang dimiliki masyarakat tidak tergerus, justru berkembang.
Ia pun merekomendasikan kepada masyarakat dengan fokus diversifikasi aset. Adapun dana yang digunakan untuk berinvestasi juga disarankan untuk tidak langsung dalam nominal besar.
"Jadi memang benar, kita harus tetap punya cash, investasi yang aman, betul. Dialokasikan secara proporsional," katanya.
Dia menambahkan, "Lalu dana investasi kita sebar lagi, kita juga bisa membeli investasi likuiditas tinggi, contoh reksa dana pasar uang."
Jangan berhenti investasi
Senada dengan Mike, Perencana Keuangan Alliance Group Indonesia Andy Nugroho mengatakan, dengan kondisi pasar yang fluktuatif, bukan berarti individu harus mengurangi atau bahkan berhenti investasi.
Menurutnya, saat ini individu masih dapat menempatkan dananya di instrumen investasi yang memiliki risiko rendah. Contohnya logam mulia, deposito, atau reksa dana berbasis pendapatan tetap.
"Jadi biar (dana) tetap bisa digunakan, dan dicairkan, namun kemungkinan melawan inflasi cukup kuat, kita bisa ditaruh di uang tunai atau instrumen investasi yang memang gampang dicairkan," tutur Andy.
Selain itu, sebenarnya individu juga masih bisa menempatkan dananya di instrumen investasi berisiko tinggi seperti saham. Namun, ini harus disesuaikan dengan profil investasi masing-masing individu.
Sebagaimana diketahui, profil risiko investasi secara umum terbagi menjadi tiga jenis yakni konservatif, moderat, dan agresif. Di mana konservatif memiliki profil risiko paling rendah, moderat profil risiko menengah, dan agresif profil risiko paling tinggi.
Untuk individu yang memiliki profil risiko konservatif, Andy tidak menyarankan untuk menempatkan dananya di instrumen investasi risiko tinggi, seperti saham.
Ia merekomendasikan seluruh dana investasi ditempatkan di instrumen investasi risiko rendah.
"Saya akan menyarankan saat ini lebih pada ke deposito misal 20 persen, kemudian logam mulia 20 persen, kemudian mau di reksa dana pendapatan tetap itu bisa di sekitar 30 persen, dan di surat berharga negara itu bisa berupa ORI atau sukuk ritel itu bisa 30 persen," tuturnya.
Sementara untuk profil risiko moderat, individu diperbolehkan untuk menempatkan dananya di produk reksa dana berbasis campuran. Akan tetapi, sebagian besar dana investasi disarankan untuk ditempatkan di produk investasi pendapatan tetap seperti deposito dan SBN.
"Mereka bisa meraciknya dengan mereka punya portofolio di SBN sebesar 30 persen, kemudian reksa dana berbasis campuran itu 40 persen, kemudian juga untuk deposito itu 15 persen dan logam mulia 15 persen," katanya.
Instrumen investasi berisiko tinggi seperti saham baru direkomendasikan kepada individu dengan profil risiko agresif. Bahkan, kepemilikan saham direkomendasikan mencapai 50 persen dari total portofolio investasi.
Akan tetapi, Andy mengingatkan, individu perlu untuk terus memantau kondisi fundamental perekonomian global. Ini guna meminimalisir potensi kerugian yang besar jika pasar saham berguguran nantinya.
"Teman-teman yang portofolionya agresif, saya akan menyarankan pasar saham 50 persen, kemudian mereka juga bisa masuk juga di reksa dana berbasis pasar saham 30 persen, kemudian obligasi ritel atau sukuk ritel 20 persen," ucap Andy. (*)
Cek Berita dan Artikel Mudah Diakses di Google News