Diskes Kalbar Ungkap Sejak Tiga Tahun Terakhir Sebanyak 5.110 Kasus DBD di Kalbar
“Upaya yang kita lakukan yakni melakukan pemantauan surveilans kasus DBD dalam rangka kewaspadaan dini terjadinya KLB,” ungkapnya.
Penulis: Anggita Putri | Editor: Try Juliansyah
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Provinsi Kalimantan Barat adalah salah satu provinsi di Indonesia yang endemis Demam Berdarah Dengue ( DBD ), dengan adanya kejadian DBD yang terjadi setiap tahun cenderung mengalami Kejadian Luar Biasa ( KLB ).
Penyakit DBD ini ditemukan di Provinsi Kalimantan Barat sejak tahun 1977 dengan angka kematian yang cukup tinggi.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat, Harry Agung menjelaskan jumlah kasus DBD sangat berfluktuatif mengikuti pola maksimal dan minimal kejadian DBD.
Namun bila dilihat dari angka kasus yang dilaporkan oleh kabupaten/kota, jumlah kasus cenderung meningkat sementara jumlah kematian cenderung menurun.
• Responden Penelitian Survei Kota Layak Huni di Pontianak Libatkan 10 Kelurahan
“Sebaran penularan penyakit DBD semakin tahun semakin meluas dan tidak hanya terdapat didaerah perkotaan. Namun juga ditemukan didaerah pedalaman dataran tinggi,”ujarnya kepada Tribun Pontianak, Selasa 23 Agustus 2022.
Ia mengatakan KLB pertama kali terjadi di Provinsi Kalimantan Barat pada tahun 1983, dimana angka kematian (CFR) mencapai 60 persen. Sementara angka kejadian (IR) masih dibawah 1 per 100.000 penduduk.
Kemudian KLB terjadi lagi berturut –turut pada 1986, tahun 1991, tahun 1997, tahun 1999, tahun 2002 , tahun 2006 dan yang baru terjadi tahun 2009 dengan Incident Rate 161,56 per 100.000 penduduk dan angka kematian (CFR) 2,03 persen.
“Dengan melihat rerata tahun kejadian KLB DBD tersebut. Maka pola kejadian KLB DBD di Provinsi Kalimantan Barat adalah siklus 5 tahunan,”ungkapnya.
Distribusi kejadian DBD per kabupaten/kota dalam 3 (tiga) tahun terakhir, di tahun 2019 ada 2978 kasus kesakitan dan 21 kasus kematian.
“Saat itu di tahun 2019 kaus kesakitan tertinggi terjadi di kabupaten ketapang dengan 707 kasus kesakitan dan 5 kasus kematian,”ungkap Harry.
Lalu di tahun 2020 terdapat 784 kasus kesakitan dan 4 kasus kematian. Dengan kasus kesakitan tertinggi terjadi kembali di kabupaten Ketapang dengan 223 kasus dan 1 kasus kematian.
Tahun 2021 terdapat 663 kasus kesakitan dan 6 kasus kematian, kasus kesakitan tertinggi terjadi di kabupaten Landak dengan 137 kasus dan 2 kasus kematian ( pasien konfirmasi Covid ).
Tahun 2022 sampai bulan Agustus terdapat 685 kasus dan 10 kasus kematian, kasus kesakitan tertinggi di kab. Kapuas Hulu dengan 162 kasus dan 2 kasus kematian.
“Kalau kita lihat jika dibandingkan jumlah kasus DBD pada tahun 2019, 2020 jumlah kasus pada tahun 2021 maka telah terjadi penurunan kasus namun ada kecendrungan kenaikan kasus pada tahun 2022,”ungkapnya.
Berdasarkan hasil surveilans kasus Tahun 2022 minggu ke – 1 sampai dengan minggu ke 32 telah terjadi kecenderungan kenaikan kasus DBD di beberapa kabupaten/kota yang endemis DBD.
“Kami dari Provinsi telah memberikan warning dan himbauan ke Diskes kabupaten/kota Se-Kalbar, untuk melakukan langkah-langkah antisipasi pencegahan terjadinya KLB DBD,”tegasnya.
Langkah antisipasi tersebut dengan melakukan pemutusan rantai penularan melalui kegiatan foging focus dua siklus dan menggerakan kegiatan PSN 3 M Plus secara berkala dalam rangka membunuh jentik Aedes Aegypty di rumah-rumah penduduk.
Ia mengatakan sejauh ini kegiatan pencegahan DBD belum dilaksanakan secara maksimal oleh kabupaten/kota.
“Hal ini dapat kita lihat dari hasil pelaksanaan pemantauan jentik berkala (PJB). Dari laporan hasil PJB dalam tiga tahun terakhir didapatkan hasil angka bebas jentik (ABJ) di beberapa kab/kota masih antara 40-50 persen,”ungkapnya.
Sementara standart yang diharapkan adalah lebih dari 95 Persen. Hal itu diakuinya karena kurangnya kesadaran masyarakat untuk melakukan pemantauan jentik di tempat tinggalnya.
“Adanya pemahaman yang salah dimasyarakat bahwa upaya yang paling efektif untuk menekan kejadian DBD bukan dengan foging yang sangat mempengaruhi kejadian DBD. Disamping itu perhatian dari pemerintah daerah dalam mendukung kegiatan penanggulangan DBD belum maksimal,”tegasnya.
Dikatakannya Diskes Provinsi telah berupaya dalam penanggulan KLB DBD seiring dengan masuknya laporan kasus DBD dari Kabupaten/ Kota dan bentuk respon cepat penanggulangan DBD untuk mencegah terjadinya KLB pada Kabupaten/Kota, serta menekan angka kejadian DBD serta mencegah kematian akibat DBD.
“Upaya yang kita lakukan yakni melakukan pemantauan surveilans kasus DBD dalam rangka kewaspadaan dini terjadinya KLB,” ungkapnya.
Upaya lainnya yakni dengan melakulan Koordinasi dengan Kabupaten Kota, pencegahan dilakukan melalui KIE dan Peran Serta Masyarakat melalui PSN-3M Plus.
Selanjutnya, Melakukan investigasi dan Penyelidikan Epidemiologi (PE) bersama dengan Tim Diskes kabupaten/kota dengan tujuan mengetahui kondisi penderita DBD di rumah sakit dan Puskesmas, serta mellihat lingkungan tempat tinggal penderita DBD untuk menentukan langkah-langkah penanggulangan selanjutnya.
Lalu mendistribusikan logistik penangulangan DBD yaitu Insektisida dan Abate ke kabupaten/kota berdasarkan permintaan dari Dinkes Kab/Kota yang membutuhkan. (*)
Cek Berita dan Artikel Mudah Diakses di Google News