Prof Dr Ibrahim Ungkap Moderasi Beragama Merupakan Jalan Penguat NKRI
Salah satu pemateri dalam kegiatan tersebut adalah Prof. Dr. Ibrahim, M.A, Guru Besar Ilmu Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Pontianak.
Penulis: Muhammad Rokib | Editor: Hamdan Darsani
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Sebagai program unggulan, kementerian Agama terus menggalakkan pelatihan dan bimbingan terkait penguatan moderasi beragama dalam semua aspek dan bidang kerja di bawah koordinasi kementerian Agama.
Yang terbaru adalah dilaksanakannya kegiatan bimbingan teknis Penguatan Kompetensi Penceramah Agama Islam di seluruh wilayah kementerian Agama Kalimantan Barat. Kegiatan yang diinisiasi oleh bidang PENAISZAWA ini dilaksanakan di ballroom hotel Garuda Pontianak berlangsung sejak 22 sampai 23 Juni 2022 dengan menghadirkan pemateri dari berbagai organisasi soal kemasyarakatan yang terkait dengan pendidikan moderasi seperti MUI, FKPT, Kodam, dan LTN NU.
Salah satu pemateri dalam kegiatan tersebut adalah Prof. Dr. Ibrahim, M.A, Guru Besar Ilmu Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Pontianak, dan juga Ketua Lembaga Taklif Wan Nashr (LTN) Nahdlatul Ulama Kalimantan Barat.
• Penyuluh Agama Islam Ikut Kegiatan Penguatan Moderasi Beragama dan Wawasan Kebangsaan
Sesuai tema yang diberikan oleh panitia tentang Pengarusutamaan Moderasi Beragama, serta hubungan Negara, Agama dan Budaya itu, Prof. Ibrahim menjelaskan bahwa moderasi beragama adalah cara pandang, cara bersikap dan berperilaku yang tidak ekstrim (tidak terlalu fanatik tidak juga terlampau liberal), tapi mengambil jalan (tawasuth), bersikap adil (ta'addul), menjaga keseimbangan (tawazun), dan toleran (tasamuh) dengan segala perbedaan, termasuk dalam beragama.
"Moderasi beragama mesti menjadi perhatian penting bagi semua elemen bangsa, lebih-lebih bagi ASN/ Lembaga/ ormas/ dan lain sebagainya yang berada di bawah koordinasi dan pembinaan Kementerian Agama. Termasuk para aktivis dakwah (penceramah)," katanya.
Menurutnya, Moderasi beragama mesti menjadi dasar berpikir, bertindak dan berprilaku bagi semua elemen bangsa ini. Realitas keragaman agama dan budaya kita saat ini mengharuskan setiap kita mampu menerima perbedaan, menempatkan perbedaan secara baik dan benar, menjadikan perbedaan sebagai modal sosial yang bersifat positif konstruktif dan sinergi harmonis merupakan sebuah keniscayaan.
Ia berpendapat bahwa Moderasi beragama yang menempatkan hubungan negara, agama dan budaya sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi dan menyempurnakan, menjadi syarat bagi keberlangsungan NKRI. Sebab keragaman adalah syarat bagi wujudnya kesatuan. Tampa keragaman tidak akan ada kesatuan. Sebaliknya, kesatuan menjadi penting ketika terpeliharanya keragaman itu dengan baik dan harmonis.
“Dalam konteks penguatan (pengarus-utamaan) moderasi bergama, penting untuk kita fahami bahwa adanya peran hubungan yang kuat antara negara, agama dan budaya. Bahwa NKRI sebagai pilihan sistem bernegara kita hari ini sesungguhnya lahir dari nilai ke-agamaan dan budaya lokal masyarakat Indonesia. Begitupun dengan Pancasila yang dipilih sebagai ideologi berbangsa dan bernegara tidak lain adalah wujud dari nilai-nilai agama dan budaya Indonesia," ujarnya.
NKRI memang bukan sistem pemerintahan agama (sebagaimana dalam terminologi khilafah dalam Islam), tapi ia memiliki nilai luhur yang sangat sejalan dengan Islam. Pancasila juga bukan diambil dari terminologi normative agama (al-qur`an dan hadits), akan tetapi nilai kelima sila dalam Pancasila seluruhnya mencerminkan nilai Islam dan misi rahmatan lil `alamin.
"Dengan begitu, apakah masih patut untuk kita berteriak menghujat bahwa NKRI itu adalah sistem bernegara yang thorut, Pancasila itu ideologi negara kafir, dan sebagainya," lanjutnya.
Penguatan moderasi beragama mesti menjadi pegangan prinsip bagi setiap kita, terutama para penceramah dalam menjalankan tugas dakwahnya. Pastikan dengan prinsip moderasinya, dakwah senantiasa disampaikan dalam bahasa yang santun dan lemah lembut (qaulan layyinan), bernas dan menyejukkan (qaulan sadidan), memuliakan dan tidak merendahkan orang lain yang mendengarkan (qaulan kariiman, qaulan ma`rufan).
Dengan prinsip moderasi beragama, lanjutnya, pastikan pesan dakwah yang disampaikan mampu membawa umat pada ketenangan jiwa, kebersihan hati dan pikiran dari dengki dan caci maki, dan ujaran kebencian.
Sebaliknya, sampaikan pesan dakwah yang memunculkan sifat ketawaduan dan kebaikan akhlak umat. Pastikan dakwah yang disampaikan tidak membawa umat untuk melakukan perlawanan dan anarkisme, tidak membawa ummat untuk berlomba-lomba membuka aib sesama, menghujat dan saling mencaci maki dan sebagainya.
“Penguatan moderasi beragama bagi para penceramah, menegasikan bahwa ada peran penting yang harus dipikul oleh seluruh elemen bangsa, termasuk para penceramah dalam menjaga dan memelihara keutuhan NKRI dan Pancasila. Sebab, melalui lisan para penceramah inilah umat akan mendapatkan pencerahan dalam memahami perbedaan, memahami hubungan sinergisitas antara negara, agama dan budaya. Bukan sebaliknya, memecah-belah dan memprovokasi perlawanan umat," Pungkas Guru Besar Komunikasi Penyiaran Islam IAIN Pontianak ini. (*)
Cek Berita dan Artikel Mudah Diakses di Google News