Khazanah Islam
Khutbah Jumat Terbaru 11 Juni 2021 Tema Kesatuan Empat Pilar dalam Kehidupan Islam
Manusia harus memahami bahwa kehidupan di bumi ini tidak lain adalah perjuangan dan pengorbanan.......................................................
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya."
Memperhatikan ayat tersebut, ada tututan bagi manusia untuk berfikir demi menghasilkan suatu hal yang bermanfaat bagi manusia.
Jika hal yang dianjurkan tersebut tidak tercapai, maka manusia dalam fungsinya sebagai khalifah gagal menjalankan misi kehidupan.
Maka pantaslah jika Allah kemudian memberi peringatan keras kepada manusia dengan menjatuhkan derajat kemanusiaannya menjadi tidak bermartabat di tengah-tengah masyarakatnya.
"Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)." (Surat At Tin ayat 5)
Menurut ayat dalam Surat At Tin itu, berarti manusia menempati posisi makhluk paling rendah, karena memang ia tidak memiliki kesadaran untuk membangun, baik bagi dirinya sendiri, tetangganya, saudaranya, dan bahkan bagi orang lain.
Hal itu bisa terjadi karena kebodohannya itu sealalu menyelimuti dirinya, maka jauhilah dan perangilah kebodohan itu .
Pepatah mengatakan :
"Kebodohan itu menjadi musuh paling membahayakan bagi manusia."
Maka membacalah, belajarlah, berlatihlah, dan berfikirlah, karena secara filosofis eksistensi manusia justru karena dia mau berfikir (cogito ergo sum).
Oleh sebab itu jauhilah menjadi manusia yang memiliki sikap kedunguan dan kebodohan.
2) Tadabbur
Istilah ini merupakan rentetan kedua setelah manusia mau berfikir.
Hasil dari pemikiran manusia kemudian dicerna, dipahami, dimengerti kemudian menjadi suatu kesadaran.
Bahwa manusia adalah makhluk sosial harus selalu memperhatikan fenomena yang ada di alam semesta ini.
Hal itu sangat jelas disinggung dalam pepatah yang mengatakan tafakkaru fi al-khalq wala tafakkaru fi al-Khaliq (Pikirkanlah apa-apa yang diciptakan Allah, dan jangan kau pikirkan dzat Allah).
Kenyataan itu menyadarkan kita, bahwa manusia dituntut untuk memikirkan ciptaan Allah, tetapi manusia perlu menyadari pula bahwa dirinya tidak akan mampu memikiran zat Allah karena memang tidak akan mampu memikirkan hal itu.
Jangankan manusia memikirkan tentang Dzat Allah, berpikir tentang ruh ciptaan Allah saja ditanggung tidak akan mampu mencapainya, Allah berfirman :
"Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah; ruh itu termasuk urusan Tuhan ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit." ( Surat Al Isra ayat 85).
Menyadari hal tersebut manusia dituntut merenungkan dengan kesadaran atas kelemahannya itu.
Ia kemudian akan mampu mencapai tingkatan kepercayaan yang kokoh dalam beriman.
Saat seperti itulah manusia sedang melakukan apa yang dikenal sebagai tadabbur.
Kenyataan untuk merenungkan keadaan yang terjadi di alam semesta ini, pernah dilakukan Rasulullah ketika beliau ber-tahannuth mencari petunjuk dan arah perjuangan dalam kehidupan religiusnya.
Kemudian Allah menurunkan petunjukNya untuk menjalankan arah perjuangannya melalui ayat-ayat Alquran yang diturunkan kepadanya.
Kronologi perjalanan pemikiran manusia menuju tercapainya kesadarannya manusiawi terhadap hakikat keimanan kepada Allah itu, dapat membawa sisi religiusitasnya menuju tingkatan yang tertinggi yakni iman dan tawakal.
Keimanan dan ketawakalan manusia terhadap Penciptanya itu, pada gilirannya membawa kesadaran dirinya untuk selalu berada pada tingkatan lebih tinggi melalui berzikir, sebagaimana dibahas selanjutnya.
3) Tadzakkur
Kenyataan kehidupan yang ada dalam kehidupan manusia dan makhluk lain di alam semesta ini dapat dijadikan sebagai alat manusia untuk selalu mengingat kepada para pencipta alam semesta itu.
Allah di dalam Surat Adz Dzariyat menyindir perilaku dan kesadaran manusia sebagai berikut;
"Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan? Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu." (Surat Adz Dzariyat ayat 20-22)
Dengan sindiran Allah terhadap manusia seperti itu, selayaknya menindak lanjuti dengan pemahaman dan kesadaran yang paling mendalam untuk membawa dirinya kepada kenyataan transendental melalui kepercayaan yang mendalam terhadap kekuasaan Allah.
Pernyataan manusia yang terdalam dalam hati nuraninya itu merupakan hasil dari perjalanan berfikir.
Menyadari melalui renungan (tadabbur) dan kemudian ia mampu membawa dirinya ke posisi pengakuan mendalam atas ke Maha Kuasa Allah melalui zikir.
Kegiatan berzikir ini tidak terbatas dan tidak mengenal ruang dan waktu.
Artinya kapanpun, dimanapun, dan dalam keadaan bagaimanapn (whenever, whereever, dan whatever).
Manusia dengan demikian selalu dituntut menyadari integritasnya sebagai makhluk yang selalu harus bergantung diri kepada Allah sebagai Penciptanya.
Perhatikan kemudian firman Allah yang menerangkan tentang ulul al-bab (orang yang sadar atas keilmuan) sebagai berikut;
"(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata); Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.' (Surat Ali Imran ayat 191)
Melalui sikap kesadaran kerahanian terhadap Tuhannya, manusia mampu meletakkan dirinya pada posisi hakikinya sebagai makhluk.
Tentunya Allah kemudian akan memberinya posisi ketentraman hdiupnya di alam semesta ini untuk kemudian dia membuktikan hasil perbuatannya di akhirat kelak.
Allah menegaskan dalam Alquran ala bi dzikrillahi tathmainna al-qulub.
"Bukankan melalui kesadaran zikir manusia mencapai ketentraman hatinya."
Begitulah zikir memiliki posisi strategis dalam membawa perasaan ketentraman manusia di bumi ini.
4) Ta' abbud
Pilar terakhir yang perlu menjadi kesadaran manusia sebagai hamba Allah adalah bagaimana mampu mengakui dirinya sebagai 'hamba' untuk selalu menghambaksan diri kepadaNya.
Jadi adanya berbagai proses dalam tingkatan kehidupan, baik kehidupan duniawi maupun ukhrawi tidak lain untuk mencari sisi kebahagiaan yang dijanjikan Allah di akhirat nanti yakni melalui berta’abbud.
Hal itu wajib disadari manusia untuk menjawab tuntutan kehidupan.
Manusia dicipta hanyalah untuk membuktikan bahwa dirinya sebagai hamba yang wajib menghambakan diri kepada Tuhannya, sebagaimana konsep hidup itu tertera dalam Alquran sebagai berikut :
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku). (QS. Adz Dzariyat/51 : 56)
Kenyataan yang harus diakui bahwa manusia adalah 'hamba' yang berarti selalu menghambakan diri kepada tuannya.
Oleh karena itu ia harus mampu menyatakan ikrarnya melalui kalimat heroik ketuhanan, laa ilaaha illallaah, Muhammadur Rasulullah
(Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai utusan Allah).
Jabaran gambaran pengejawatahan kalimah heroik tadi dapat dirasakan dalam apa yang dekat sebagai Sayyid Al Istighfar.
اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوءُ بِذَنْبِي اغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ
"Ya Allah Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan selain Engkau, Engkau telah menciptakan aku.
Aku adalah hamba-Mu, dan aku berada dalam perjanjia dengan-Mu untuk beriman tunduk dan patuh-semampu yang aku lakukan.
Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang telah aku perbuat dan aku mengakui atas segala nikmat yang telah Engkau berikan dan aku juga mengakui segala dosa yang telah aku perbuat.
Oleh karena itu ampuilah aku, karena tidak ada yang dapat mengampuninya kecuali Engkau." (HR Bukhari dari sahabat Syaddat ibn Aus).
Melalui pernyataan secara primordial itu, manusia hanya bisa memohon dan berharap semoga semua tindakan, perilaku, dan amalannya itu tidak lain hanyalah untuk menggapai keridhaan-Nya.
Sehingga manusia bisa mencapai apa yang dijanjikan Allah sebagaimana yang selalu dilantunkan dalam akhir doanya.
"Rabbana aatina fid dunya hasanah wa fil aakhirati hasanah wa qinaa ‘adzaaban naar." Amin.
Khutbah II
بارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإيَّاكُمْ ِبمَا ِفيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذكْر ِالْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ
Artikel ini telah tayang di TribunJateng.com dengan judul Khutbah Jumat Singkat Kesatuan Empat Pilar dalam Kehidupan Islam
(*)