Kecelakaan Penerbangan SJ-182 dan Ganti Kerugian Korban

Penyebab kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ-182 itu masih dalam proses penyelidikan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).

Editor: Dhita Mutiasari
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/ISTIMEWA
Dekan dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara (Untar) Jakarta Prof Dr Amad Sudiro SH MH MKn MM. 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Di awal tahun 2021, duka kembali meliputi tanah air khususnya dunia industri penerbangan Indonesia.

Sabtu 9 Januari 2021 terjadi kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ-182 yang jatuh ke laut Jawa sekitar Kepulauan Seribu beberapa menit setelah lepas landas dari bandara Soekarno Hatta Jakarta menuju Pontianak dengan mengangkut 50 penumpang di dalamnya.

Pesawat jenis Boeing 737-500 yang berusia 27 tahun itu jatuh dan hancur, sehingga menimbulkan korban jiwa 50 penumpang dan 12 awak kabin pesawat.

Kecelakan pesawat Sriwijaya SJ-182 ini sebagai bencana penerbangan terbesar di tanah air sejak kecelakaan pesawat Lion Air JT-160 Jenis Boeing 737-8 MAX yang jatuh di perairan laut Jawa sekitar Kerawang setelah lepas landas dari bandara Soekarno Hatta menuju Pangkal Pinang, dan mengakibatkan 189 orang meninggal dunia pada tanggal 29 Oktober 2018.

Penyebab kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ-182 itu masih dalam proses penyelidikan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).

Baca juga: Dua Jenazah Suami Istri Asal Ketapang Penumpang Sriwijaya Air Tiba di Bandara Supadio

Baca juga: Tangis Haru Selimuti Pemakaman Dinda Amelia Korban Pesawat Sriwijaya Air

Baca juga: Isak Tangis Sambut Jenazah Ibu dan Anak Penumpang Pesawat Sriwijaya Air Tiba di Rumah Duka

Namun ada dugaan bahwa cuaca buruk saat itu, bukan sebagai faktor tunggal yang menyebabkan pesawat Sriwijaya Air SJ-182 jatuh di perairan laut Jawa sekitar Kepulauan Seribu.

Dekan dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara (Untar) Jakarta Prof Dr Amad Sudiro SH MH MKn MM menyatakan, belajar dari kejadian demi kejadian yang terus berulang dalam kecelakaan pesawat di dunia industri penerbangan Indonesia, maka sudah saatnya pemerintah sebagai regulator segera membenahi seluruh regulasi tentang tata kelola industri penerbangan Indonesia secara komprehensif, khususnya masalah keamanan dan keselamatan penerbangan.

“Selain itu, pelaksanaan pengawasan yang sangat ketat dan tidak ada toleransi dalam evaluasi aspek keamanan dan keselamatan penerbangan Indonesia. Hal ini sebagai suatu keharusan dan sebagai salah satu tindakan mitigasi untuk mencegah terjadinya kembali kecelakaan pesawat atau peristiwa yang dapat merugikan konsumen penerbangan ke depan,” kata Prof Amad Sudiro.

Dengan tidak mengurangi rasa duka kepada para korban kecelakaan pesawat Sriwijaya SJ-182, jelas Prof Amad Sudiro, dalam peristiwa kecelakan itu terdapat hak-hak ahli waris korban yang harus diperhatikan dan dipenuhi oleh para pihak yang dianggap bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan tersebut.

“Ganti kerugian/kompensasi sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan penerbangan/pengangkut terhadap ahli waris korban kecelakaan pesawat sesuai dengan Pasal 141 Undang-Undang No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, dan Pasal 2 jo Pasal 3 Peraruran Menteri Perhubungan (PerMenHub) No PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, serta ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK).

Namun ganti kerugian/ kompensasi dari Pengangkut ini tidak mengurangi dan tidak melepaskan pihak-pihak lain yang diduga turut bertanggung jawab juga untuk tetap dituntut ganti kerugian atas terjadinya kecelakaan pesawat Sriwijaya SJ-182 jenis Boeing 737- 500 tersebut,” jelasnya.

Prof Dr Amad Sudiro menyatakan, mengkaji dari kejadian Lion Air JT 610 29 Oktober 2018, para keluarga/ahli waris mendapati kenyataan bahwa, Pertama, keluarga tanpa pendampingan ahli hukum atau pengacara, secara sepihak diarahkan oleh pihak maskapai untuk memberikan pelepasan dan pembebasan dari sanksi perdata maupun pidana kepada pihak maskapai dan pabrikan pesawat untuk menerima santunan sebesar Rp 1.250.000.000 ditambah Rp 50.000.000 ekstra santunan dari maskapai dan pabrikan pesawat terbang.

“Para keluarga yang oleh karena terdesak kebutuhan maka menerima dana santunan Rp 1.300.000.000. Dengan menerima dan menandatangani R&D (release and discharge dengan terjemahan bebasnya adalah pelepasan dan pembebasan) pihak keluarga dan ahli waris tidak bisa menuntut baik pidana maupun perdata kepada maskapai penerbangan dan pabrikan pesawat beserta sekitar 1.000 supplier dan subkontraktor dari pabrikan pesawat di Amerika Serikat,” lanjutnya.

Prof Amad Sudiro mengatakan, banyak keluarga yang terlanjur menandatangani R&D mengalami kesedihan kedua kalinya karena tidak bisa mendapatkan santunan dari pihak pabrikan pesawat di Amerika Serikat menurut Undang-Undang Amerika Serikat.

Ia menjelaskan, Permenhub No 77 Tahun 2011 Bab VI Pasal 23 berbunyi “Besaran ganti kerugian yang diatur dalam peraturan ini tidak menutup kesempatan kepada penumpang, ahli waris, penerima kargo, atau pihak ketiga untuk menuntut pengangkut ke pengadilan negeri di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau melalui abritrase atau alternatif penyelesaian sengketa lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved