Putut Prabantoro: The New Normal Sebagai Wujudkan The New Indonesia

sebagai momentum bagi bangsa Indonesia untuk bangkit dan membenahi kehidupannya kembali.

Penulis: Stefanus Akim | Editor: Stefanus Akim
IST
PUTUT PRABANTORO 

JAKARTA - Protokol New Normal yang diputuskan pemerintah untuk diberlakukan harus dilihat sebagai momentum bagi bangsa Indonesia untuk bangkit dan membenahi kehidupannya kembali.

Momentum ini harus dilihat sebagai langkah awal untuk mewujudkan ketahanan nasional (Tannas) yang akan dan harus diwujudkan dan dimulai dari kondisi New Normal. Oleh karena itu, dalam konteks New Normal, pemerintah tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri tetapi harus dibantu agar terwujud “The New Indonesia”.

Demikian dijelaskan alumnus Lemhannas PPSA XXI, AM Putut Prabantoro, yang juga Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) di Jakarta, Senin (25/05/2020).

Putut Prabantoro, mengatakan jika dapat diibaratkan, melawan Covid-19 adalah perang yang sesungguhnya dan seluruh dunia saat ini berperang melawan virus ini agar dapat kembali ke kehidupan normal.

Dan Kodiklat TNI Mayjen TNI Benny Indra Pujihastono, Dan Pusdikma Kodiklat TNI Brigjen TNI Herianto Syahputra dan Alumnus Lemhannas RI PPSA XXI, AM Putut Prabantoro saat mengunjungi karya bakti di desa Semanu, Wonosari, Yogyakarta, Kamis (20/09/2019)
Dan Kodiklat TNI Mayjen TNI Benny Indra Pujihastono, Dan Pusdikma Kodiklat TNI Brigjen TNI Herianto Syahputra dan Alumnus Lemhannas RI PPSA XXI, AM Putut Prabantoro saat mengunjungi karya bakti di desa Semanu, Wonosari, Yogyakarta, Kamis (20/09/2019) (TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/ISTIMEWA)

Prihatinnya, perang ini sungguh sulit ditentukan kapan berakhir dan dimenangkan mengingat musuh yang dihadapi tak nampak meski ketakutan atau teror yang dibuatnya sudah sangat berdampak pada kehidupan sehari-hari.

Covid sebagai musuh tak nampak ini, demikian dijelaskan, mengingatkan semua bangsa terhadap tiga ‘senjata utama” yang harus dimiliki untuk memenangkan perang. Perang dimenangkan jika suatu bangsa memiliki ketahanan di bidang pangan, air dan enerji, yang merupakan senjata utama.

PUTUT PRABANTORO
PUTUT PRABANTORO (IST)

Tanpa memiliki tiga senjata utama ini, perang tidak akan dimenangkan oleh bangsa Indonesia. Hal ini bisa dilihat saat masa darurat dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diberlakukan, kekhawatiran utama yang muncul adalah apakah pangan masih tersedia.

“Setidaknya dalam waktu satu bulan sudah dua kali yakni April dan Mei 2020, Presiden Joko Widodo mengingatkan masyarakat Indonesia tentang ancaman krisis pangan. Dalam konteks ini, mengingat waktu perang melawan covid tidak berbatas, peringatan Presiden Joko Widodo harus diartikan sebagai kondisi sangat mendesak untuk mewujudkan ketahanan pangan. Jika tidak ada pangan apakah kita tidak akan menanam sendiri, apakah tanahnya ada, dan apakah masyarakat Indonesia mau kembali ke sawah?” tegas Putut Prabantoro.

Alumnus PPSA XXI ini juga menekankan, pembentukan karakter bangsa Indonesia, sebagai contoh lain, harus dibangun kembali dengan pendekatan berbeda agar The New Indonesia juga memiliki warga negara yang memiliki wawasan baru dalam ketahanan nasional. Tanpa pembentukan karakter dengan cara yang berbeda, bangsa Indonesia tidak akan mampu menghadapi tantangan global menuju Tahun Emas 2045.

DISKUSI - Uskup Militer Italia, Mgr Santo Marciano berdiskusi dengan Alumnus Lemhannas RI PPSA XXI, AM Putut Prabantoro (berbatik), dalam kapasitasnya sebagai Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa), didampingi Pastor Leo Mali Pr dari Keuskupan Agung Kupang, NTT, di Roma, Italia, Rabu (5/6/2019).
DISKUSI - Uskup Militer Italia, Mgr Santo Marciano berdiskusi dengan Alumnus Lemhannas RI PPSA XXI, AM Putut Prabantoro (berbatik), dalam kapasitasnya sebagai Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa), didampingi Pastor Leo Mali Pr dari Keuskupan Agung Kupang, NTT, di Roma, Italia, Rabu (5/6/2019). (Tribunpontianak.co.id/Stefanus Akim)

“Sebagai musuh tak berwujud, Covid tanpa disadari sebenarnya membuka takbir karakter asli suatu bangsa. Secara halus tetapi pasti, Covid memetakan karakter suatu bangsa ketika menghadapi ancaman yang memunculkan batas jelas antara kehidupan dan kematian, antara teknologi dan agama, antara kenyataan dan hoax, atau antara akal sehat dan emosi. Berbagai pertanyaan dapat diajukan termasuk, apakah Indonesia termasuk bangsa yang cuek atau terserah, tahan banting, disiplin, percaya pemerintah, termakan adu domba dan hoax, atau juga bangsa yang bertanggung jawab ?” tanya Putut Prabantoro

Bagi pria asal Yogyakarta ini, The New Normal diandaikan akan mampu menghadirkan The New Indonesia, yang mengajarkan bagaimana harus menjadi bangsa mandiri dan berdaulat serta tidak tergantung pada bangsa lain.

Covid membuka mata manusia bagaimana langit biru sesungguhnya yang senantiasa terpolusi sebelum pademi itu datang. Melalui The New Normal, bangsa Indonesia akan terus melihat langit biru yang diwujudkan dalam The New Indonesia yang memperhatikan lingkungannya.

Paus Fransiskus menandatangani Berkat Damai untuk Bangsa Indonesia yang disodorkan AM Putut Prabantoro dalam audiensi umum di Lapangan Santo Petrus, Vatikan, Rabu (16/10/2019).
Paus Fransiskus menandatangani Berkat Damai untuk Bangsa Indonesia yang disodorkan AM Putut Prabantoro dalam audiensi umum di Lapangan Santo Petrus, Vatikan, Rabu (16/10/2019). (ISTIMEWA)

Covid juga menunjukkan kepada bangsa ini, dijelaskan lebih lanjut, gotong royong adalah nilai luhur bangsa Indonesia yang harus diyakini dapat dilaksanakan. Nilai luhur itu dapat dilaksanakan tanpa harus melihat latar belakang suku, agama atau golongan dari mana masyarakat berasal.

Ketika setiap negara berusaha menyelamatkan masyarakatnya dari ancaman kematian karena Covid dengan menutup diri, tidak ada pilihan lain bagi pendatang kecuali tetap tinggal di negara asal. Dan karena Covid juga, 68 negara melarang masuk pendatang dari Indonesia. Artinya, tidak ada pilihan tempat aman bagi warga Indonesia kecuali negaranya sendiri.

Oleh karenanya, untuk menjaga keberlangsungan kehidupan bersama, masyarakat harus bergotong royong untuk bertahan tetap hidup dan ini telah dibuktikan terjadi di banyak daerah pedesaan atau kampung di Indonesia selama masa pandemi ini.

Dari Kiri-Kanan :  Alumnus Lemhannas RI PPSA XXI, AM Putut Prabantoro dalam kapasitasnya sebagai Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa), Presiden Dewan Kepausan Untuk Dialog AntarAgama  Kardinal Ayuso Guixot dan Markus Solo Kewuta SVD  dari Kantor Dewan Kepausan Untuk Dialog AntarAgama, Vatikan, Selasa (15/10/2019)
Dari Kiri-Kanan : Alumnus Lemhannas RI PPSA XXI, AM Putut Prabantoro dalam kapasitasnya sebagai Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa), Presiden Dewan Kepausan Untuk Dialog AntarAgama Kardinal Ayuso Guixot dan Markus Solo Kewuta SVD dari Kantor Dewan Kepausan Untuk Dialog AntarAgama, Vatikan, Selasa (15/10/2019) (TRIBUNPONTIANAK/ISTIMEWA)
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved