Ramadhan 2020
MUTIARA RAMADAN - Rektor IAIN Pontianak Dr H Syarif, M.Ag: Puasa dan Fitrah
Insan yang sering diartikan manusia itu sebenarnya bukan subyek melainkan nama sifat yang berasal dari kejadian tubuh jasadiyah.
Penulis: Muhammad Luthfi | Editor: Maudy Asri Gita Utami
Oleh karena itu ni’mat ini ada dalam wujud sifat “shiddîq-benar-jujur”, karena dia sebagai “amânah” Allah kepada kita. Dialah si îmân atau sang kepercayaan Allah, atau wujud yang dipercaya oleh Allah untuk menilai dan mencatat semua perbuatan ruh pada tubuhnya.
Ni’mat hadir di tubuh bersamaan dengan ditiupkannya ruh. Maka ni’mat dengan wewenang catatan (kitáb) nya disebut wujud yang tidak pernah bengkok (Qs. al-Kahfi/18:1).
Maksdunya walau diri kita sendiri yang berbuat kesalahan atau keburukan tetap dicatat olehnya.
Catatan atau kitab itu wujud adanya dalam dada sebagai ayat yang nyata (Qs.al-‘Ankabût/29:49). Boleh kita buktikan tentang ketidakdustaan catatan itu, tanya ke dalam dada sana.
Pasti ada catatan keburukan kita walaupun saat kita melakukannya tidak ada orang yang tahu.
Catatan itu disampaikan oleh ni’mat atau rasa itu ke dalam dada. Inilah disebut sifat berikutnya adalah “tablîgh-menyampaikan”.
Sifat “tablîgh” ini bukan berarti dakwah tetapi bersifat kejujuran berupa catatan atas semua yang kita lakukan, disampaikan menjadi kitab di dalam dada.
Setelah itu dia bersifat “fathanah,cerdas,bijak”. Dengan sifat-sifat sebelumnya tadi ni’mat menjadi rujukan untuk kita menimbang.
Kita yang merujuknya dapat menimbang manfaat dan mudharatnya sebelum melakukan sesuatu. Itu artinya sifat fathanah mewujud pada prilaku kita.
Dapatlah kita melakukan “memperhatikan tantangan sebelum berkata, memperhatikan tempat berpijak sebelum melangkah. Jadi sifat yang ditimbulkan oleh ni’mat atau rasa itu ada pada kita sifat “shiddîk-amânah-tablîgh-fathonah”.
Inilah sifat-sifat wajib kita mewarisi-menuruni-dan melazimi dari sifat asalamua Radulullah Saw sebagai bawaan dasar kita.
Jadi, hubungan puasa atau shiyâm di bulan ramadhan dengan fithrah ialah bahwa kita harus menekan peran “fithrah insâniyah” berupa setan atau insan atau Hawa-Nafsu-Dunia-Setan.
Maka disebutlah shiyâm itu ialah mukmin mempuasakan hawa nafsu. Dengan begitu puasa menjadi instrumen penting untuk mewujudnya sifat “shiddîq-amânah-tabligh-fathanah” pada kita.
Dengan catatan bahwa instrumen utama sembuhnya penyakit hati adalah shalat (baca puasa dan shalat tarawih). Yang begini inilah nanti yang diperkenankan oleh Allah dan Rasulnya menyandang “îd al-fithri”. (*)
Update Informasi Kamu Via Launcher Tribun Pontianak Berikut:
https://play.google.com/store/apps/details?id=com.wTribunPontianak_10091838
Update berita pilihan
tribunpontianak.co.id di WhatsApp
Klik > http://bit.ly/whatsapptribunpontianak