Mengenal Sosok Bidan Astatin Chaniago, Inilah Kisah Inspiratif dalam Perjalanan Karirnya
Terngiang motivasi akan semangat ibu yang selalu mengusahakan semua anak harus bisa sekolah semua, menjadikannya bisa sampai seperti sekarang.
Penulis: Muzammilul Abrori | Editor: Jamadin
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, KUBU RAYA - Astatin Chaniago yang berprofesi sebagai bidan, sudah ditempuhnya dari tahun 1997. Kala itu, sebelum menjadi bidan, ia sekolah sebagai perawat.
Untuk lolos sebagai perawat juga tidaklah mudah baginya, karena harus bersaing dengan 900 pendaftar.
Dirinya yang merupakan anak kedua dari lima bersaudara asal Padang, Sumatra Barat, pindah ke Pontianak saat berumur 3 bulan, karena penugasan ayahnya di Padang Tikar sebagai Kepala Sekolah.
Hingga tahun 1986, ia ditinggal oleh sosok ayah untuk selamanya dan mulai dibesarkan oleh sang ibu seorang diri.
Terngiang motivasi akan semangat ibu yang selalu mengusahakan semua anak harus bisa sekolah semua, menjadikannya bisa sampai seperti sekarang.
Ia dibesarkan dengan motivasi yang kuat untuk sekolah, agar cepat selesai dan cepat bekerja. Sosok yang selalu menuruti perkataan orang tua untuk menjadi perawat ini, melanjutkan studinya menjadi bidan di Harapan Kita Jakarta, selama satu tahun saat gejolak Krisis moneter tahun 1996/1997.
• BREAKING NEWS - Kecelakaan Lalu Lintas di Melawi Renggut Nyawa Seorang Bidan, Ini Kronologinya
Kisah inspiratif lainnya juga dituturkan oleh Astatin Chaniago, ia menceritakan kenangan masa kecilnya saat duduk di bangku sekolah.
Saat SD sampai SMP, semua biaya digratiskan. Hingga akhirnya di bangku SMP, ia mendapatkan beasiswa Super Semar yang ditabungnya. Dengan tabungan itulah ia bisa sekolah perawat.
Tahun 1997 selesai menempuh pendidikan sebagai bidan, di bulan Oktober/November, saat SK nya keluar, ia ditempatkan di Kecamatan Sambas, Desa Sebawi hingga tahun 2000.
Menurutnya, untuk sampai di Desa itu harus menyebrang menggunakan sampan, dan harus nyebrang menggunakan sampan.
Astatin mengungkapkan menyaksikan secara langsung saat gejolak sosial yang pernah terjadi di Sambas.
Menurutnya, saat menangani korban luka itu merupakan hal biasa, namun menjadi luar biasa ketika menjadi seorang bidan dan itulah tantangannya.
Di tahun 2000, ia memutuskan untuk menikah dengan jodoh yang dipilihkan orangtua dan pindah ke Teluk Pak Kedai, Desa Nibung.
Pada saat itu di tahun 2000, Desa Nibung belum ada akses jalan darat, tidak ada listrik, dan tidak ada sinyal dan harus menetap selama 8 tahun di sana.
"Saya bertahan karena ada motivasi, yakni suami saya," cerita Astatin kepada Tribun.