IPDKR Ungkap Proses Berladang Memiliki Kearifan Lokal

Sekretaris Jenderal Ikatan Pemuda Dayak Kubu Raya (IPDKR), Florensius Loren, mengatakan berladang sudah menjadi bagian tak terpisahkan bagi masyarakat

Penulis: Stefanus Akim | Editor: Stefanus Akim
Tribunpontianak.co.id/Agus Pujianto
Koordinator Aliansi Solidaritas Anak Peladang berorasi di depan pengadilan negeri sintang. 

KUBU RAYA - Sekretaris Jenderal Ikatan Pemuda Dayak Kubu Raya (IPDKR), Florensius Loren, mengatakan berladang sudah menjadi bagian tak terpisahkan bagi masyarakat Dayak di Kalimantan.

Disebutkan, sistem kearifan lokal yang ada di Pulau Kalimantan sudah ada sejak lama, bahkan telah ada jauh sebelum Negara Indonesia lahir. Masyarakat Dayak sebagai salah satu kelompok masyarakat di Indonesia memiliki banyak kearifan lokal dalam keberlangsungan hidupnya.

“Salah satunya adalah Berladang. Kegiatan ini telah menjadi sumber mata pencaharian untuk hidup dan sekaligus menjadi tradisi turun temurun. Sehingga dari aktivitas berladang muncul lah tahapan-tahapan yang saling berhubungan,” kata Florensius Loren, Jumat (6/3/2020).

Ia menyebutkan, umumnya aktivitas berladang diawali dengan Ritual Baburukng. Rual ini untuk mencari hari yang tepat untuk memulai berladang. Setelah itu dilanjutkan dengan Ngarentes yaitu kegiatan membuat batas/jalur/blok pada lahan yang akan dijadikan ladang, kegiatan ini biasa juga di sebut Nele' Rasi. Setelah itu barulah dimulai kegiatan tebang dan tebas.

Sekjen MADN Yakobus Kumjs berorasi depan masa yang mengawal persidangan peladang di pengadilan negeri sintang
Sekjen MADN Yakobus Kumjs berorasi depan masa yang mengawal persidangan peladang di pengadilan negeri sintang (Tribunpontianak.co.id/Agus Pujianto)

Selanjutnya lahan yang telah selesai di tebas dan tebangi (land clearing) dan masih belum di bakar harus dibiarkan dulu sampai benar-benar kering. Tahapan ini disebut Ngarangke.

Sembari menunggu dahan, batang kayu dan rumput mengering, biasanya masyarakat mempersiapkan pembatas ladang dengan cara membersihkan daun kering sepanjang batas tersebut. Sehingga dipastikan tidak akan ada api yang bisa menjalar, juga membuat kolam atau parit di setiap sudut lahan tersebut.

Pada saat akan membakar lahan untuk ladang ini, masyarakat akan melakukan ritual menanam kalangkakng (kayu dibelah 4 dan ditaruh tempurung dan sekapur sirih di atasnya, dipasang di sudut ladang pertama) dan bambu di sudut sudut ladang yang di isi air, yang di percaya sebagai penjaga titik api agar tidak masuk ke area orang lain. Setelah itu, Masyarakat juga akan melihat arah angin, sehingga api bisa dikendalikan dengan baik.

“Teknik membakar lahan untuk berladang ini pun tidaklah sembarangan, harus di mulai dari tengah dengan tujuan agar lebih mudah menjaga apinya,” kata Florensius Loren.

Florensius Loren menceritakan pengalamannya, sejak kecil telah biasa menjalani semua tahapan-tahapan tersebut. Tidak jarang ia menginap di pondok (Dango Uma) untuk menjaga api ketika belum padam sampai malam hari dan baru ditinggalkan setelah benar-benar padam.

Disebutkan Florensius Loren, menurut UUPLH No 32 tahun 2009, Pasal 69 ayat 2 huruf H terdapat peraturan yang menjamin aktivitas berladang dengan kearifan lokal di Indonesia seperti masyarakat adat Dayak. Hal tersebut turut menjadi pedoman bagi para peladang dimana luas lahan yang dijadikan ladang kurang dari 2 Ha dan tanah yang dipilih adalah tanah mineral bukan tanah gambut.

SERAHKAN BERKAS - Ketua Persatuan Peladang Tradisional Kalimantan Barat, Yohanes Mijar Usman (kanan) bersama perwakilan Peladang Kalimantan Barat (kiri) dan Kalimantan Timur (tengah) menyerahkan berkas pernyataan, beras kampung, dan hasil ladang kepada pihak Kemenpolhukam Republik Indonesia, Kamis (30/1/2020) siang.
SERAHKAN BERKAS - Ketua Persatuan Peladang Tradisional Kalimantan Barat, Yohanes Mijar Usman (kanan) bersama perwakilan Peladang Kalimantan Barat (kiri) dan Kalimantan Timur (tengah) menyerahkan berkas pernyataan, beras kampung, dan hasil ladang kepada pihak Kemenpolhukam Republik Indonesia, Kamis (30/1/2020) siang. (IST/DOK Persatuan Peladang Tradisional Kalbar)

“Sejak dulu, Indonesia tidak pernah mengalami yang namanya bencana kabut asap seperti sekarang ini. Kabut Asap mulai marak sejak 2 dekade terakhir. Mengapa demikian? Salah satunya adalah karena banyak korporasi berskala besar masuk dan tidak jarang di beberapa tempat ditemukan titik api dan sumber asap di lahan konsensi mereka. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa temuan dilapangan,” ujarnya.

“Sekarang apa yang terjadi di Sintang? Peladang ditangkap, bak umpama seorang penjahat.
Mereka bukanlah penjahat, aktivitas mereka dilindungi Undang-undang. Mereka bekerja tidak untuk memperkaya diri melainnya berupaya untuk menghidupi keluarganya,” katanya lagi.

Loren menyayangkan Pemerintah seolah-olah menjadikan Peladang sebagai tumbal, hak-hak mereka untuk beraktivitas di ladang di renggut begitu saja.

"Percuma Saja Negara kita berlandaskan Pancasila karena apa yang termaktub dalam sila ke lima tidak pernah diterapkan secara nyata." Kata Loren dengan nada kecewa.

"Kami dari kabupaten Kubu Raya turut merasakan kepedihan yang dialami para peladang yang diseret di Pengadilan Negeri Sintang. Kami menyatakan berada di pihak peladang dan meminta Pemerintah membebaskan mereka tanpa syarat." kata Florensius Loren.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved