Cap Go Meh

ARTI Tatung | Asal Usul Tatung | Sejarah Tatung atau Lokthung Pada Perayaan Cap Go Meh Singkawang

Pada saat itu, di sana belum mengenal adanya ilmu medis, sehingga munculnya suatu wabah penyakit belum ada dokter dan obat untuk mengatasinya.

Penulis: Marlen Sitinjak | Editor: Marlen Sitinjak
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/Anesh Viduka
Karnaval di sepanjang Jalan Diponegoro kota Singkawang pada gelaran Cap Go Meh 2019 di Singkawang, Kalimantan Barat, Selasa (19/2/2019). Sebanyak 12 replika naga dan lebih dari 860 tatung beratraksi pada perayaan Cap Go Meh di Singkawang. TRIBUN PONTIANAK/ANESH VIDUKA 

 

ARTI Tatung | Asal Usul Tatung | Sejarah Tatung atau Lokthung Pada Perayaan Cap Go Meh Singkawang

CAP GO MEH - Perayaan Cap Go Meh merupakan moment yang ditunggu-tunggu tiap tahun khususnya masyarakat Tionghoa Kalimantan Barat atau Kalbar terutama Kota Singkawang dan sekitarnya. 

Bagaimana tidak, puncak Cap Go Meh Kota SIngkawang selalu diwarnai pawai tatung. 

Pasti ada di antara pembaca yang masih asing dengar kata “Tatung” ini. Padahal, fenomena eksistensi Tatung di kota Singkawang (yang terkenal dengan kota 1.000 Kelenteng/Kuil) sendiri sudah merupakan hal yang umum di masyarakat

Tidak hanya terkenal di Indonesia saja, tapi Tatung ini juga terdengar sampai ke Negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand.

Dikutip dari tionghoa.info, Yuk, kita simak lebih lanjut seperti apa dan bagaimana “Tatung Singkawang”.

“Tatung” merupakan sebuah istilah yang terkenal di kota Singkawang dan sekitarnya. Istilah Tatung ini dipergunakan untuk merujuk kepada orang yang tubuhnya dijadikan media untuk dirasuki oleh Dewa-Dewi, atau roh-roh leluhur yang mereka percayai.

Pawai Tatung di Singkawang pada saat perayaan festival Cap Go Meh sendiri sudah dilakukan sejak sekitar 250 tahun yang lalu.

Tatung Cap Go Meh Singkawang - Tak Hanya Tionghoa, Etnis Lain Bahkan Orang Australia Juga Ada Tatung

Menurut Kepala Dinas Kebudayaan kota Singkawang, bmenyatakan bahwa eksistensi Tatung sendiri sudah ada sekitar tahun 1737 atau 1738.

Roh-roh yang dipanggil ini diyakini sebagai roh-roh baik, yang mampu menangkal roh-roh jahat yang hendak mengganggu keharmonisan hidup masyarakat Singkawang. Mereka yang telah dirasuki tersebut dipercaya akan memiliki kekuatan gaib, dan bertindak di bawah alam sadarnya.

Menurut F.X. Asali selaku ahli budayawan Kalimantan Barat, menjelaskan istilah Tatung itu sendiri berasal dari dialek Hakka yang terdiri dari kata ta dan tung. 

Ta secara harafiah berarti “tepuk atau pukul” dan Tung secara harafiah berarti “Thungkie, atau orangnya”.

Tatung yang dilakukan di kota Singkawang ini, dalam bahasa Inggris dikenal juga sebagai “Spririt Medium”, yang berarti dirinya menjadi medium untuk mengalami keadaan “trance” atau kerasukan roh.

Sedangkan dalam bahasa mandarin, terdapat banyak istilah untuk menyebut istilah Tatung ini, seperti 跳童 (Tiào tóng); 神打(Shén dǎ), dikenal juga dengan sebutan2 lain, seperti 乩童 (Jī tóng) atau童乩 (Tóng jī).

Di antara semua sebutan mandarin diatas, istilah Tatung yang ada di Singkawang ini lebih mengikuti dari arti harafiah bahasa mandarinnya 神打 (Shén dǎ), dimana 神 (Shén) artinya “Dewa” dan 打(Dǎ) artinya “pukul”.

JADWAL Imlek dan Cap Go Meh 2020 di Kalbar, Atraksi Tatung Mancanegara & Lokal hingga Naga Barongsai

Sedangkan untuk istilah Tatung, yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Mandarin oleh sebagian orang sebagai 跳童 (Tiào tóng), dikarenakan para Tatung ketika mempertunjukkan kekuatan gaibnya dalam perayaan Cap Go Meh di kota Singkawang, mereka akan berada di atas pedang yang disusun menyerupai tandu, dan mereka pun melompat-lompat di atas pedang-pedang itu tanpa terluka sedikit pun.

Sementara karakter 跳 (Tiào) itu sendiri secara harafiah “berarti lompat”. Untuk kata 乩童 (Jī tóng) atau童乩 (Tóng jī), masing-masing mengandung arti 童 (Tóng) dan 乩 (Jī), 童 (Tóng) secara harafiah berarti “anak-anak, atau anak hamba” dan 乩(Jī) secara harafiah berarti “ilahi”. Jadi secara keseluruhan, artinya merujuk kepada seseorang yang telah ditunjuk oleh Dewa sebagai media perantara Nya.

Perlu diketahui juga, bahwa diluar sana ada banyak sebutan yang dapat merujuk kepada sebutan “Tatung Singkawang”. Misalnya, masyarakat Dayak mengenal Tatung dengan istilah “Laoya” atau “Loya”,  yang artiannya merujuk ke “Dukun” (shaman).

Di Singapura dan Taiwan, “Tatung” dikenal juga dengan sebutan “Tangki”, sementara di Thailand, “Tatung” dikenal dengan sebutan “Mah Song”.

Lalu di Manado, dikenal juga dengan istilah “ Tangsin”, “Tongsin”, atau “Lokthung” (落童; Luò tóng), dimana seseorang akan menjadi medium perantara (antara manusia dengan Dewa), yang setelah dibacakan mantra tertentu dipercaya telah dirasuki oleh roh Dewa-Dewi, untuk memberikan berkat bagi umat Nya.

Mereka biasanya akan melakukan beberapa aksi sayat lidah, memotong lengan, atau menusuk bagian badannya dengan sabetan pedang, golok, dan lain sebagainya.

Bagi mereka yang menyakininya, hal ini diartikan sebagai bentuk pengorbanan / penebusan dari Dewa untuk meringankan dosa-dosa yang diperbuat manusia.

Perayaan Festival Cap Go Meh di Indonesia sendiri sangat bervariasi. Perayaan biasanya dilakukan oleh umat kelenteng, Lithang dan Wihara, dengan melakukan kirab atau turun ke jalan raya sambil menggotong ramai-ramai Kio/Usunga,n yang didalamnya diletakkan arca para Dewa (Sinbeng).

A. Asal-Usul Tatung di Kota Singkawang

Untuk menelusuri asal-usul Tatung dalam perayaan festival Cap Go Meh di kota Singkawang, erat kaitannya dengan datangnya para perantau Tiongkok di masa lalu yang berimigrasi ke Kalimantan Barat.

Seperti yang telah kita ketahui, asal-usul para perantau Tiongkok di masa lalu ke Nusantara memiliki sejarah yang panjang dan menarik.

Dalam buku Orang Cina Khek dari Singkawang, dikatakan bahwa orang2 Tionghoa yang menetap di Indonesia 99% datang dari 2 propinsi Tiongkok, yaitu Fujian dan Guangdong.

Pada tahun 1700-an s/d awal 1900-an, sebagian orang Tionghoa di Indonesia bekerja di pertambangan.

Kelompok Tionghoa terbesar yang ada di Indonesia adalah Hokkian (Fujian), yang menurut sensus pertama tahun 1930 berjumlah 550.000 jiwa. Mereka terkonsentrasi di wilayah Sumatera (Medan), Jawa (Jakarta), Jawa Timur (Surabaya), Sulawesi Selatan (Makasar), dan sedikit di Kalimantan Barat.

Kelompok lainnya, yaitu Hakka (Guangdong), yang menurut sensus pertama 1930 berjumlah 200.000 jiwa. Kelompok ini merupakan kelompok yang terkonsentrasi di Riau (Pekan Baru) dan Kalimantan Barat (Pontianak).

Mereka menetap untuk dipekerjakan sebagai kuli tambang emas dan intan di Monterado, Kalimantan Barat. Dalam Buletin Hayo : Jejak Sejarah Hakka Singkawang juga menyebutkan bahwa 90% penduduk Tionghoa di kota Singkawang adalah etnis Hakka yang berasal dari distrik Mei Xian (梅县) dan Thai Pu (大埔), propinsi Guandong (广东) Tiongkok.

Oleh karena itu, masyarakat Tionghoa di kota Singkawang juga  identik dengan tradisi, budaya, agama kepercayaan, dan bahasa Hakka (Khek).

Pada mulanya kota Singkawang merupakan sebuah desa, bagian dari wilayah kesultanan Sambas. Desa ini sering kali dijadikan sebagai tempat singgah para pedagang dan penambang emas dari wilayah Monterado (saat ini Kecamatan Monterado, Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat).

Para penambang dan pedagang yang mayoritas berasal dari daratan Tiongkok, sebelum mereka menuju Monterado, terlebih dahulu biasanya akan singgah beristirahat di Singkawang.

Sedangkan para penambang emas di Monterado yang sudah lama berdiam di penambangan sering kali juga akan beristirahat ke Singkawang untuk melepas kepenatannya.

Berhubung pada waktu itu, wilayah Singkawang merupakan tempat transit pengangkutan hasil tambang emas (serbuk emas).

Kota Singkawang terletak 145 km sebelah utara dari Pontianak, Ibukota Kalimantan Barat. Disebelah baratnya berbatasan dengan laut Natuna, dan dekat dengan perbatasan Malaysia.

Nama Singkawang juga diperkirakan muncul melalui penafsiran dari para perantau Tiongkok di masa lalu. Dalam bahasa Hakka disebut “San Keuw Jong”, atau dalam kosakata bahasa Mandarin 山口洋 (Shān = gunung, Kǒu = mulut, Yáng = lautan).

Maksudnya adalah untuk menyatakan suatu tempat yang terletak di kaki gunung dan menghadap ke laut.

Penamaan ini muncul karena mereka berasumsi dari sisi geografis, bahwa Singkawang berbatasan langsung dengan laut Natuna, serta terdapat pengunungan dan sungai, dimana airnya mengalir dari pegunungan melalui sungai, sampai bermuara ke laut.

B. Keberadaan Tatung Pada Perayaan Cap Go Meh di Kota Singkawang

Adanya pawai (kirab) Tatung dalam perayaan festival Cap Go Meh di Singkawang seperti dewasa ini, tidak terbentuk secara serta merta, akan tetapi juga melalui proses akulturasi budaya antara orang-orang Tionghoa dengan masyarakat setempat (terutama suku Dayak), yang bermula dari penambang emas di Monterado ratusan tahun yang lalu (diperkirakan sejak 250 tahun silam).

Konon ceritanya, budaya Tatung ini berawal dari kedatangan orang-orang Tionghoa yang menetap, dan kemudian diperkerjakan oleh Sultan Sambas sebagai penambang emas di Monterado.

Pada saat itu, lahan yang mereka tempati masih berupa alam hutan belantara, dimana suatu ketika muncul suatu wabah penyakit yang membuat semua orang resah.

Pada saat itu, di sana belum mengenal adanya ilmu medis, sehingga munculnya suatu wabah penyakit belum ada dokter dan obat untuk mengatasinya.

Segala kemalangan atau petaka yang menimpa umat manusia, sering kali akan dikaitkan akibat ulah roh-roh  jahat oleh kaum perantau Tiongkok saat itu.

Untuk mengatasinya, maka cara yang ditempuh pun adalah secara paranormal, atau mengikuti ajaran dari tanah leluhur, yakni ajaran dari Taoisme, yaitu dengan melakukan ritual Tatung atau Lok thung (落童; Luò tóng) dan memohon pertolongan Dewa-Dewi atau roh-roh leluhur untuk mengusir kemalangan atau petaka tersebut. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved