Kekurangan Guru PNS, Ruang Kelas Sekolah di Kubu Raya 80 Persen Diisi Guru Honor
ia juga menuturkan guna menciptakan kreatifitas dalam menjalankan metode pembelajaran, masih terkendala sarana dan prasana.
Penulis: Tri Pandito Wibowo | Editor: Madrosid
KUBU RAYA - Guru Honorer SDN 42 Sungai Asam, Kubu Raya, Dewi Anjani mengatakan, saat ini di sekolah tempatnya mengajar, hanya memiliki tujuh guru dan sebagian besar adalah tenaga honorer.
“Karena PNS hanya tiga orang. Kalau tidak dibantu dengan tenaga kerja honorer, kegiatan proses pembelajaran tidak efektif,” jelasnya usai mengikuti apel Hari Guru Nasional di Kantor Bupati Kubu Raya, Senin (25/11).
Selain itu, ia juga menuturkan guna menciptakan kreatifitas dalam menjalankan metode pembelajaran, masih terkendala sarana dan prasana.
Bahkan, dalam penerapan kurikulum 2013 yang menuntut guru harus memiliki daya kreatifitas tinggi masih menjadi persoalan di tempatnya mengajar.
“Fasilitasnya kurang mendukung dalam proses belajar. Sehingga tergantung bagaimana cara guru mengajar di kelas agar siswa mengerti,” ujarnya.
Ia pun mengatakan sebagai tenaga pendidik, seharusnya dapat mengikuti perkembangan era teknologi saat ini.
• Terkait Perda Tenaga Honorer, DPRD Mempawah Akan Studi banding Ke Singkawang
“Namun di tempat kami masih terkendala sinyal. Jangankan untuk internet, sekadar menelpon saja harus ke luar dari sekolah supaya mendapat sinyal,” pungkasnya.
Ketua PGRI Kabupaten Kubu Raya, Frans Randus membeberkan kekurangan guru tidak hanya terjadi di Kabupaten Kubu Raya, namun seluruh Indonesia.
“Sekarang 80 persen ruang kelas diisi oleh guru non Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau guru honor,” ungkapnya.
Bahkan, di Kabupaten Kubu Raya, guru honorer untuk jenjang SD hingga SMP telah mencapai lebih kurang 3 ribu.
Lebih lanjutnya, ia menerangkan sumber dana untuk menggaji guru honorer berasal dari Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan jika berpedoman pada Petunjuk Teknis (Juknis) hanya 20 persen.
“Kalau 20 persen, muridnya sedikit dan rata-rata gurunya honor, otomatis tidak layak. Sekolah yang tidak memiliki
sumber dana lain, harus menunggu dana BOS cair. Tambah sengsara guru honorer,” ungkapnya.
Ia pun menyayangkan gaji yang diperoleh tenaga guru honorer masih relatif kecil dan di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP).
Nasib Guru Honor
Salah satu guru honorer di Kabupaten Sambas, Saifullah mengatakan, kisah klasik dan nasib para guru di negeri ini memang tidak akan pernah ada habisnya.
Belum selesai masalah honorarium di bawah standar dan penghapusan honor guru dari BOS mulai tahun (2020), timbul masalah baru lagi.
Terutama bagi guru honorer yang mengabdi di sekolah negeri untuk mengikuti tahapan seleksi Pendidikan Guru Dalam Jabatan atau PPGDJ tahun 2019 dan 2020.
Baca: Komitmen Organisasional Dorong Peningkatan Produktivitas Kerja Guru Honorer
"PPGDJ adalah program pendidikan profesi untuk guru-guru yang diangkat sampai dengan 31 Desember 2015 yang mana syarat untuk mengikuti program ini harus lulus seleksi akademik dan seleksi administrasi," ujarnya, Rabu (23/10/2019), sebagaimana rilis yang diterima Tribun.
Saifullah mengatakan, jika dirinya pernah mengikuti tes akademik dan lulus seleksi akademik pada 2018. Bahkan sudah pernah dipanggil untuk mengikuti seleksi admistrasi.
"Namun, karena terhalang Surat Keputusan Pengangkatan, akhirnya dianggap mengundurkan diri dan tidak bisa melanjutkan ke tahap verifikasi-validasi berkas oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten dan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Provinsi," katanya.
"Adapun SK yang didapat adalah SK yang berasal dari kepala sekolah, SK sebagai Tim pengelola sekolah baru dan SK Penugasan Bupati. Semua SK-SK tersebut pun tidak memenuhi syarat untuk dilampirkan sebagai dokumen pendukung," ungkapnya.
Ia menjelaskan, SK pengangkatan yang di maksud adalah yang sesuai edaran dari Dirjen GTK Kemdikbud adalah SK pengangkatan yang diterbitkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang diamanatkan dalam UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
"Dalam hal ini PPK di ranah Provinsi adalah gubernur dan Kabupaten/ Kota adalah Bupati/ Walikota. ASN disini adalan PNS dan PPPK. Sedangkan honorer tidak termasuk dalam Undang-Undang ini," jelasnya.
"Ironisnya, rata-rata guru honorer mengabdi di bawah tahun 2014, Guru honorer banyak yang S1, ber-NUPTK dan aneka SK-SK ternyata hanya lembaran kertas yang tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya. Padahal, sesuai amanat UU Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah tentang guru, menegaskan bahwa guru memiliki kualifikasi akademik dan bersertifikat pendidik," tegasnya.
Saifullah pun menegaskan, belum lagi terkait dengan legalitas keberadaannya di sekolah dan status yang tak kunjung berubah menjadi.
Padahal ada aturan bahwa PNS yang mana aturannya dari BKN mulai dari usia di atas 35 tahun dan IPK yang dirasa sangat memberatkan pun tidak bisa untuk mengikuti tahapan seleksi CPNS.
"Kesimpulannya guru honorer tak bisa PPG, tak bisa ikut seleksi CPNS walaupun sudah S1 dan usia di bawah 35 tahun, apalagi terkait kesejateraannya, jauh panggang dari api," ungkap guru honorer itu.
Oleh karenanya, sampai hari ini banyak guru honorer yang sudah mengundurkan diri menjadi guru di sekolah-sekolah negeri. Meski masih ada yang tetap bertahan untuk mengabdi dengan harapan bisa naik status dan berubah.
"Terakhir, di mata orangtua dan siswa, guru-guru sama kedudukannya. Tak ada yang beda. Yang membedakan hanya status dan kesejahteraannya. Saya berharap kepada pemerintah daerah dan pusat agar berempati dan memikirkan nasib guru honorer non kategori serta mencarikan solusi atas persoalan yang tak kunjung usai ini," tuturnya.
"Guru honorer sudah membuktikan integritas dan loyalitas serta pengabdiannya pada negara. Berapa banyak lulusan yang dicetak oleh para guru mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai menengah dan mungkin saja pejabat yang menangani persoalan guru ini pernah dididik oleh guru honorer juga," tutupnya.