Sebelum Jadi Bupati Sintang, Jarot Naik Sampan Suntik Orang Bayar Pakai Ayam
Siapa yang tak kenal Jarot Winarno, Bupati Sintang. Kepala daerah bertubuh jangkung ini sudah dikenal luas. Menjadi pembicara
Penulis: Agus Pujianto | Editor: Madrosid
SINTANG - Siapa yang tak kenal Jarot Winarno, Bupati Sintang. Kepala daerah bertubuh jangkung ini sudah dikenal luas. Menjadi pembicara tidak hanya tingkat nasional, bahkan international.
Sebelum dipercaya masyarakat duduk di kursi bupati, Jarot seorang dokter profesional. Lebih dari tiga dekade mengabdikan diri di pedalaman Kabupaten Sintang. lulusan Universitas Indonesia ini, sudah kenyang pengalaman menjadi pelayan masyarakat di pedalaman Kabupaten Sintang.
Tahun 1987, Jarot muda mengabdi di Tanah Pinoh dan Sokan, Kabupaten Melawi. Dulu, melawi masih bergabung dengan Kabupaten Sintang.
Sama seperti Veronika Tuti dan tenaga kesehatan yang bertugas di pedalaman Sintang saat ini, Jarot dulu juga keliling membuka layanan kesehatan menggunakan perahu.
• Gerindra Buka Pendaftaran Penjaringan Calon Bupati Sintang
• Wakil Bupati Sintang Minta Disporapar Masukan Jemelak dalam Destinasi Wisata
• Komunitas Marmel Kirim Kado untuk Presiden Jokowi, Bupati Jarot Winarno Respons Derita Mira
“Saya dulu Pusling menggunakan sampan, tahun 1987. Saya pergi ke desa yang namanya Landau Tubun. Ketika sudah sampai, biasa lah kami buka layanan Pusling,” kata cerita Jarot seperti yang ditulis oleh Marselina Evy dalam bukunya, Ngidup Mensia, (2019: 36)
Ada kisah yang menggelitik ketika Jarot mulai membuka layanan kesehatan. Ketika warga mulai berkerumun, tetiba seorang pria paruh baya mencoleknya.
“Uuu.. Pak,” sapa pria tersebut. Jarot pun menjawab dengan bahasa setempat.
“Berapai sepucuk?,” tanya pria paruh baya itu lagi. Sepucuk yang dimaksud adalah suntik. “Ku jawab 3000,” jawab Jarot.
“Aku minta bagi dua pucuk,” kata pria paruh baya sambil mengangkat dua jari yang artinya meminta disuntik dua kali.
“Tapi aku tuk ndai sik duit, aku bayar pakai manuk, bah,” timpalnya memberikan penawaran kepada Jarot supaya bersedia menyuntik tapi dibayar pakai ayam.
Jarot tersenyum menyanggupi negosiasi si pria paruh baya yang tak dikenalnya tersebut.
Menurut Jarot, sistem barter jamak ditemukan saat masih bertugas sebagai dokter di pedalaman.
“Waktu itu, apalagi pelayanan di kampung, dokter dibayar dengan ayam atau kulat sudah biasa,” ungkap Jarot.
Setelah disuntik, pria paruh baya itu memberikan seokor ayam sebagai imbalan atas dua jarum suntik yang ditusuk di bagian tubuhnya.
Rupanya, sistem barter pria itu, perhitungan. Jika sesuai kesepakatan, seokor ayam sebagai imbal jasa dua kali suntik sudah tidak ada kembalian. Namun, pria itu masih minta uang kembalian.
Pria paruh baya itu berargumen, harga ayamnya Rp 8.000 ribu rupiah. Sehingga, jika harga dua kali suntik Rp 6.000 rupiah, Jarot harus mengembalikan uang Rp 2.000 rupiah ke warga tersebut.
“Rupanya dia minta sisa uang kembali. Jadi kalau dokter dibayar pakai ayam di kampung itu sudah biasa. Tapi dia membayar pakai ayam juga ada hitung-hitungan bisnisnya,” cerita Jarot.