Kisah Ibu Hamil di Sintang Naik Perahu Lima Jam Lewati Sungai Demi Melahirkan di Puskesmas
Di sana (desa tempat tinggal Semit) blom ada petugas kesehatan, jadi mereka harus ke Puskemas Kemangai. Ibu hamil takut
Penulis: Agus Pujianto | Editor: Nasaruddin
“Apalagi, data saat ini, kalau ada 1.000 ibu melahirkan maka 4 diantaranya meninggal,” kata Jarot Winarno saat dihadapan ratusan anggota Ikatan Bidan Indonesia yang berkumpul dalam Peringatan Hari Ulang Tahun IBI Ke 68.
Jarot mengatakan, pahala bidan sangat besar di pedalaman, mengabdikan diri dengan fasilitas seadanya dan medan yang ekstrem.
“Pahala bidan sangat besar di pedalaman. Tahun ini, formasi CPNS dibuka lagi, ada 39 tenaga bidan. Tetapi penempatan jauh. Kalian harus berani ambil meskipun jauh,” jelasnya.
Menurut Jarot, belum semua masyarakat menggunakan jasa bidan untuk bersalin. Persentasenya, 80 persen.
“80 persen sudah ditangani bidan, sisanya masih ke dukun beranak atau profesi diluar bidan. Dan 80 persen masyarakat sudah menggunakan fasilitas kesehatan dan menggunakan jasa bidan ini,” ungkapnya
Ada tiga tantangan yang harus dihadapi oleh tenaga Bidan, yakni tingginya angka kematian ibu, rendahnya toleransi tehadap HIV AIDS, dan Stunting.
“Dari 1.000 anak balita, maka 310 di antaranya tinggi badannya tidak sesuai umur atau stunting. Saat ini di Sintang masih ditemukan 31 persen angka stunting. Maka kita terus pacu program untuk menurunkan angka stunting ini,” harap Jarot.
Suka dan Duka
Ada banyak suka dan duka yang dirasakan para tenaga kesehatan yang bertugas di pedalaman Kabupaten Sintang, tepatnya di Kecamatan Ambalau.
Kecamatan yang terletak di hulu sungai Ambalau ini, sangat jauh jaraknya dari Kota Sintang.
Tidak heran bila akses menuju ke pelayanan kesehatan jauh lebih mahal daripada ongkos berobat.
Kurangnya sarana transportasi, komunikasi, serta ketergantungan transportasi sungai menjadikan biaya operasional menjadi sangat mahal.
Namun, bagi yang sudah menahun menetap di pedalaman seperti Adrianus Kusmiran, keterbatasan itu bukan sebuah hambatan.
Justru, dia mengaku tidak ingin pindah ke kota.
“Di kota tenaga kesehatan banyak. Di pedalaman, saya merasa benar-benar mengabdi, dan dibutuhkan oleh masyarakat,” kata Adrianus.