Kisah Bule Jerman Persunting Perempuan Dayak Sanggau, Yulita: Mereka Hormati Budaya Kita
Yulita Ningsih dan Patrick Tegowski melangsungkan pernikahan secara adat Dayak di Bodok, Kecamatan Parindu, Kabupaten Sanggau.
Kisah Bule Jerman Persunting Perempuan Dayak Sanggau, Yulita: Mereka Hormati Budaya Kita
SANGGAU- Hati Yulita Ningsih (33) warga Bodok, Kecamatan Parindu, Kabupaten Sanggau, Kalbar tengah bahagia.
Ia dan pujaan hatinya Patrick Tegowski (39) warga Jerman telah bersatu dalam ikatan pernikahan suci.
Video pernikahan keduanya sempat viral di media sosial beberapa waktu lalu.
Yulita Ningsih dan Patrick Tegowski melangsungkan pernikahan secara adat Dayak di Bodok, Kecamatan Parindu, Kabupaten Sanggau pada Sabtu (26/10/2019).
• Personel Duo Manjakani Resmi Menikah, Begini Penampilan Mereka di Hari Bahagia
• Segera Dinikahi Rezky Aditya, Citra Kirana Bereaksi saat Nama Mantannya Disinggung di Bridal Shower
• Sule Blak-blakan Lina Sang Mantan Istri yang Kini Menikah Lagi Diam-diam, Ayah Rizky Febian Kecewa?
Pernikahan tak hanya menyatukan dua hati, namun dua negara dan suku bangsa yang berbeda.
Bagaimana kisah Yulita Ningsih yang akhirnya menambatkan hati pada Patrick Tegowski?
Berikut wawancara ekslusif wartawan Tribun Pontianak, Hendri Chornelius dengan Yulita Ningsih.
Tribun: Seperti apa rasanya setelah terikat tali pernikahan?
Yulita: Lega, setelah sekian lama perjuangan kami untuk mengurus pernikahan yang legal.
Dari usaha nikah di Hongkong, itu tidak mudah ya.
Dari saya ke notaris, ngirim berkas melalui email ke Hongkong. Itu ribet sekali.
Begitu sudah selesai, kami lanjutkan di sini.
Sudah lepas beban kami berdua. Karena sudah sah, senang bangetlah kami.
Nikahnya di Hongkong pada 28 Agustus 2019.
Kemudian, pemberkatan pernikahan di Gereja di Jerman.
Seperti biasa, ada misanya. Bulan September 2019 Pemberkatan di Jerman.
Setelah itu, nikah adatnya di Bodok pada 26 Oktober 2019.
Tribun: Bagaimana pengurusan dokumen pernikahan?
Yulita: Surat-surat nikahnya sudah ada dari Hongkong dan harus kami laporkan ke Dubes RI.
Jadi kami harus dapat laporan bahwa benar ini telah datang ke Kedubes untuk melaporkan pernikahan di Hongkong.
Ini sebagai dasar untuk didaftarkan ke Disdukcapil Sanggau.
Dalam waktu dekat mengurusinya ke Dukcapil.
Tribun: Bisa diceritakan bagaimana awalnya Anda berdua bisa bertemu hingga memutuskan menikah?
Yulita: Awal perkenalan di Medsos Badoo (Badoo adalah sebuah layanan jejaring sosial berbasis biro jodoh multi bahasa - Red).
Jadi kita tuh bisa konek dengan orang terdekat.
Pada saat itu, aku lagi di Kuala Lumpur (KL), dia (Patrick) juga di KL.
Tepatnya pada Agustus 2017, dia konek lewat HP.
Jadi muncul foto saya, lalu dia like dan kirim pesan.
Tapi tidak ketemu, saya tidak balas, pertama saya cuekin tiga hari.
Tapi dia terus chat dan bilang suka sama aku.
Ujung-ujungnya setelah tiga hari saya balas.
Sejak Agustus, September, Oktober itu kami hanya chat saja.
Dia masih jalan-jalan ke Jakarta, Yogya, Filipina.
Lalu Desember 2017 dia bilang mau ketemu kamu di Kalbar.
Lalu aku bilang kalau mau datang lah, memang benar dia datang ke Pontianak.
Aku jemput di Bandara Supadio, dia nginap di hotel dan saya tempat adik saya.
Kemudian aku bilang ke dia, tidak bisa lama-lama di Pontianak, karena sudah lima hari kan tak enak dengan orangtua.
Jadi aku harus pulang.
Tapi Petrick ajak traveling ke Sabah, Malaysia.
Lalu aku minta izin sama mama dan bapak dan diizinkan.
Ya udah traveling kami berdua ke Sabah, Kuching.
Itu sudah mau Natal, balik ke sini (Bodok) dan Natal di sini dua minggu.
Setelah itu, sekitar 28 Desember 2017 dia langsung ke Bali ketemu temannya di Bali.
Setelah itu langsung ke Raja Ampat, dia minta saya nyusul kesana.
Dan saya susul kesana, liburan juga selama dua minggu di sana.
Sebenarnya kami ketemu ini dalam rangka traveling lho, dia behenti dari kerjaan selama 1.5 tahun.
Traveling akhirnya menemukan aku.
Sama sekali tak ada rencana dalam traveling dia mau cari pasangan.
Tahu tiba-tiba jodohnya ketemu ya, dia pun heran juga.
Dia pun bilang sama keluarganya, aku nih sama sekali traveling ndak ada sama sekali mau cari jodoh.
Kemudian setelah itu, tiap dua bulan bahkan satu bulan dia datang ke Pontianak untuk bertemu. Pas Natal 2018 dia datang ke Bodok.
Tribun: Siapa yang lebih dulu menyatakan perasaan. Ngomong langsung atau lewat telepon saat itu?
Yulita: Kami memutuskan untuk menikah Januari 2019.
Awalnya dia ngomong bilang menikah yuk, tapi saya anggap seperti ngomong gurau gitu.
Ujung-ujungnya Mei 2019 kami ke Bali, dia ngelamar aku di Bali, memang dia sudah siapkan cincin.
Waktu itu pas di pantai, malam hari.
Dia berlutut depan aku dia bilang mau kah kamu menikah sama aku.
Ya aku jawab, kaget sekaligus senang dan memang ini yang aku pengen.
Setelah itu persiapan segala-galanya, persiapan untuk nikah di Hongkong, di negaranya, dan di sini (Bodok).
Yang pertama sih kami persiapkan di Hongkong karenakan untuk dokumen, legalitas.
Tribun: Bagaimana respons keluarga terutama orangtua anda berdua?
Yulita: Ortu bilang terserah kamu.
Kalau kamu merasa dia baik, ya udah kami sih mendukung saja.
Kalau orangtua dia, sampai nangis, karena bagi mereka itu ndak segampang itu orang menikah, bahkan mamanya mikir mungkin anak aku ni ndak akan menikah kayaknya.
Apalagi inikan kayak dramatis lho, anak mereka mendapatkan istri saat dia travel, bukan satu negara lagikan.
Dia bilang sama aku, kayaknya aku (Patrick) mau nikah sama cewek Indonesia, dia bilang ke mamanya.
Pokoknya senanglah ortunya.
Tribun: Apa yang paling sulit saat menggelar pernikahan?
Yulita: Yang paling sulit, kayaknya pas nikah di Hongkong.
Kendalanya begini lho, buat surat-suratnya.
Ada pertama kami daftarkan di Kantor Pernikahan di Hongkong, ditolak karena sudah penuh.
Jadi kamu bisa bulan depan, jadi bulan depan kami kirim lagi.
Aku harus legalisasi di notaris sini, aku legalkanlah di sini.
Buat surat perjanjian pranikah juga, bahkan juga buat suami aku bolak balik Jerman-Bodok, kemudian ke Hongkong, Kan dia harus tanda tangan juga.
Waku di Hongkong kami menikah di Kantor Pernikahan Sipil di Hongkong.
Proses nikahnya, kita daftarkan udah, terus besoknya kita register kembali bahwa besok hari pernikahan kami lho.
Kemudian mereka buat surat, besoknya datang ke Kantor Pernikahan Sipil di Hongkong.
Itu sudah ngantre tu, jam sekian orang ini yang menikah, jam sekian orang ini menikah. Kami waktu itu jam 09.00 pagi waktu setempat.
Kami ada saksinya, satu dari suami satunya dari saya.
Saya pas ada kawan yang tinggal di Hongkong jadi saksinya.
Jadi mereka menyaksikan dan menandatangani semuanya.
Terus kami nikah disana, pertama kami tukar cincin, terus ada yang bagian nikahkan (Ada fotonya) dia bacakan dalam bahasa Inggris, Jadi suami istri harus begini begitu.
Kemudian selesai dan ucapkan selamat.
Tak lama lah, sekitar 15 menit.
Kami memilih di Hongkong, karena prosedurnya agak lebih mudah, dokumen yang dibutuhkan juga agak lebih mudah dan lebih cepat.
Pernikahan beda negara itu sulit, semuanya bisa dilakukan cuman butuh waktu lama sekali.
Sementara suami aku nih kan kerjanya di Swis, dia orang Jerman.
Memutuskan nikah di Hongkong keputusan kami berdua.
Tribun: Setelah menikah kabarnya berbulan madu. Kemana saja?
Yulita: Setelah nikah di Hongkong, bulan madu di sana.
Dua minggu kami di sana, habis tu dia pulang ke Swis karena harus kerja, saya ke Bodok.
Dia kerja di perusahaan di Swis, dia Manajer Kontruksi.
Tribun: Setelah ini, akan menetap dimana?
Yulita: Sekarang lagi ngurus pindahan anak aku sekolah.
Kami mau tinggal di Bali selama tiga tahun, aku, anak, dan suami.
Jadi anak ku pindah sekolah di sana, tiga tahun.
Kan gini lho, dia tu mau menikmati setelah menikah, jadi mau enjoy hiduplah sama aku dan anak aku.
Dan dia berhenti berkerja selama tiga tahun, mulai Januari 2020.
Sewa villa juga sudah untuk tiga tahun, setelah itu pindah ke Swis.
Dan dia kembali berkerja lagi.
Soalnya gini, mereka kalau sudah kerja, ya kerja terus-menerus.
Ketemu malam dan balik malam.
Tribun: Bagaimana pasangan memahami budaya Dayak dan sebaliknya Anda memahami budaya Eropa?
Yulita: Mereka kurang lebih kita si, ndak terlalu jauh-jauh amat.
Menjunjung tinggi kesopanan juga mereka, kemarin pas mereka ke Bodok bersama keluarganya, aku lihat mereka bisa ngimbangi juga.
Mereka bisa ngimbangi adat kita, jadi ndak terlalu yang 100 persen bawa kebudayaan mereka yang kata orangkan free, tapi mereka datang ke sini ndak.
Biasa aja mereka, menghormati, mereka senang, suka.
Saya juga tak ada kesulitan memahami mereka juga.
Tribun: Apa yang mau Anda sampaikan kepada masyarakat?
Yulita: Pertama kita ndak tahu jodoh kita siapa, selagi bandara itu ada di mana-mana ndak apa-apa, eksplor aja siapa tahu jodohnya bule.
Terus bagi mereka yang akhirnya dapat calon bule itu, ribet-ribet ya ngurus dokumenya tapi ya dijalani ndak ada masalah apa-apa.
Aturan diikuti aja, orang minta dokumen ini ya kasih.
Ujung-ujungnya beres juga, memang butuh waktu.
Tribun: Selama di Bali, aktivitas lain yang akan dilaksanakan, selain berlibur?
Yulita: Nanti pas di Bali, mau kursus bahasa Jerman, aku dengan anak aku.
Untuk dapatkan visa tinggal di Jerman, harus bisa bahasa sana paling tidak 60 persen dan harus ada serfitikat kursus.
Kalau suami aku baru belajar bahasa Indonesia juga, dikit-dikit saja yang udah tahu.
Terkait anak saya, karena kan sudah punya anak sebelumnya.
Anak saya suka, dan cocok malahan dengan dia.
Semenjak pertama kali kenal anak sudah akrab, karena kan dia butuh figur bapak. (hen)
Update berita pilihan
tribunpontianak.co.id di WhatsApp
Klik > http://bit.ly/whatsapptribunpontianak
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/pontianak/foto/bank/originals/yulita-ningsih-dan-patrick-tegowski-melangsungkan-pernikahan-secara-adat-dayak.jpg)