Berikut Tuntutan Yang Dihasilkan Tumbang Anoi 2019
Tuntutan Otonomi Khusus Kebudayaan Suku Dayak, masuk di dalam materi Protokol Tumbang Anoi Nasional 2019.
Penulis: Chris Hamonangan Pery Pardede | Editor: Jamadin
Berikut Tuntutan Yang Dihasilkan Tumbang Anoi 2019
PONTIANAK – Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894 tahun 2019, pada 22 – 24 Juli 2019, hasilnya menuntut diberlakukan Otonomi Khusus Kebudayaan Suku Dayak sehubungan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan.
Hal itu dikatakan Ketua Panitia, Dr Drs Dagut Herman Djunas, SH, MT, Ketua Tim Perumus, Dr Yulius Yohanes, M.Si dan Sekretaris Panitia, Drs Demud Anggen, usai merampungkan materi laporan kegiatan dalam bentuk buku sesuai standar ilmiah di Pontianak, Sabtu, 17 Agustus 2019.
Dagut Herman Djunas, Yulius Yohanes dan Demud Anggen, mengilustrasikan, pembacaan Protokol Tumbang Anoi Nasional dan Internasional 2019, bertepatan dengan Perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-74, Sabtu, 17 Agustus 2019, dimaknai sebuah era revitalisasi peradaban Kebudayaan Suku Dayak, dalam pergulatan regional, nasional dan internasional.
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, telah memutuskan memindahkan IKN ke Kalimantan, sehingga ada konsekuensi logis berupa amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964, tentang Pernyataan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya Tetap Sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia.
Didalam materi amandemen Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964, harus ada pasal yang mengakomodir kepentingan Suku Dayak sebagai penduduk asli di Pulau Kalimantan, melalui penerapan Otonomi Khusus Kebudayaan Suku Dayak.
“Tuntutan Otonomi Khusus Kebudayaan Suku Dayak, tetap dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejarahnya, ideologi Pancasila disarikan dari kebudayaan berbagai suku bangsa di Indonesia. Karena sejarahnya Suku Dayak bagian tidak terpisahkan dari NKRI, maka Kebudayaan Suku Dayak turut andil di dalam melahirkan ideologi Pancasila. Merevitalisasi Kebudayaan Suku Dayak, merawat dan mencintai Kebudayaan Suku Dayak, merupakan wujud nyata di dalam pengalaman ideologi Pancsila dalam bingkai NKRI,” tegas Dagut H Djunas.
Protokol Tumbang Anoi Nasional dan Internasional 2019, ujar Dagut H Djunas, segera disampaikan kepada para Gubernur, Bupati dan Wali Kota di Kalimantan, Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), Borneo Dayak Forum Internasional (BDFI), International Dayak Justice Council (IDJC), Mahkamah Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN), Dewan Adat Dayak (DAD), Perwakilan Tetap Suku Dayak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, para Menteri dan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.
Protokol Tumbang Anoi 2019, dibagi dua bagian, yaitu berskala nasional mencakup 9 point dan skala internasional mencakup 5 point.
Tuntutan Otonomi Khusus Kebudayaan Suku Dayak, masuk di dalam materi Protokol Tumbang Anoi Nasional 2019.
“Dalam point ketiga, Protokol Tumbang Anoi Nasional 2019, berbunyi, mendukung penuh rencana Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo untuk Pemindahan Ibukota Pemerintahan Republik Indonesia ke Pulau Kalimantan/Borneo, dan menuntut Otonomi Khusus Kebudayaan Suku Dayak,” ujar Dagut.
Baca: Ustadz Abdul Somad Nonaktifkan Kolom Komentar di Instagram, Unggah Pesan Tentang Sabar
Pada point pertama, ujar Dagut, Protokol Tumbang Anoi Nasional 2019, menuntut Pemerintah Republik Indonesia, Presiden Joko Widodo mengangkat putera/puteri terbaik Suku Dayak menjadi Menteri dan beberapa Staf Ahli Kepresidenan di Kabinet Kerja Jilid II Pemerintah Republik Indonesia.
Point kedua, “Menuntut Pemerintah dalam pengembangan sumberdaya manusia Suku Dayak, agar mengalokasikan anggaran yang besar untuk peningkatan Perguruan Tinggi Negeri di Pulau Dayak, serta mengakomodir putera-puteri Suku Dayak dalam mengikuti pendidikan kedinasan baik Pemerintah Pusat maupun Daerah (Akademi Militer Nasional, Akademi Polisi Republik Indonesia, Institut Pemerintahan Dalam dan pendidikan kedinasan lainnya).”
Di Point keempat, “Menuntut Pemerintah untuk mengembalikan lahan dan hutan adat kepada masyarakat Suku Dayak yang diambil di luar berstatus sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) dan minimal 20 (dua puluh) persen di dalam HGU untuk kebun kemitraan/plasma perkebunan dari pengusaha perkebunan kelapa sawit, serta memomatorium pemberian izin terhadap perkebunan kepala sawit, usaha pertambangan, dan Program Transmigrasi di Pulau Dayak dan Program Keluarga Berencana.”
Kelima, “Menuntut hak penerapan Program Heart of Borneo (HoB) sebagai kesepakatan Indonesia, Federasi Malaysia dan Brunei Darussalam sejak 12 Februari 2007, untuk kepentingan Masyarakat Adat Suku Dayak; serta menuntut Pemerintah untuk membina dan mengembangkan pertanian tradisional, berupa komoditi lokal seperti karet, rotan dan produk-produk hutan lainnya, agar dijadikan kekuatan pembangunan ekonomi Dayak.”