Mbah Maimun Dimakamkan di Mana? Ini Pernyataan & Harapan Rais Syuriyah PBNU KH Ahmad Ishomuddin
Mbah Moen, katanya, tekun dalam mendidik ribuan santri dan putra-putrinya untuk menekuni ilmu-ilmu keislaman yang bermanfaat di dunia pesantren.
Penulis: Marlen Sitinjak | Editor: Marlen Sitinjak
Kitab kuning menjadi santapan sehari-harinya di pesantren. Beliau juga masih tegar setiap memimpin shalat berjamaah di pesantrennya.
Hal itu terlihat ketika NU Online berkunjung ke ndalem beliau di Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang pada awal tahun 2017, tepatnya Rabu (15/1/2017) menjelang sore pukul 14.31 WIB. Kebersahajaan, kharisma, dan akhlak Mbah Maimoen melekat kepada setiap santrinya.
Kemurnian para santri dalam mengabdi dan menimba ilmu kepada Mbah Maimoen tak pernah surut.
Bagi mereka, suatu kebahagiaan dan keberkahan tak ternilai bisa menggandeng kiai sepuh setiap hari menuju masjid tempat shalat berjamaah.
Sementara santri lainnya nampak membetulkan arah sandal Mbah Maimoen agar beliau tidak terlalu sulit memakainya ketika keluar masjid.
Di sejumlah pesantren, perilaku santri membetulkan sandal agar siap pakai memang bukan hal baru. Bahkan para santri sering melakukan tradisi tersebut ketika kiainya didatangi para tamu.
Ketika Mbah Maimoen keluar masjid selesai mengimami shalat, salah seorang santri bahkan secepat kilat datang di hadapan Mbah Maimoen untuk memakaikan sandal di kakinya.
Dari pemandangan tersebut, nampak jelas pesantren tidak hanya berisi samudera ilmu, tetapi juga penuh dengan gunungan akhlak mulia yang tertanam begitu dalam pada diri para santri.
Pesan tentang Ilmu
Dalam persoalanhal menimba ilmu, Mbah Maimoen menyatakan bahwa ilmu itu harus didatangi oleh manusia, karena ia tidak mendatangi.
Sebab itu, kehadiran setiap orang dengan maksud memperkokoh keilmuan merupakan langkah yang tepat.
Apalagi sekaligus menelusuri sanadnya sehingga ilmu itu menyambung hingga ke pucuk sumber yang shahih, yaitu Nabi Muhammad.
“al-ilmu yu'ta wa la ya'tii. Ilmu itu didatangi bukan mendatangi dirimu,” tutur Mbah Maimoen Zubair dengan penuh kehikmatan menerangkan kepada para tamu.
Mbah Maimoen mengumpamakan air di dalam sumur yang harus ditimba. “Sebagaimana kita menginginkan air di dalam sumur, kita harus menimbanya,” ujar Mbah Maimoen kala itu.
Tak hanya terkait dengan esensi ilmu yang manusia harus terus menerus menimba dan belajar, tetapi juga berbagai persoalan bangsa maupun penjelasan sejarah meluncur deras dari mulutnya sehingga para tamu nampak makin khidmat dalam menyimak paparan-paparan Mbah Maimoen.
Terkait dengan persoalan kebangsaan dan politik yang terus mengalami turbulensi dari tahun ke tahun, Mbah Maimoen berpesan agar tidak semua orang ikut larut dalam permasalahan sehingga melupakan tugas terdekatnya sebagai manusia.
Hal ini akan berdampak pada ketidakseimbangan hidup dan kehidupan itu sendiri. Selamat jalan Mbah Moen!!! (*)