Utang Luar Negeri Indonesia ke China Rp 248,4 Triliun, Fadli Zon Ingatkan Hati-hati Proyek OBOR Cina
Utang Luar Negeri Indonesia ke China Rp 248,4 Triliun, Fadli Zon Ingatkan Hati-hati Proyek OBOR Cina
Penulis: Nasaruddin | Editor: Nasaruddin
Perjanjian semacam itu mestinya mendapatkan supervisi dari Pemerintah dan dikonsultasikan pada DPR, karena ada soal politik, pertahanan dan keamanan yang perlu dikaji di dalamnya.
Fadli melanjutkan, sesuai Pasal 10 UU No. 24/2000, setiap perjanjian internasional yang menyangkut enam bidang, yaitu (a) politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara, (b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara, (c) kedaulatan atau hak berdaulat negara, (d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup, (e) pembentukan kaidah hukum baru, serta (f) pinjaman dan atau hibah luar negeri, semuanya wajib mendapatkan persetujuan parlemen.
27) Menurut saya, ada beberapa alasan kenapa nota-nota kesepahaman itu perlu ditinjau kembali dan diberi supervisi oleh Pemerintah. Pertama, meski disebut kerjasama “Business to Business” (B to B), bukan “Government to Government” (G to G), namun kerjasama ini tidaklah gratis.
— Fadli Zon (@fadlizon) 13 Mei 2019
Apalagi sesudah ada Putusan MK No. 13/PUU-XVI/2018, seluruh perjanjian internasional harus diinvetarisasi terlebih dulu oleh Pemerintah bersama dengan parlemen untuk kemudian didapatkan kesepakatan bidang mana yang mesti disahkan melalui UU atau Perpres.
Jadi, perjanjian-perjanjian yang terkait dengan OBOR atau BRI tak boleh dilepas begitu saja seolah itu adalah persoalan swasta.
Sebab, ada isu geopolitik, geostrategi dan isu pertahanan keamanan di dalamnya.
Ketiga, saat ini kita sedang berada pada periode transisi kekuasaan dalam siklus lima tahunan.
"Sangat tak pantas hal-hal terkait isu strategis seperti OBOR atau BRI diputuskan di masa akhir kekuasaan semacam ini," tegasnya.
Keputusan-keputusan itu, selain potensial ceroboh, menurutnya, juga rawan sekali ditunggangi oleh kepentingan pribadi segelintir elite.
"Kita perlu ingat, dunia saat ini sedang berada di tengah ketegangan baru, baik akibat konflik bersenjata antar-negara seperti terjadi di Suriah, Lebanon, Yaman, atau konflik yang bersifat laten sebagaimana masih menghantui Semenanjung Korea dan Laut Cina Selatan, juga akibat konflik ekonomi yang telah melahirkan perang dagang (trade war) serta gelombang baru proteksionisme," paparnya.
Jika pada masa Perang Dingin konfliknya bersifat bipolar, maka hari ini konfliknya bersifat plural dan multipolar.
Di tengah situasi tersebut, kita butuh strategi diplomasi yang cerdik, bukan diplomasi asal-asalan, apalagi disetir oleh kepentingan segelintir elite.
"Itu sebabnya, meskipun Wakil Presiden dan Menko Kemaritiman berdalih perjanjian-perjanjian itu dilakukan oleh swasta, menurut saya kesepakatan-kesepakatan itu harus ditinjau kembali oleh Pemerintah," jelasnya.
Diplomasi kita, menurut Fadli Zon, baik diplomasi politik maupun dagang, seharusnya diarahkan untuk memperkuat posisi Indonesia di panggung internasional, bukan untuk menempatkan negara kita sebagai subordinat dari blok-blok dominan yang sedang bertarung dan berebut pengaruh di tingkat global.
"Mestinya kita memperkuat kerjasama dengan negara-negara Selatan, mendorong terbentuknya blok dagang baru yang berkomitmen terhadap perdamaian, untuk menciptakan politik perimbangan," tulisnya.