Pokja Rumah Demokrasi Ajak Masyarakat Bijak Tanggapi Isu Banyaknya Petugas KPPS Meninggal
Menurutnya, sejauh ini isu ramainya petugas KPPS yang meninggal dunia sangat sulit dibendung, dan informasi yang beredar di Media Sosial tidak sedikit
Penulis: Muhammad Luthfi | Editor: Ishak
Pokja Rumah Demokrasi Ajak Masyarakat Bijak Tanggapi Isu Banyaknya Petugas KPPS Meninggal
SAMBAS - Ketua Umum Kelompok Kerja (Pokja) Rumah Demokrasi, Zainudin Kismit meminta semua pihak untuk bersikap bijak menanggapi informasi atas isu meninggalnya para petugas penyelenggara Pemilu serentak 2019.
Menurutnya, pada proses pemilu kali ini harus ada kesan demokrasi yang baik. Dimana narasi - narasi yang dibangun jangan sampai menimbulkan trauma demokrasi kepada para keluarga petugas penyelenggara pemilu yang meninggal.
"Penggiringan mindset demikian yang harus di hindari. Termasuk para tim sukses dan peserta pemilu jangan sampai ada penggiringan opini yg melahirkan trauma demokrasi terhadap rakyat," ujarnya, Senin (13/5/2019).
Baca: Duka Pemilu 2019, 2 Petugas KPPS di Sambas Meninggal Dunia
Baca: Dua Anggota KPPS di Sintang dan Sanggau Meninggal, Daftar Panjang Duka Pemilu 2019 di Kalbar
Menurutnya, sejauh ini isu ramainya petugas KPPS yang meninggal dunia sangat sulit dibendung, dan informasi yang beredar di Media Sosial tidak sedikit yang perlu di verifikasi kebenarannya, bahkan sudah ada informasi yang bersifat disinformasi dan hoax.
Tidak hanya itu, juga di perparah lagi dengan kondisi banyaknya asumsi-asumsi yang berkaitan dengan yang meninggal.
"Kalau ada pertanyaan mengenai penyebab meninggalnya para petugas. Menurut saya itu wajar saja, apalagi lebih dari 500-an orang yang telah meninggal karena Pemilu 2019. Namun, kita juga tidak boleh melupakan para keluarga yang ditinggalkan, semuanya harus menjaga perasaan mereka yang saat ini sedang berduka. Jangan sampai asumsi-asumsi yang dibangun di ruang publik malah memberikan beban kepada pihak keluarga," katanya.
Tentu salah satu yang sangat disayangkan kata Zai, adalah penyelenggara Pemilu terkesan tidak mengantisipasi isu-isu sensitif seperti ini. Khususnya isu yang berkaitan setelah proses pungut hitung.
Padahal isu-isu yang berkembang sejauh ini bukanlah hal yang baru. Karena pada Pemilu 2014 dan sebelumnya isu yang sama juga ramai menjadi perdebatan publik.
"Kalau kita melihat sekarangkan penyelenggara sibuk klarifikasi. Sudah viral baru mereka menjelaskan kepada publik, seharusnya ini bisa diantisipasi. Saya kurang tau apakah isu yang berkembang, masuk dalam pemetaan potensi rawan. Harusnya isu sensitif seperti ini memiliki potensi yang perlu diantisipasi," jelasnya.
Untuk itu, masyarakat harus cerdas menyaring informasi terkait isu-isu sensitif. Jangan sampai pertanyaan-pertanyaan masyarakat itu dipolitisasi secara berlebihan, sehingga menimbulkan perdebatan yang tidak sehat.
Baca: Pasca Pemilu 2019, Pokja Rumah Demokrasi Singbebas Prediksi Percaturan Politik Bergerak Ke Pilkada
Baca: Pokja Rumah Demokrasi Kalbar Minta Pemilu Serentak Dievaluasi, Giat Anshorrahman Beberkan Alasannya
Sebaiknya masyarakat juga harus menerima informasi dari sumber yang benar, jangan sampai belum diketahui kebenarannya masyarakat sudah menshare informasi tersebut.
Kemudian untuk elit-elit politik juga harus menghimbau pendukungnya untuk bersikap tenang. Jangan malah berasumsi atau membangun opini diruang publik yang malah memperlebar masalah.
Penting juga asumsi-asumsi yang dibangun di publik harus disampaikan secara utuh. Sehingga masyarakat menerima informasi yang benar dan tidak membingungkan.
"Elit politik mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Kita harus sama-sama menjaga proses demokrasi ini berjalan damai dan sukses," bebernya.
Sementara itu, Terkait ramainya desakan Investigasi untuk para korban yang meninggal dunia, ia mengatakan hal itu sah-sah saja.
Tapi yang perlu menjadi perhatian dan tidak boleh diabaikan adalah pihak keluarga korban. Dimana semua pihak harus mendengarkan juga aspirasi dari para keluarga korban.
"Para keluarga korban mempunyai hak yang sama untuk menentukan hal itu. Kalaupun dilakukan investigasi semua harus sepakat, dilakukan oleh orang-orang profesional dan independen," pintanya.
Tidak hanya itu Penyelenggara Pemilu juga harus merangkul tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, dan sebagainya untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai isu-isu yang berkembang sejauh ini.
Karena bagaimanapun tokoh-tokoh tersebut punya kedekatan dan bersentuhan langsung dengan masyarakat arus bawah.
"Penyelenggara bisa saja menjelaskan kepada tokoh-tokoh (tidak termasuk timses-red) ini apa yang terjadi sebenarnya, termasuk hasil audit internal penyelenggara Pemilu. Nanti para tokoh ini yang akan membantu KPU maupun Bawaslu menjelaskan kepada masyarakat," katanya.
Yang juga tidak kalah penting adalah, berkaitan dengan santunan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah harus segera di serahkan kepada pihak keluarga.
Selain itu kita juga perlu memberikan apresiasi setinggi-tingginya untuk mereka yang rela mengorbankan nyawa demi mensukseskan proses demokratisasi di Indonesia. Dimana apresiasi itu tidak hanya berupa santunan dan hastag saja.
Perlu juga dipikirkan oleh pemerintah untuk memberikan apresiasi lebih bagi keluarga yang ditinggalkan. Apalagi sejauh ini tidak sedikit yang meninggal adalah tulang punggung keluarga.
Baca: Fadli Zon Minta Investigasi Meninggalnya Ratusan Petugas KPPS di Pemilu 2019, Ini Suatu Keanehan
Baca: Tim Dokter Forensik Muhammadiyah Cari Sebab Wafatnya 500 KPPS, Jubir BPN Dahnil Singgung Pemerintah
"Apresiasi itu bisa dalam bentuk memberikan beasiswa pendidikan bagi anak-anak mereka. Kalau santunan itukan memang kewajiban pemerintah dan hak keluarga untuk mendapatkannya," jelasnya.
Lebih lanjut, Zainuddin Kismit juga menuturkan, bahwa harus ada evaluasi secara mendalam terkait persoalan ini. Karena bagaimanapun jika ditarik permasalahan awalnya terdapat didalam pembuatan UU dan rekrutmen yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu.
Dimana para pembuat UU tidak mengantisipasi hal tersebut. Misalnya didalam UU mewajibkan proses perhitungan harus dilakukan dalam jangka satu hari, yang kemudian pasal tersebut Yudisial Review ke MK dan diputuskan dengan menambahkan hari.
"Kemudian berkaitan dengan rekrutmen petugas. Harusnya tes kesehatan menjadi pegangan penyelenggara untuk mengantisipasi. Kalau menurut KPU yang meninggal karena sakit bawaan harusnya mereka bisa menimalisir hal tersebut," tutupnya. (One)