Dosen dan Mahasiswa Alami Penganiayaan saat Satpol PP Pontianak Bubarkan Peringatan Hari Tari Dunia

Dosen dan Mahasiswa Alami Penganiayaan saat Satpol PP Pontianak Bubarkan Peringatan Hari Tari Dunia

Penulis: Nasaruddin | Editor: Nasaruddin
TRIBUNPONTIANAK/ISTIMEWA
Seniman musik (komponis) asal Kota Pontianak, Nursalim Yadi Anugerah 

PONTIANAK - Sejumlah dosen dan mahasiswa mengalami penganiayaan saat Satpol PP Pontianak bersama satu ormas membubarkan peringatan Hari Tari Dunia di Kota Pontianak yang digelar di seputar Taman Digulis, Senin, (29/4/2019).

Hal itu sebagaimana disampaikan Nursalim Yadi Anugerah, Seniman, Komponis dan Direktur Artistik Balaan Tumaan Ensemble.

Menurut Yadi, dalam pernyataan sikapnya, acara yang digagas Program Studi Seni Pertunjukan UNTAN dan Dinas Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata Kota Pontianak, yang juga dihadir Prof., Dr. Y Sumandiyo Hadi (Maestro Tari dan Pengajar) dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta serta beberapa pejabat daerah, menjadi ricuh pada sekitar pukul 21.30 WIB.

Baca: Nursalim Yadi Anugerah Raih Achievement Award Kosong Kosong 2018

Yadi mengatakan, Satpol PP dan Oknum Laskar Pemuda Melayu Pontianak bersikeras membubarkan acara tersebut karena menurut mereka acara tersebut sarat dengan perihal LGBT.

Terlebih lagi pernyataan Satpol PP yang menyatakan bahwa tindakan mereka atas instruksi Wali Kota Pontianak, Edi Kamtono.

"Pemukulan dan kekerasan fisik terjadi pada Dosen/Ketua Program Studi Seni Pertunjukan dan beberapa mahasiswa yang dilakukan oleh Satpol PP dan Oknum Laskar Pemuda Melayu Pontianak," kata Yadi.

Baca: Pentas Seni untuk Kemanusiaan, Balaan Tumaan Tampilkan 3 Lagu

Dirinya menegaskan, hingga saat ini, kasus yang terjadi sudah dibawa ke ranah hukum lewat laporan yang dilayangkan para korban ke Polresta Pontianak, Senin (29/4/2019).

"Sekali lagi, paska surat pelarangan pemutaran film “Kucumbu Tubuh Indahku” karya Garin Nugroho yang dilayangkan Walikota Pontianak, tindakan gegabah dan kembali dilakukan oleh Pejabat nomor satu Kota Pontianak tersebut untuk membubarkan kegiatan kesenian atas dasar ketakutan pada LGBT," katanya.

Baca: Kisah Kerinduan Sejoli Dalam Opera Hnnung Karya Nursalim Yadi Anugerah di Taman Budaya

"Bentuk kezaliman pemimpin pada masyarakat. Bibit pengekangan yang terus disiram subur oleh pemimpin yang hanya mengandalkan kemampuan mengerahkan massa dan aparat. Semena-mena tanpa mengedepankan ruang-ruang dialog," paparnya.

Yadi menegaskan, tindakan barbar, anarkis yang diakomodir ini menunjukkan kemerosotan kualitas pemimpin serta masyarakat yang tidak bisa didiamkan.

Berikut pernyataan sikap Nursalim Yadi Anugerah:

PERNYATAAN SIKAP 
MENGECAM WALIKOTA PONTIANAK ATAS INSIDEN KEKERASAN DI HARI TARI DUNIA 2019 - PONTIANAK

Tahun ketiga Hari Tari Dunia di Kota Pontianak (Senin, 29/4) yang melibatkan lebih dari 700 penari dari penari independen, komunitas, sanggar, hingga akademisi diwarnai aksi kekerasan serta penganiayaan yang dilakukan oleh Satpol PP Kota Pontianak dan Oknum Laskar Pemuda Melayu Pontianak di area Tugu Digulis, Pontianak. Acara yang digagas oleh Program Studi Seni Pertunjukan UNTAN dan Dinas Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata Kota Pontianak ini yang juga dihadir Prof., Dr. Y Sumandiyo Hadi (Maestro Tari dan Pengajar) dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta serta beberapa pejabat daerah menjadi ricuh pada sekitar pukul 21.30 WIB.

Satpol PP dan Oknum Laskar Pemuda Melayu Pontianak bersikeras membubarkan acara tersebut karena menurut mereka acara tersebut sarat dengan perihal LGBT. Terlebih lagi pernyataan Satpol PP yang menyatakan bahwa tindakan mereka ATAS INSTRUKSI WALIKOTA, Bapak Edi Kamtono. SUNGGUH SANGAT DISAYANGKAN !

Pemukulan dan kekerasan fisik terjadi pada Dosen/Ketua Program Studi Seni Pertunjukan dan beberapa mahasiswa yang dilakukan oleh Satpol PP dan Oknum Laskar Pemuda Melayu Pontianak. Hingga saat ini, kasus yang terjadi sudah dibawa ke ranah hukum lewat laporan yang dilayangkan para korban ke POLRESTA Pontianak Kota tadi malam (29/4).

Sekali lagi, paska surat pelarangan pemutaran film “Kucumbu Tubuh Indahku” karya Garin Nugroho yang dilayangkan Walikota Pontianak, tindakan gegabah dan kembali dilakukan oleh Pejabat nomor satu Kota Pontianak tersebut untuk membubarkan kegiatan kesenian atas dasar ketakutan pada LGBT. Bentuk kezaliman pemimpin pada masyarakat. Bibit pengekangan yang terus disiram subur oleh pemimpin yang hanya mengandalkan kemampuan mengerahkan massa dan aparat. Semena-mena tanpa mengedepankan ruang-ruang dialog. Tindakan barbar, anarkis yang diakomodir ini menunjukkan kemerosotan kualitas pemimpin serta masyarakat yang tidak bisa didiamkan !

NURSALIM YADI ANUGERAH
(Seniman, Komponis dan Direktur Artistik Balaan Tumaan Ensemble)

Satpol PP Bantah Membubarkan

Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Pontianak mengamankan sejumlah penari yang didatangi masa lantaran dianggap menari porno.

Kasatpol PP, Syarifah Adriana menjelaskan peristiwa awal krena adanya berita yang tersebar, bahwa tarian adalah tarian yang tidak baik, laki-laki berbaju porno dan ada yang mengatakan bahwa tarian tersebut dari para LGBT karena melihat video yang beredar.

"Dari itulah kita dari Satpol PP berusaha mengamankan dan ternyata kita kalah cepat sama ormas yang mendatangi TKP. Tapi kita masih berhasil mengamankan tiga orang, dan mereka dapat kita proses sebagaimana mestinya," ucapnya, Selasa (30/4/2019).

Setelah diamankan para penari tersebut, kemudian datanglah penanggung jawab seorang dosen dari Prodi Seni FKIP Untan dan Sanggar tempat penari berlatih.

"Setelah diberikan pengertian dan didata mereka dipulangkan dengan membuat pernyataan terlebih dahulu bahwa tarian itu adalah murni seni dan bukan LGBT,"tegasnya.

Kemudian penanggungjawabnya menyetujui bahwa tarian semacam itu tidak boleh dimainkan lagi di Pontianak, sebab masyarakat Pontianak sebetulnya tidak siap menerima hal semacam itu.

"Disini adalah yang sopan dan sesuai norma yang ada. Kita minta mereka membuat pernyataan baru dipulangkan," tegasnya.

Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Pontianak membantah bahwa pihaknya telah membubarkan Hari Tari Dunia yang digelar di Taman Digulis Untan Pontianak, Senin (29/4/2019) malam.

Kasat Pol PP Kota Pontianak Syarifah Adriana menjelaskan peristiwa yang terjadi saat momen peringatan Hari Tari Dunia.

Bukan pihaknya yang membubarkan, tapi oleh massa karena menganggap berbau porno.

Adriana membeberkan peristiwa awal karena adanya berita yang tersebar bahwa tarian adalah tarian yang tidak baik. 

Dimana laki-laki berbaju porno dan ada yang mengatakan bahwa tarian tersebut dari para LGBT karena melihat video yang beredar.

"Dari itulah kita dari Satpol PP berusaha mengamankan dan ternyata kita kalah cepat sama ormas yang mendatangi TKP. Tapi kita masih berhasil mengamankan tiga orang, dan mereka dapat kita proses sebagaimana mestinya," kata Adriana kepada Tribun, Selasa (30/4/2019).

Setelah diamankan para penari tersebut, kemudian datanglah penanggung jawab seorang dosen dari Prodi Seni FKIP Untan dan Sanggar tempat penari berlatih.

"Setelah diberikan pengertian dan didata mereka dipulangkan dengan membuat pernyataan terlebih dahulu bahwa tarian itu adalah murni seni dan bukan LGBT," tegasnya.

Kemudian penanggungjawabnya menyetujui bahwa tarian semacam itu tidak boleh dimainkan lagi di Pontianak.

Sebab masyarakat Pontianak sebetulnya tidak siap menerima hal semacam itu. 

"Disini adalah yang sopan dan sesuai norma yang ada. Kita minta mereka membuat pernyataan baru dipulangkan," tegasnya

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved