Siti Danilah Salim, "Tokoh Pers Perempuan" yang Terlupakan
Laporan situasi saya kirimkan ke Harian Neratja. Saya juga menerjemahkan berita pendek dari bahasa asing
Penulis: Rizki Fadriani | Editor: Jamadin
Siti Danilah Salim, "Tokoh Pers Perempuan" yang Terlupakan
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID,PONTIANAK- Hari pers nasional diperingati setiap tanggal 9 Februari.
Siapa tidak kenal dengan Bapak Pers Nasional, Tirto Adhi Soerjo.
Orang pertama yang mendirikan surat kabar di Indonesia, sejak jaman Kolonial.
Dimana hari itu, kita mengenal dan mengenang sejarah pers di Indonesia berserta orang-orang dibalik perkembangan pers.
Selain Tirto, ada lagi tokoh lainnya dalam perkembangan dunia pers Indonesia seperti Adam Malik, Mochtar Lubis, Jacob Oetama dan deretan nama lain yang sebagian besar, bahkan nyaris semuanya adalah laki-laki.
Tak banyak yang tahu, jika perempuan juga ada yang terlibat dalam perkembangan sejarah pers di Indonesia. Sebut saja Danilah.
Dalam catatan literasi Din Osman berjudul “Praktisi Pers Perempuan yang Terlupakan", diceritakan bahwa Siti Danilah Salim, adalah adik kandung dari Agus Salim.
Danilah mengenyam pendidikan dasarnya di Europesche Lagere School Riau.
Dari sana dia lalu melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (setingkat SMP) di Medan.
Setelah menyelesaikannya, umur 17 tahun dia bekerja di Kantor Pos dan Bea Cukai.
Danilah menikah tahun 1920 dengan seorang pegawai tambang minyak dan mengikuti suaminya itu ke Kalimantan dan Semarang.
Kecintaan Danilah pada dunia literasi dimulai sejak umur 20 tahun, bermula ketika dia bekerja sebagai juru koreksi di Percetakan De Evolutie, perusahaan pribumi yang mendapat subsidi pemerintah kolonial.
Tak satu pun naksah buku yang hendak diterbitkan De Evolutie luput dari pemeriksaannya.
Satu per satu naskah dia teliti, setiap peletakan tanda baca yang salah dia koreksi.
“Dari pengalaman bekerja sebagai korektrise dan belajar otodidak di De Evolutie itulah minat saya untuk mengarang mulai tumbuh,” kata Danilah dalam kumpulan memoar perempuan Sumbangsihku Bagi Pertiwi.
Kemampuan bahasa Belanda dan Indonesianya yang baik membuat Danilah tak kesulitan membuat tulisan jurnalistik dan karangan panjang.
Baca: Hadiri Rapat Persiapan Syukuran Terbangunya Jembatan Gantung, Ini Kata Yeremias Marsilinus
Baca: Kronologi Pengungkapan Produksi Uang Palsu di Pontianak: Ratusan Juta Beredar, Ibu Pingsan Digrebek
Mulanya, Danilah menulis puisi dan esai dalam bahasa Belanda memakai nama pena Kemuning.
Tulisan berbahasa Indonesia Danilah dimuat pertamakali oleh Harian Neratja, suratkabar modern pribumi karena memuat foto. Kala itu, Agus Salim mejadi pemimpin redaksinya.
Danilah lagi-lagi menjadi juru koreksi di media ini.
Tulisan Danilah di Neratja bersanding dengan tulisan Agus Salim, Mohammad Yamin, Bahder Djohan, dan Kasuma Sutan Pamuntjak.
Danilah juga aktif berorganisasi. Dia bergabung dengan Jong Sumatranen Bond dan aktif menulis di Majalah Jong Sumatra.
“Saya senang menulis sajak di majalah Jong Sumatra. Laporan situasi saya kirimkan ke Harian Neratja. Saya juga menerjemahkan berita pendek dari bahasa asing,” kata Danilah, masih dari catatan Din Oesma.
Meski sempat berpindah-pindah mengikuti suaminya, Danilah tetap menulis untuk beberapa surat kabar setempat dan mengirimkannya ke Jakarta.
Di Semarang Dia menulis untuk Majalah Pestaka dan Suratkabar Bahagia mengasuh rubrik Taman Isteri.
Ketika tinggal di Semarang, Danilah mulai aktif dalam gerakan perempuan dengan bergabung ke dalam Isteri Indonesia, organisasi perempuan yang didirikan pada Juli 1932 dan diketuai Maria Ulfah.
Danilah terpilih sebagai ketua Istri Indonesia cabang Semarang selama lima tahun.
Setelah bercerai dari suaminya pada 1938, Danilah pindah ke Jakarta.
Baca: Berikut Jadwal Turnamen Jutitia Futsal Hari Ini
Baca: Konsep Mini Moto, Inilah Penampilan Supra Fit Milik Andi
Dia tetap aktif dalam organisasi perempuan dan menulis.
Danilah menjadi anggota Pengurus Besar Isteri Indonesia dan ketua cabang Kwitang.
Danilah menikah lagi dengan wartawan Cahaya Timur Syamsudin Sutan Makmur di masa pendudukan Jepang. Setelah Jepang hengkang, mereka mendirikan Mingguan Daya Upaya namun tak bertahan lama.
Syamsudin bersama Njoto dan rekannya mendirikan Harian Rakyat.
Di suratkabar ini, Danilah mengisi rubrik Pojok dengan nama samaran Bang Golok.
Nama Bang Golok dia pilih karena menggambarkan ketajaman senjata rakyat Indonesia.
Dalam salah satu karangannya, Danilah menulis bahwa rakyat harus bersatu-padu agar Indonesia tidak dijajah kembali oleh Belanda.
“Radio milik Belanda, Pemancar Radio Hilversum menuduh Bang Golok sebagai penghasut kelas satu agar Indonesia berontak melawan Belanda,” katanya.
Ketika Isteri Indonesia hendak membuat terbitan, Danilah dipercaya menduduki ketua komisi pers lantaran sepak-terjangnya di dunia literasi dan jurnalistik.
Lasmidjah Hardi dalam Perjalanan Tiga Zaman menyebut Danilah sebagai wartawan terkenal di zamannya.
Danilah juga aktif menulis di Majalah Isteri Indonesia.
“Kakak saya Siti Salamah menjadi pemimpin umum Majalah Isteri Indonesia,” kata Danilah.
Menurutnya, menulis tidak bisa dilepaskan dari cara pandang yang berpihak pada perempuan. Kala Sukarno menikah dengan Fatmawati, misalnya, Danilah mengkritik keras Sukarno dan menyayangkan Sukarno menduakan Inggit.
Bagi Danilah, Inggit perempuan hebat yang berperan besar dalam membantu Sukarno di masa sulit. Dia kembali mengkritik Sukarno ketika menikah lagi dengan Hartini.
Baginya, tak ada ruang poligini karena hal itu merugikan perempuan.
Danilah berteman dekat dengan Nyonya Latief, mertua pemimpin redaksi Harian Merdeka BM Diah. Mereka sama-sama aktivis Isteri Indonesia.
Nyonya Latief menjabat sebagai kepala cabang Jakarta.
Ketika Isteri Indonesia mengadakan kongres di Yogyakarta, Danilah datang bersama Nyonya Latief dengan mengendarai mobil. Dari Nyonya Latief pula Danilah kenal BM Diah.
Tidak hanya berhubungan dengan BM Diah, Danilah juga pernah bekerjasama dengan Parada Harahap, Abdul Muis, Datuk Tumenggung, dan beberapa nama tenar di dunia literasi.
Sayang, nama Danilah tak setenar Agus Salim atau rekan seperjuangannya.
Nama Danilah terlupa dalam sejarah pers dan literasi Indonesia.
Tulisan ini dikutip dari catatan literasi Din Osman berjudul “Praktisi Pers Perempuan yang Terlupakan".