Status Pencalonan OSO Tersangkut di KPU, Yusril Pun Ibaratkan Tugas Penghulu

MA mengabulkan gugatan uji materi OSO terkait PKPU Nomor 26 Tahun 2018 yang memuat syarat pencalonan anggota DPD.

Editor: Marlen Sitinjak
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/ DESTRIADI YUNAS JUMASANI
Dra Shinta Nuriah Abdurrahman Wahid menyampaikan ceramah kebangsaannya saat buka bersama Osman Sapta Oedang di Masjid Raya Mujahidin, Jalan Ahmad Yani, Pontianak, Kalimantan Barat, Senin (28/5/2018) malam. Istri almarhum Gus Dur ini menekankan pentingnya menjaga keharmonisan dalam masyarakat yang majemuk. TRIBUN PONTIANAK/DESTRIADI YUNAS JUMASANI 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI belum mengambil keputusan soal status pencalonan Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Menurut Komisioner KPU RI, Pramono Ubaid Tanthowi, dalam mengambil keputusan, KPU harus berdasarkan pada UU dan putusan-putusan lembaga peradilan yang berwenang.

KPU, kata Pramono, tak bisa dipaksa harus mengikuti putusan satu lembaga peradilan hukum saja.

Apalagi, jika kemudian isi putusan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam konstitusi.

Baca: SLANK Konser di Enam Kota Kalbar, Kamu Slankers? Catat Jadwal Lengkapnya

Baca: Psikolog hingga Anggota Dewan Angkat Bicara Terkait Kasus Perampokan di Pontianak

"KPU itu tidak bisa kemudian dipaksa-paksa oleh putusan peradilan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada di konsitusi kita," kata Pramono saat dihubungi, Selasa (20/11/2018).

Pramono mengatakan, Undang-undang Dasar 1945 mengatur bahwa KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang mandiri dalam mengambil keputusan.

Oleh karena itu, KPU tak bisa dipaksa oleh lembaga manapun, kecuali yang putusannya betul-betul sesuai prinsip konstitusi, untuk mengikuti putusan mereka.

Hingga saat ini, KPU masih mempertimbangkan putusan sejumlah lembaga soal syarat pencalonan anggota DPD, yang berkaitan dengan status pencalonan OSO sebagai anggota DPD Pemilu 2019.

Menurut Pramono, KPU berupaya untuk tak mengabaikan putusan lembaga mana pun.

"Jadi prinsipnya, KPU dalam menjalankan semua keputusan, semua kebijakan itu, berdasarkan pada konsitusi, pada undang-undang, pada putusan-putusan lembaga peradilan pada putusan Bawaslu dan seterusnya. Jadi kami harus tegak lurus pada aspek itu," ujar dia.

Pramono mengatakan, KPU berencana menggelar audiensi dengan MK, setelah minggu lalu menggelar diskusi dengan sejumlah ahli hukum.

Nantinya, keputusan soal pencalonan OSO sebagai anggota DPD akan diambil dalam mekanisme rapat pleno.

Pramono berharap audiensi dengan Mahkamah Konstitusi (MK) bisa dilaksanakan secepatnya.

Dalam audiensi tersebut, KPU akan meminta pertimbangkan MK mengenai bagaimana KPU seharusnya menyikapi status pencalonan OSO sebagai anggota DPD.

Baca: Menang Gugatan Di PTUN, Pengamat Nilai OSO Tak Mau Patuhi Putusan MK

Baca: Gubernur Sutarmidji Minta BPD Miliki Unit Kajian APBD

"Tentu semua akan dibincangkan. Bagaimana menyikapi putusan yang berbeda-beda dari berbagai lembaga peradilan yang berbeda, atas sebuah masalah hukum yang sama," ujar Pramono.

Sebelumnya, KPU mencoret OSO sebagai calon anggota DPD lantaran tidak menyerahkan surat pengunduran diri dari partai politik. OSO dianggap masih tercatat sebagai anggota partai politik.

Menurut putusan Mahkamah Konstitusi (MK), anggota DPD dilarang rangkap jabatan sebagai anggota partai politik. Aturan mengenai larangan anggota DPD rangkap jabatan tercantum dalam putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 yang dibacakan pada Senin, (23/7/2018).

Atas putusan KPU itu, OSO melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

MA mengabulkan gugatan uji materi OSO terkait PKPU Nomor 26 Tahun 2018 yang memuat syarat pencalonan anggota DPD.

Sementara, Majelis Hakim PTUN juga mengabulkan gugatan Ketua Umum Partai Hanura itu dan membatalkan surat keputusan (SK) KPU yang menyatakan OSO tidak memenuhi syarat (TMS) sebagai calon anggota DPD.

Hakim juga memerintahkan KPU untuk mencabut SK tersebut.

Cari Waktu

Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono mengatakan, MK tengah mencari waktu yang tepat untuk menggelar audiensi dengan KPU terkait syarat pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada Pemilu 2019.

Menurut Fajar, ada kemungkinan audiensi digelar pada pekan ini. Realisasi rencana ini akan menyesuaikan dengan agenda sidang.

"MK sudah terima surat dari KPU yang memohon audiensi. MK akan terima audiensi itu, tapi MK sedang mencari waktu yang tepat agar tak bertepatan dengan agenda sidang," kata Fajar, Selasa (20/11/2018).

"Ada kemungkinan (audiensi) pekan ini, tapi tergantung pada keputusan RPH (Rapat Permusyawaratan Hakim) besok," lanjut dia.

Fajar memastikan, pihaknya tak akan membuat keputusan baru terkait syarat pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah ( DPD).

Sementara itu Yusril Ihza Mahendra, selaku penasihat hukum Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Odang, menilai KPU RI tidak netral pada saat melakukan audiensi untuk mencari solusi pengurus partai politik mendaftarkan diri sebagai calon anggota DPD RI di Pemilu 2019.

Menurut dia, lembaga penyelenggara Pemilu itu memiliki kecenderungan memilih mendengarkan pakar hukum yang mempunyai pendapat untuk menjalankan putusan MK.

Adapun, putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 mengenai larangan pengurus partai politik menjadi anggota DPD RI.

"KPU akan lebih fair setelah mendengar pandangan pihak-pihak yang berseberangan, bukan dengerin sepihak saja," kata Yusril.

Dia menjelaskan, putusan MK adalah putusan perkara pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terhadap Undang-undang Dasar 1945.

Adapun, sifat putusannya adalah normatif, tidak bersifat imperatif atau perintah kepada lembaga atau institusi tertentu.

Jika, mengacu pada pasal 47 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, kata dia, putusan MK berlaku prospektif ke depan, tidak berlaku retroaktif ke belakang.

"Putusan MK itu ditindaklanjuti dengan diterbitkannya peraturan KPU, yakni PKPU 26/2018 yang justru memberlakukan Putusan MK itu secara retroaktif. Mahkamah Agung membatalkan PKPU 26/2018 sejauh mengenai pemberlakuan secara retroaktif," tambahnya.

Yusril juga meminta KPU segera melaksanakan putusan PTUN yang mengabulkan gugatan permohonan kliennya.

"Putusan TUN sudah jelas dan imperatif, tidak ada ruang tafsir lagi. Sifat putusan TUN adalah imperatif," ujar Yusril.

Dia menjelaskan, pengadilan TUN mengabulkan gugatan OSO, karena Mahkamah Agung (MA) sudah membatalkan Peraturan KPU (PKPU) RI Nomor 26 Tahun 2018 tentang perubahan peraturan KPU Nomor 14 tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPD RI pada Pemilu 2019.

Dalam diktumnya, kata dia, pengadilan PTUN menyatakan Keputusan KPU tentang DCT yang tidak mencantumkan nama OSO batal.

Lalu, memerintahkan kepada Tergugat KPU untuk mencabut Keputusan tersebut dan menerbitkan Keputusan DCT yang baru yang mencantumkan nama OSO di dalamnya.

Sehingga, apabila pihak lembaga penyelenggara pemilu itu tidak segera mengeksekusi, maka pihaknya berencana untuk memproses secara hukum pidana ketua dan para komisioner KPU RI.

Dia menilai putusan PTUN berbeda dengan putusan MK dan MA, di mana, dalam uji materiil yang bersifat normatif putusan masih dapat diutak-atik.

Hal ini, seperti permintaan delapan orang pakar hukum yang meminta agar KPU RI mematuhi putusan MK dan mengabaikan putusan MA dan PTUN.

Namun, dia menegaskan, ada konsekuensi hukum apabila Arief Budiman cs tidak segera mengekusi putusan tersebut.

"Kalau KPU ikuti pendapat 8 pakar itu, ya siap-siap saja KPU kami pidanakan. Mengabaikan putusan pengadilan yang bersifat imperatif itu adalah kejahatan," katanya.

Terkait opsi KPU berupa pengurus Parpol yang telah dicoret dari daftar calon tetap (DCT) calon anggota DPD bisa dimasukkan kembali ke DCT.

Namun, apabila calon anggota DPD terpilih, maka harus mengundurkan diri dari jabatan pengurus partai politik, juga ditolak Yusril.

Ia menilai, penawaran opsi tersebut bukan kewenangan dari lembaga tersebut. Menurut Yusril, KPU RI sebagai lembaga penyelenggara pemilu hanya berwenang selama tahapan pemilu.

Ini sesuai ketentuan dalam undang-undang.

"Kalau Pak OSO nantinya terpilih sebagai anggota DPD dan dilantik, maka tugas KPU sebagai penyelenggara Pemilu sudah selesai," ujar Yusril.

Dia menegaskan, KPU tidak dapat lagi membuat aturan atau mengadakan kesepakatan seperti yang diinginkan.

"KPU kan penyelenggara Pemilu, ya jangan neko-neko lagi kalau tugas penyelenggaraan Pemilu sudah selesai," kata dia.

Dia mengibaratkan tugas KPU RI seperti penghulu. Penghulu hanya bertugas menikahkan antara laki-laki dengan perempuan.

"Tugas penghulu ya menikahkan orang. Kalau sudah selesai nikah, ya tugasnya sudah selesai. Masa mau ngatur-ngatur rumah tangga orang," ujarnya. (kompas.com/tribunnews.com)

Jejak Status

* 23 Juli 2018

- MK memutuskan anggota DPD dilarang rangkap jabatan sebagai anggota partai politik. Larangan anggota DPD rangkap jabatan tercantum dalam putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018.

* 20 September 2018

- KPU memutuskan OSO Tidak Memenuhi Syarat (TMS) sebagai calon legislatif (Caleg) DPD.
- OSO dicoret lantaran tak menyerahkan surat pengunduran diri dari partai politik.
- OSO berstatus Ketua Umum Partai Hanura.

* 25 September 2018

- OSO melalui kuasa hukum mengajukan permohonan uji materiil kepada MA terkait PKPU 26/2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu DPD.
- MA mengabulkan permohonan uji materiil yang diajukan OSO.

* 11 Oktober 2018

- Bawaslu menolak gugatan sengketa Nomor 036/PS.REG/ BAWASLU/IX/2018 yang dilakukan OSO kepada KPU yang mencoretnya dari DCT caleg DPD.

*14 November 2018

- Majelis hakim PTUN Jakarta mengabulkan gugatan OSO terhadap keputusan KPU tentang penetapan DCT.
- Hakim menyatakan, SK DCT KPU batal dan diperintahkan dicabut serta menerbitkan SK DCT baru yang mencantumkan nama OSO.

* 20 November 2018

- KPU belum mengambil keputusan soal status OSO.
- KPU berencana menggelar audiensi dengan MK pekan ini.Usai audiensi KPU akan melaksanakan pleno. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved