Belum Ada KLB Kematian Ibu dan Bayi, Ini Penjelasan Diskes Kalbar
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat, dr Andy Jap memastikan hingga kini belum ada istilah Kejadian Luar Biasa
Penulis: Jimmi Abraham | Editor: Madrosid
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Rizky Prabowo Rahino
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK – Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat, dr Andy Jap memastikan hingga kini belum ada istilah Kejadian Luar Biasa (KLB) terhadap Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Kalimantan Barat.
“KLB itu kan peningkatannya drastis. Belum ada istilah KLB. Kalau KLB itu kan Kejadian Luar Biasa,” ungkapnya saat diwawancarai Tribun Pontianak di Kantor Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat, Jalan DA Hadi, Kota Pontianak, Senin (12/11/2018) sore.
Kendati belum ada data AKI dan AKB total secara keseluruhan pada tahun 2018 di Kalbar, namun berdasarkan pemantauan pihaknya angkanya tidak jauh dari angka tahun 2017. Pada tahun 2017, total AKI di Kalbar sebanyak 98 orang. Sementara itu, total AKB di Kalbar tahun 2017 sebanyak 692 orang.
Baca: 6 Puteri Pelajar SMA Menari di Acara Penutupan Bulan Rosario Dengan Misa Syukuran
“Untuk tahun 2018, kami belum ada total secara keseluruhan. Data belum lengkap dan belum masuk semua. Nanti direkap satu tahun. Tapi, kurang lebih tidak ada peningkatan signifikan. Kita berupaya angkanya setiap tahun berkurang,” terangnya.
Ia mengakui hingga kini Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalbar belum bisa menihilkan kasus AKI. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), AKI secara nasional berada pada angka 300 per 100 ribu kelahiran hidup. Artinya, jika ada 100 ribu kelahiran maka ada 300 ibu yang meninggal.
“Kalau per 1.000 kelahiran maka ada sekitar tiga kasus ibu meninggal. Di Kalbar, AKI sudah lebih rendah dari nasional. Kita itu sekitar 240 per 100 ribu. Jadi, jika ada 100 ribu kelahiran hidup maka ada 240 ibu yang meninggal,” paparnya.
Baca: LIGA 1 Terkini - Hasil & Klasemen Terbaru Liga 1 2018 Usai Sriwijaya FC Menang Meyakinkan
Untuk AKB, angkanya 31 per 1.000 kelahiran hidup. Angka itu adalah angka kematian bayi sejak umur 0-12 bulan, bukan pada saat lahir. Dari sisi jumlah, AKB lebih tinggi dari AKI.
“Penyebabnya antara lain pertama, adanya penyakit infeksi seperti pernafasan dan pencernaan. Kedua, daya tahan tubuh bayi rendah kaitannya gizi. Ketiga, pengaruh lingkungan,” ujarnya.
Andy Jap menimpali pihaknya terus berupaya agar semua ibu melahirkan selamat, sehingga AKI bisa dinihilkan. Namun, saat ini cita-cita itu belum bisa diwujudkan lantaran banyak hal yang menjadi penyebab terjadinya AKI.
“Kalau di Kubu Raya ada 12 kasus ibu meninggal melahirkan pada tahun 2018, itu saya rasa masih dalam batas angka normal. Cuma nanti perlu dilihat dulu sebarannya apakah hanya di satu wilayah atau tidak. Kalau hanya di satu kecamatan atau desa, itu tentu harus ditelusuri kok bisa,” imbuhnya.
Ia menjelaskan banyak hal penyebab terjadi kasus kematian ibu melahirkan. Diantaranya, dari sisi kurangnya pengetahuan masyarakat, adat istiadat kepercayaan terhadap dukun beranak dibandingkan tenaga kesehatan dan keterbatasan ekonomi.
“Ada juga kondisi misalnya ketika dirujuk melahirkan tidak ada bidannya. Atau bidannya tidak terampil. Lalu bisa juga bidan ada, tapi sarana dan prasarananya tidak lengkap. Bisa juga ngerujuknya susah karena infrastruktur rusak seperti ada kasus ibu hamil dipikul, akses transportasi sulit terbatas sehingga terlambat tiba di fasilitas kesehatan rujukan,” katanya.
Selain faktor terlambat dirujuk, penyebab terbanyak ibu meninggal adalah pendarahan. Pendarahan merupakan kejadian yang memerlukan penanganan medis segera.
“Penyebab lainnya, bisa saja bidan terlambat mendiagnosa risiko agar dirujuk atau terlambat keluarga mengambil keputusan. Misalnya harus dirujuk karena tidak maju-maju persalinannya. Keluarga harusnya jangan pikir-pikir lagi. Ikuti saja dirujuk,” ujarnya.