Perintis Bengkel Seni Fisipol Wafat, Inilah Nyanyian Terakhir 'Sang Wathan'
Pada tahun 1998, darah mudanya bergelora. Pekikan lantang protes pada situasi sering ia tujukan pada penguasa saat itu.
Penulis: Didit Widodo | Editor: Didit Widodo
Satu tenda berdiri namun kursi-kursi tak berjajar rapi. Beberapa orang sibuk membuat peti mati, tanda duka telah dikabarkan di sebuah rumah sederhana berwarna cream di Gg Karya Bakti, Jalan Khatulistiwa, Kelurahan Batu Layang, Kecamatan Pontianak Utara, Minggu (30/09/2018) pagi.
Ini adalah rumah seniman, tokoh pemuda, dan juga sekaligus pendiri Bengkel Seni Fisipol Untan, Wathan Kadarusman Bin H Abang Zubir atau dikenal juga dengan nama Wathan.
Mantan Kepala Desa Tanjung Jati Putusibau Selatan dua priode ini berpulang diusianya yang ke 43 tahun pada Minggu pukul 07.10 WIB, di Rumah Sakit Antonius Pontianak.

Wathan meninggalkan seorang istri, Nelly Febrianty, dua anak, Angga (18) dan Cindy (14), serta seorang anak asuhnya, Anna.
Wathan dilarikan ke unit ICCU RSA Antonius, Senin 17 September 2018 pukul 23.30 WIB, setelah mengalami kecelakaan parah di kawasan Batu Layang, Pontianak Utara.
Warga sekitar menemukan Wathan sudah tergeletak di pinggir jalan dalam kondisi tak sadarkan diri, kaki hingga kepalanya terluka. Sementara motor Jupiter MX-nya rusak parah. Diduga kuat dia merupakan korban tabrak lari.

Dini hari itu Agung, sahabat Wathan, kaget bukan kepalang menerima telepon dari warga yang mengabarkan telah menemukan Wathan dalam kondisi mengenaskan. Tak tunggu lama, Agung lalu menyusul ke lokasi kejadian.
"Warga menelepon pakai HP Wathan yang melihat SMS terakhir. Karena sebelum kejadian saya sempat SMS-an dengan beliau. Malam itu juga kami bawa dia ke RS Antonius," kata Agung, sahabat yang dikenal Wathan sejak masa kuliah.

Dari pagi hingga sore, puluhan sahabat hinga kerabat berdatangan ke rumah sakit, seakan tak percaya dengan musibah itu. Lantaran sebelum kejadian naas itu, Wathan sempat mengurus kepulangan rombongam kepala desa se-Putusibau usai Diklat di Hotel Orchad, Pontianak.
Pendarahan yang terjadi di jaringan kepala di bawah selaput pelindung otak, mengharuskan Wathan dioperasi dengan biaya yang tak sedikit. Urunan rembuk kerabat dan sahabat membuat operasi tiga jam-an terlaksana dengan lancar pada Selasa (18/09/2018) sore.
Namun, pasca operasi tersebut Wathan masih juga belum sadar. Ia mengalami fase krisis hingga koma selama 13 hari di ruang Intensive Cardiologi Care Unit (ICCU).

Segala daya upaya telah dilakukan keluarga dan sahabat, namun Tuhan berkehendak lain. Minggu (30/9) pagi itulah, mendung kelabu seakan menjadi saksi kepergian 'Sang Wathan'. Ia menghembuskan nafas terakhir di hadapan istri, beberapa sahabat, dan kerabat terdekat.
Kabar meninggalnya sosok perintis Bengkel Seni Fisipol (BSF) Untan ini dengan cepat menyebar di jejaring media sosial (Medsos). Ungkapan turut berduka cita pun bermunculan. Tak jarang muncul berbagai foto kenangan ketika almarhum aktif berkesenian di kampus dan di Kota Putussibau pun ramai diunggah di jejering medsos.
Salah satu rekan almarhum sesama perintis BSF, Timur Wahyudi mengatakan, sepekan sebelum meninggal dunia, almarhum banyak memposting status di medsos yang terlihat tak seperti biasa, terkesan janggal.
Postingan tersebut berisi lirik lagu 'Berandal Malam di Bangku Terminal ciptaan Iwan Fals, lagu 'Indonesia Tanah Air Beta', dan lagu 'Menangis' miliknya Franky.
Namun semua lirik lagu yang dipostingya, tetap ditutup dengan tagline 'Berandal Malam di Bangku Terminal'.
"Firasatnya mungkin sudah ada, itulah lagu terakhirnya karena jarang sekali dia memposting seperti itu. Memang Allah sayang padanya. Namun begitu Wathan tetap akan tersimpan dalam memori kita, di mana pernah merasakan kebahagiaan dan kesedihan bersama," tutur Timur.

M Zaini, teman kampus seangkatan almarhum, yang kini penggiat antinarkoba Kalbar juga merasa kehilangan. "Beliau disenangi semua golongan, karena sangat menghormati orang- orangtua. Meski kepala desa, orangnya asyik," ujar Zaini.

Ungkapan berbela sungkawa dan kehilangan juga disampaikan berbagai kalangan. Seperti dari Ketua Ormas Oi Kalbar, Eka Indra (Jojo), Ketua Umum PP IKA FISIP Untan, Utin Srilena, Ketua 1 IKA FISIP Untan, Suparman, Ketua II IKA FISIP Untan, Wira, Sekjen PP IKA FISIP/Sekum IMI Kalbar, Deden Arinugraha, jajaran Pengda IKA FISIP Kota Pontianak, dan masih banyak lagi, termasuk keluarga, sahabat luar kampus, hingga adik-adik tingkatnya semasa kuliah. Ucapan itu hingga memenuhi wall media sosialnya.
"Insyaallah, nanti kita akan bikin panggung sederhana 'Tribute to Wathan' dengan mengundang beberapa seniman, sekaligus mengenang dan mendoakan beliau," kata Jojo.

'Sang Apache'
Seperti seniman pada umumnya, Wathan juga memiliki cerita-cerita menarik sepanjang hidupnya. Banyak kiprahnya hingga ia memiliki banyak sahabat yang dianggap sudah seperti saudara sendiri.
Wathan Kadarusman lahir di Putussibau pada 11 November 1974. Setelah menamatkan sekolah di SMAN 1 Putusibau ia melanjutkan kuliah di Fisipol Untan pada tahun 1993. Kesederhanaan, bergitar, dan berambut gondrong, dan senang mengoleksi aksesoris suku Dayak membuatnya mudah dikenal di lingkungan kampus hingga luar kampusnya. Ia pernah digelari 'Sang Wathan Apache'.
Wathan juga sempat memperkuat Persatuan Sepak Bola (PS) Fisip Untan asuhan Dedi, dan timnya pernah menjadi juara umum antarperguruan tinggi se Kalbar.
Meski indekos di Gg Bansir, Jl Imam Bonjol, namun hari- harinya banyak dilalui di kampus dan lingkungan Untan. Hobinya bernyanyi sambil bergitar membuatnya makin dikenal di kalangan seniman jalanan, atau Kelompok Penyanyi Jalalanan (KPJ) semasa itu.
Pada tahun 1998, darah mudanya menggelora. Nyanyian protes terhadap situasi sering dipekikannya untuk menyentil penguasa saat itu. Ia pun pernah mengubah aransemen lirik lagu Bus Kota Franky, menjadi berjudul 'Demonstran'.

Di massa itulah bersama aktivis dan seniman kampus ia mendirikan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Bengkel Seni Fisipol (BSF) yang berkembang hingga sekarang.
Aktif di BSF, tak membuat Wathan melupakan kuliah. Ia meraih gelar sarjana dalam waktu empat tahun setengah. Setelah tamat kuliah, Wathan kembali ke kampung halamannya, Putussibau dan dipercaya masyarakat menjadi Kepala Desa Tanjung Jati sampai dua periode.


Mengurusi desa juga tak membuat darah seninya hilang. Bersama Ricard Maulana Ngo, Wathan juga mendirikan Bengkel Seni Putussibau (BSP) dan terlibat dalam pendirian Ormas Oi Nocturno Putussibau.


Meski berstatus sebagai kepala desa, Wathan masih kerap manggung, bernyanyi, membawakan lagu-lagu kritikan sosial milik Iwan Fals dan Franky.
Kini, Wathan Kadarusman telah tiada. Batu nisan telah memisahkan keluarga tercinta serta sahabatnya, hanya tinggal mengisahkan kenangan terindah.
Selamat jalan 'Sang Wathan', doa-doa terindah akan selalu mengiringi perjalananmu menuju surga.

