Citizen Reporter
Fordeb Gelar Workshop Literasi Politik di Politeknik Negeri Sambas
Qodja mencontohkan aksi politik strategis yang berhubungan dengan urusan tata negara.
Penulis: Hamdan Darsani | Editor: Jamadin
Citizen Reporter
Rektor Balai Kopi, Qodja
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Politik terdiri dari dua model. Pertama politik strategis, kedua politik elektoral. Politik strategis sangat berkaitan dengan urusan ketata negaraan yang menjadi dasar negara.
Lebih luas, politik strategis adalah soal aksi yang digerakkan oleh masyarakat sipil, baik melalui ormas ataupun organ politik untuk menyelesaikan masalah bangsa yang menyentuh masyarakat secara massal dalam hal pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya.
Sedangkan politik elektoral adalah politik praktis yang melibatkan partai politik yang punya kepentingan elektoral untuk memperoleh kekuasaan.
Qodja menyampaikan dalam politik elektoral atau politik praktis kita tidak perlu terlalu serius sampai harus terbelah dan berseteru karena perbedaan pilihan politik, sebab para elit parpol berhubungan sangat cair.
(Baca: Disperindagnaker Mempawah Siap Berikan Tindak Lanjut, Usai Pelatihan Pada Warga Binaan )
Mereka bersekutu dan berseteru karena masalah kepentingan sehingga muncul kaidah tidak ada kawan dan lawan abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan yang abadi.
Namun jika sudah terkait dengan urusan politik strategis, maka setiap kita harus serius dan turun tangan menyelesaikan persoalan bangsa tanpa harus menunggu instruksi dari siapapun. Jika bertemu masalah di masyarakat, maka siapapun harus tergerak untuk menyelesaikan masalah.
Qodja mencontohkan aksi politik strategis yang berhubungan dengan urusan tata negara.
Ketika Mohammad Natsir, mengajukan Mosi Integral di tahun 1950 untuk menyatukan seluruh wilayah Nusantara melebur kedalam sistem NKRI atau Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terjadi perdebatan di antara Bapak Bangsa saat itu. Ada dua tokoh yang tidak setuju dengan konsep Negara Republik, keduanya adalah Mohammad Hatta dan Romo Mangunwijaya. Menurut keduanya, Nusantara ini secara geografis dan demografi berbeda-beda di tiap wilayah tidak bisa diseragamkan dengan konsep pemerintahan yang sentralistik. Keduanya beranggapan, jika Indonesia tetap dipaksakan sebagai Negara Republik bisa berpotensi membuat Indonesia bubar.
Mereka mengusulkan Indonesia kembali kedalam bentuk federal. Waktu berjalan hingga Indonesia melalui fase Orde lama dan Orde Baru lalu masuk ke era transisi Reformasi.
Segala dugaan Hatta dan Romo Mangun menjadi terbukti sebab di masa transisi Reformasi negara tidak stabil, Timor-Timor lepas dari NKRI. Ancaman disintegrasi bangsa mengemuka.
Di Aceh, GAM kembali bergerilya untuk kembali berperang. Di Ambon dan Poso terjadi kerusuhan antar agama, di Kalimantan Tengah dan Barat terjadi kerusuhan etnis. Indonesia berhadapan pada situasi genting.
Saat itu yang menjabat sebagai Presiden adalah Gusdur dan yang menjabat sebagai Mentri Pertahanan adalah Pakar Tata Negara, Mahfud MD.
Kegelisahan Mahfud MD disampaikan kepada Gusdur saat itu, dan Presiden Gusdur menjawab, “Masyarakat kita tidak terlalu peduli dan mengerti soal sistem republik atau federal. Begini saja, sistem kita tetap Republik tapi impelementasinya seperti negara federal.” Maka sejak saat itu pemerintahan Gusdur mengeluarkan Undang-Undang Otonomi Daerah.