Pendiri Go-Jek Nadiem Makarim Ternyata Cucu Pejuang Kemerdekaan, Siapa Dia?
Antara lain, Perundingan Linggarjati, Perundingan Renville, dan Konferensi Meja Bundar (KMB).
Penulis: Hasyim Ashari | Editor: Agus Pujianto
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, JAKARTA - Dalam darah Nadiem Makarim, ternyata mengalir darah pejuang kemerdekaan.
Kakeknya adalah Hamid Alqadri. Hamid Alqadri adalah ayah dari, Atika Alqadri, ibunda dari Nadiem Makarim.
Nadiem adalah buah hati dari Atika Alqadri dan Nono Anwar Makarim.
Nadiem lahir di Singapura, 4 Juli 1984.
Ia adalah pengusaha sukses Indonesia.
Dia merupakan pendiri serta CEO Go-Jek, sebuah perusahaan transportasi dan penyedia jasa berbasis daring.
Baca: Agama Franka Franklin Istri Bos Gojek Nadiem Makarim Terungkap dari Foto Ini
Baca: Ini Kesan Pj Gubernur Menjalani Bulan Suci Ramadan di Kalimantan Barat
Lantas siapa sebenarnya Hamid Alqadri?
Ia adalah seorang pejuang perintis kemerdekaan Indonesia keturunan Arab yang berjasa dalam sejumlah perundingan.
Antara lain, Perundingan Linggarjati, Perundingan Renville, dan Konferensi Meja Bundar (KMB).
Hamid juga menjadi salah satu anggota parlemen pada masa awal berdirinya negara Republik Indonesia.
Mengutip Wikipedia.com, Hamid Algadri lahir di Pasuruan 10 Juli 1912.
Akan tetapi sebenarnya dia dua tahun lebih tua, agar ia dapat dimasukkan ke sekolah dasar Belanda Europesche Lag School oleh ayahnya karena persyaratan umur.
Ayahnya Kapitein der Arabieren (Kepala masyarakat Arab) di Pasuruan, suatu kedudukan dalam tata kolonial, setara dengan Kapitein der Chinezen (Kepala Masyarakat Tionghoa).
Saat itu pemerintah Hindia Belanda meggolongkan penduduk di Indonesia sebagai orang Eropa (Europeanen), orang Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) dan orang pribumi (Inlanders).
Baca: Memanas! Ratusan Driver Go Jek dan Go Car Serbu kantor PT Gojek Indonesia Perwakilan Pontianak
Baca: Siswa SD Hamili Siswi SMP, Usai Nikahkan Begini Kabar Mengejutkan Dari Mereka
Orang Cina dan Arab masuk golongan Vreemde Oosterlingen.
Untuk hubungan dengan pemerintah mereka diberi pemimpin sendiri yakni Kapten itu.
Hamid Algadri menurut silsilah ayah berasal dari tanah Hadramaut di jazirah Arab dan dari garis keturunan ibu dari Malabar, India.
Ia menempuh pendidikan formal sekolah dasar ELS, sekolah menengah MULO dan AMS-A bagian klasik Barat, dan tahun 1936 sebagao mahasiswa Rechts Hoge School (Pendidikan Tinggi Hukum) di Batavia.
Ia merupakan keturunan Arab pertama yang menuntut pelajaran di universitas.
Selagi mahasiswa dia bergabung dengan Persatuan Arab Indonesia (PAI) yang didirikan tahun 1934 oleh AR Baswedan (Menteri Muda Penerangan 1946-47).
Baca: TERPOPULER - Hilang Keperawanan Demi Roy Kiyoshi Hingga Langkah Persib Usai Ancaman Mario Gomez
Baca: Aksi Siswa SMAN 1 Sungai Raya Garap Vidoe Spesial Perpisahan
Dengan PAI sebagai wadah, orang Arab ingin menjadi orangIndonesia dan menerima Sumpah Pemuda tahun 1928 yaitu satu Tanah Air, satu bangsa, satu bahasa ialah Indonesia.
Kemudian PAI menjelma sebagai parpol dan sebagai Partai Arab Indonesia bersikap Co(koperator atau kerja sama) terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Adapun parpol yang Non (nonkoperator) seperti PNI pimpinan Soekarno, Pendidikan Nasional Indonesia pimpinan Hatta-Syahrir telah dilarang.
Perjalanan karier Hamid sudah dapat diduga.
Ia ikut dalam delegasi Indonesia ke Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, 1949, sebagai penasihat.
KMB menghasilkan penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia akhir Desember 1949.
Hamid jadi anggota parlemen dan karena duduk dalam Komisi Luar Negeri sering mengadakan kunjungan resmi ke berbagai negara di Asia dan Eropa.
Baca: Prahara Rumah Tangga Dewi Perssik dan Angga Wijaya, Ramalan Roy Kiyoshi Terbukti?
Baca: Pertamina Cabang Pontianak Berbagi Kebahagiaan Dengan Anak Panti Asuhan

Setelah pemilu 1955 ia menjadi ketua fraksi Partai Sosialis Indonesia (PSI) dalam Konstituante yang bersidang di Bandung menyusun konstitusi baru.
Di sana dia menyuarakan sikap politik PSI yaitu tidak menyetujui pembentukan negara Islam di Indonesia dan setelah pembicaraan gagal dalam sidang Konstituante menyatakan setuju kembali ke UUD 1945 sebagai jalan alternatif mengatasi kemelut.
Konstituante dibubarkan dan Presiden Soekarno mendekritkan kembali ke UUD 1945.
Salah satu kegiatan Hamid ketika menjadi anggota parlemen ialah menjadi Sekjen Panitia Pembantu Perjuangan Kemerdekaan Tunisia dan Aljazair.
Panitia ini didirikan pada tahun 1956 dan di dalamnya duduk tokoh-tokoh parpol seperti Mohd Natsir, Kasimo, Mr Sunario dan lain-lain.
Karena kedudukannya dalam Panitia tersebut, rumah Hamid di Jalan Tosari 50 menjadi tempat berkumpulnya pejuang-pejuang dari Afrika Utara (Maghribi).
Baca: Pertamina Cabang Pontianak Berbagi Kebahagiaan Dengan Anak Panti Asuhan
Baca: Ini Faktor yang Mempengaruhi Bijak Bermedsos Menurut Kadiskominfo Kalbar
Berdatanganlah ke situ Allal Fazzi dari Maroko, Habib Bourguiba, Salah ben Yussef, Taieb Slim, Tahar Amara dari Tunisia, Lakhdar Brahimi, Mohammed ben Yahya, Muhammad Yazid, Husein Ait Ahmad dari Aljazair.
Setelah negeri mereka merdeka dan berdaulat, tokoh-tokoh itu menjadi orang penting.
Habib Bourguiba jadi Presiden Tunisia, Taieb Slim dubes di Inggris, Mohammed ben Yahya duta besar untuk Moskwa, kemudian Menlu Aljazair, Lakhdar Brahimi dubes di Kairo dan London, kemudian Menlu Aljazair dan kini sering jadi trouble shooter Sekjen PBB menyelesaikan masalah Haiti, Lebanon, Afganistan, Somalia, Sudan dan Irak.
Hamid diakui jasanya oleh negara-negara Afrika Utara dan memperoleh bintang kehormatan dari Republik Tunisia dan Aljazair.
Di dalam negeri dia dianugerahi Satya Lencana 1978 dan diakui sebagai Perintis Kemerdekaan.
Setelah tiada lagi jadi anggota parlemen, dia aktif di bidang sosial, misalnya menjadi direktur Yayasan Dana Bantuan.
Meskipun bukan Kapitein der Arabieren seperti ayahnya, dia diakui secara tak resmi dalam lingkungan keturunan Arab sebagai "kepala suku".
Baca: Pria Bersimbah Darah Dilarikan ke Rumah Sakit, Tim Medis Temukan Bekas Tusukan Benda Tajam
Baca: Cicipi Sotong Pangkong Jalan Merdeka, Ini Penilaian PJ Gubernur Kalbar
Pendapatnya sering diminta sebagai diterima sebagai pendapat "kepala suku" layaknya.
Tiap kali Presiden Soeharto membentuk kabinet selama Orde Baru dan di dalamnya terdapat menteri yang keturunan Arab, maka Ia berbesar hati dan bila ada kesempatan bertemu dengan Pak Harto menyatakan rasa terima kasihnya atas kenyataan itu.
Waktu hari pertama Ia masuk rumah sakit, dengan tiada ayal datang berkunjung Menlu Ali Alatas dan Menteri Keuangan Mar'ie Muhamad melihat keadaannya.
Hamid mulai dirawat di Rumah Sakit Medistra, Jakarta karena kerapuhan tulang dan radang paru-paru.
Setelah lima hari dirawat, Hamid meninggal pada hari Minggu fajar tanggal 25 Januari 1998.
Ia dikuburkan di pemakaman Tanah Kusir, Jakarta. (*)