Pelanggaran Kode Etik Promosi Susu Formula Masih Kerap Terjadi, JPK dan AIMI Lakukan Pertemuan
Ketua AIMI Kalbar Aditya Galih Mastika mengatakan bahwa hingga saat ini, masih banyak ditemukan pelanggaran kode etik promosi susu formula.
Penulis: Rizki Fadriani | Editor: Dhita Mutiasari
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Bella
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Kode etik promosi susu formula menjadi satu diantara tiga tema diskusi yang dibahas oleh Jurnalis Perempuan Khatulistiwa (JPK) dan Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Kalimantan Barat di Canopy Center pada Kamis (10/05 /2018).
Acara yang dihadiri oleh para pengurus dan anggota dari kedua organisasi tersebut terselenggara dengan hangat membahas berbagai isu perempuan, khususnya ibu menyusui.
Baca: Ingin Bekerja di Jepang dan Korea, Ini Sejumlah Syarat Yang Harus Dipenuhi
Ketua AIMI Kalbar Aditya Galih Mastika mengatakan bahwa hingga saat ini, masih banyak ditemukan pelanggaran kode etik promosi susu formula.
Baca: Partai Mulai Buka Pendaftaran Caleg, Panwaslu Larang Caleg Pasang Alat Peraga Kampanye
Kode etik pemasaran susu formula masih banyak disalahgunakan. Padahal itu tidak hanya melanggar kode etik, melainkan melanggar Undang-Undang, " terangnya.
Ada beberapa kode etik yang disampaikan oleh Wakil Ketua AIMI Kalbar dr Rizky Pontiviana dalam pertemuan itu.
Beberapa kode etik tersebut antara lain :
* Membagikan sampel susu gratis
* Memberi gratifikasi bagi tenaga kesehatan
* Membuat kemasan serupa untuk susu formula di semua jenjang usia
* Membangun jaringan di komunitas media sosial
* Berkerjasama dengan fasilitas kesehatan
* Promosi di situs belanja online
* Staff kesehatan dilarang memberikan saran susu formula kepada ibu-ibu
* Dilarang memuat gambar bayi pada kemasan yang mengidealkan susu formula
* Produk yang tidak cocok untuk bayi seperti (susu kental manis) dilarang dipromosikan untuk bayi
* Pada kemasan produk menampilkan bahaya susu buatan dan keuntungan serta manfaat menyusui
Namun Ponti masih menemukan banyak sekali pelanggaran yang terjadi terkait kode etik tersebut.
" Di beberapa RS masih ada both atau icon-icon produk susu formula tertentu, padahal sudah jelas itu melanggar. Masih banyak dokter yang merujuk satu produk untuk dibeli dan tidak jarang mengatakan bahwa anak ibu akan sehat, tenang jika pakai pruduk ini," terang perempuan yang juga berprofesi sebagai dokter itu.
Keadaan inilah yang juga disadari oleh JPK, sehingga melakukan pertemuan dengan AIMI untuk bersama-sama memberantas pelanggaran yang masih kerap terjadi.
" Kita ingin melalui pertemuan ini agar bisa menyuarakan ke publik bagaimana perempuan harus bisa memaksimalkan potensi diri, sehingga tidak tergantung pada produk asi eksklusif. Kita terus memberitakan tentang ancaman asi eksklusif bagi buah hati dan tumbuh kembang anak Indonesia, " kata Wati Setyaningsih selaku anggota JPK.
Selain kode etik promosi susu formula, isu lain yang penting untuk menjadi perhatian bersama dan turut dibahas dalam pertemuan tersebut adalah mengenai stunting dan hubungannya dengan asi, asi dan ibu bekerja serta undang- undang yang melindungi ibu menyusui.