Ketua Forum Perbatasan Kalbar Nilai Anggota DPD RI Belum Berikan Kontribusi yang Signifikan
Belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan di Provinsi Kalimantan Barat
Penulis: Chris Hamonangan Pery Pardede | Editor: Madrosid
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Ridho Panji Pradana
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Menjelang pembukaan tahapan pendaftaran anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI), khusus Daerah Pemilihan Kalbar beberapa nama incumbent Anggota DPD-RI dan tokoh ternama di Kalimantan Barat ikut menghiasi bakal calon anggota DPD-RI tahun 2019.
Ketua Forum Perbatasan Provinsi Kalimantan Barat Abelnus, mengatakan bahwa selama ini anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) Daerah Pemilihan Provinsi Kalimantan Barat, belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan di Provinsi Kalimantan Barat lebih khusus untuk pembangunan masyarakat di wilayah perbatasan.
“Padahal persoalan pembangunan wilayah perbatasan di Kalbar sangat beragam, namun anggota DPD-RI Daerah Pemilihan Kalbar tidak mampu berbuat,” tegasnya.
Baca: Rumahnya Terangkat Akibat Hujan Deras dan Angin Kencang, Ini Cerita Wahyu Andayani
Abelnus yang aktif sebagai Peneliti di Kawasan Perbatasan Darat dan Laut Provinsi Kalbar tersebut, menemukan persoalan yang sangat mendesak dihadapi oleh masyarakat perbatasan adalah pada persoalan kawasan hutan lindung, sekitar belasan Ribu lebih Kepala Keluarga di perbatasan yang permukimannya terjebak di kawasan hutan lindung.
“Pertama masyarakat perbatasan tidak dapat membuat sertifikat kepemilikan Akta tanah, Kedua tidak dapat membuat sertifikat rumah, dan Ketiga tidak dapat membuat sertifikat akta perkebunan milik masyarakat, dalam artian masyarakat hanya menumpang di rumah dan tanah yang selama ini telah ratusan tahun di kelolanya,” paparnya.
Padahal dengan kewenangan legeslasinya terutama pada aspek pengelolaan sumber daya alam, anggota DPD-RI dapat saja mengajukan permohonan pembebasan hutan kawasan dari kawasan hutan lindung menjadi hutan kawasan produksi, sehingga masyarakat dapat membuat sertifikat akta tanah.
Sulitnya membuat sertifikat akta tanah dan sertifikat akta kebun yang telah masyarakat perbatasan kelola selama ratusan tahun tersebut, membuat mereka lemah dimata hukum dalam hal kepemilikan dan penguasan hak tanah masyarakat.
Tidak sedikit konflik yang dipicu oleh persoalan lahan masyarakat perbatasan dengan pihak investor perkebunan sawit yang semena-mena merampas tanah milik masyarakat perbatasan.
Namun apa daya, kata dia, masyarakat tidak memilik surat menyurat yang sah seperti sertifikat akta tanah, sehingga mereka selalu kalah dalam penyelesaian konflik dengan pihak investor perkebunan sawit, karena masyarakat hanya berbekal surat Keterangan Tanah (SKT) dari kepala Desa setempat.