Editorial
Gaduh Serbuan TKA
Hal ini menjadikan orang-orang asing, umumnya dari Tiongkok bebas masuk Indonesia.
Penulis: Ahmad Suroso | Editor: Jamadin
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Isu serbuan Tenaga Kerja Asing (TKA) di sejumlah daerah di Tanah Air kini menggelinding liar. Rumor membanjirnya TKA ke Indonesia semakin jadi perhatian lantaran terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan TKA yang kemudian dianggap mempermudah masuknya TKA asal Tiongkok dan mengancam tenaga kerja lokal.
Reaksi keras disampaikan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) akan memanfaatkan moment aksi besar-besaran Hari Buruh/Mayday, 1 Mei 2018 besok di Jakarta untuk menuntut pemerintah mencabut Perpres 20/2018 dan menyerukan Menaker Muhammad Hanif Dhakiri dicopot dari kabinet.
(Baca: Dianggap Sebagai Alergi Kulit, Setelah Lakukan X-ray Ada Benda Ini di Lengan Le Le )
Di parlemen, Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, menggulirkan usulan panitia khusus hak angket Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tersebut. Politikus Partai Gerindra itu menilai Perpres itu, justru memperbanyak TKA yang melakukan pekerjaan kasar. Hak angket dimunculkan untuk menjamin adanya perlindungan tenaga kerja lokal dari serbuan TKA.
Temuan Ombusman RI mempertegas soal membanjirnya tenaga kerja asing, terutama tenaga kerja tanpa keterampilan. Komisioner Ombudsman RI, Laode Ida dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (26/4) menyebutkan investigasi Ombudsman Juni-Desember 2017 di DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sulawesi Tenggara, Papua Barat, Sumatera Utara, dan Kepulauan Riau, menemukan pula fakta-fakta mengejutkan.
Pekerja asing, yang bekerja di sejumlah proyek investasi Tiongkok, menerima gaji lebih tinggi dibanding dengan pekerja lokal. Contoh, sopir lokal hanya mendapat Rp 5 juta, sopir asing bisa Rp 15 juta. Tidak hanya itu, gaji mereka langsung ditransfer ke rekening bank negara asalnya. Dengan demikian, Indonesia dirugikan karena tidak mendapatkan pajak penghasilan.
Temuan lain, terdapat potensi maladministrasi atas perubahan Permenaker Nomor 16/2015 menjadi Permenaker 35/2015. Dalam Permenaker itu, hilangnya ketentuan keharusan TKA berbahasa Indonesia. Hal ini menjadikan orang-orang asing, umumnya dari Tiongkok bebas masuk Indonesia.
Reaksi berbagai pihak itu, direspon Istana. Presiden Joko Widodo menyebutkan, isu serbuan tenaga kerja asing dan terbitnya Perpres TKA bermotif politik. Padahal, Perpres itu bertujuan untuk menyederhanakan prosedur administrasi untuk TKA. "Inilah yang namanya politik," kata Jokowi pada acara ekspor perdana Mitsubishi Xpander di Jakarta, Rabu (25/4) silam.
(Baca: Dinas Lingkungan Hidup Lakukan Jemput Bola Pada Pelayanan Pembuatan SPPL )
Tak bisa dipungkiri, Perpres 20/2018 yang diteken Presiden Jokowi pada 26 Maret tersebut memberikan kemudahan bagi badan usaha yang ingin mempekerjakan tenaga kerja asing. Namun, kemudahan itu dalam bentuk kepastian proses administrasi perizinan investasi.
Misal, pengesahan rencana penggunaan TKA diberikan menteri atau pejabat yang ditunjuk paling lama dua hari sejak permohonan diterima secara lengkap.
Meski demikian, temuan Ombudsman tentang sejumlah perusahaan yang mempekerjakan TKA tanpa Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) tak boleh dinafikan.
Pengawasan terhadap TKA oleh Tim Pengawasan Orang Asing (Tim Pora) yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian harus lebih diperketat. Jumlah SDM dan anggaran Tim ini juga harus ditambah untuk menciptakan kerja yang lebih efektif.
(Baca: Lasarus Pimpin Komisi V DPR RI Kunker ke Kalbar, Jembatan Landak Jadi Prioritas )
Di daerah yang ada investasi dan pekerja asing, perlu dibentuk unit pelaksana tugas (UPT) pengawas TKA, seperti diusulkan Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf. Atau seperti diungkapkan Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Ichsan Firdaus, secepatnya dibentuk Satgas Pengawasan TKA. Satgas Pengawasan TKA, harus diisi oleh banyak pihak mulai dari Kemenakertrans, Imigrasi, Polri, Mendagri, BIN dan lainnya.