Pertanyakan Pengakuan Terhadap Eksistensi Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat hukum adat menjadikan hutan sebagai sumber penghidupan, tempat berburu dan meramu.

Penulis: Sahirul Hakim | Editor: Madrosid
TRIBUN PONTIANAK / ANESH VIDUKA
Satu di antara adegan dalam lakon Nciak Mun Sangun (jeritan Roh Penunggu Alam) yang di pentaskan oleh Dapur Teater Pontianak, di gedung teater tertutup Taman Budaya, Jl Jend A Yani,Pontianak, Kalimantan Barat, Kamis (15/9/2016) Pukul 19.00 WIB. Pementasan ini akan berlangsung hingga (17/9/2016). Cerita yang di tulis oleh Beben MC ini menceritakan tentang jeritan para roh penunggu alam akibat dari pengrusakan hutan yang semakin menjadi. Diawali dengan kisah seorang warga etnis Dayak yang bernama Apak Pagu, orang yang tidak bertanggung jawab yang silau dengan harta. Demi mendapatkan kekayaan pribadi, ia rela mengeksploitasi hutan yang selama ini memberi kehidupan bagi dia dan warga kampung setempat. Bahkan hutan adat yang di anggap keramat sekalipun. Ia pun menjual hutan tersebut kepada seorang pengusaha, yang akan merubah hutan adat menjadi sebuah pemukiman baru, yang akan dibangun gedung-gedung bertingkat,perumahan bahkan pusat perbelanjaan. Aksinya itu pun mendapat penolakan keras dari masyarakat adat hingga anaknya sendiri (Dawai). Saat manusia sudah tidak bisa di peringatkan lagi, para roh penunggu alam pun memohon kepada Jubata (Tuhan) untuk memberikan hukuman kepada orang yang selalu merusak alam. Akibatnya Apak pagu pun menjadi korban akibat perbuatannya sendiri, iapun meninggal karena sebuah bencana akibat dari pengrusakan hutan adat,hutan yang di anggap keramat oleh masyarakat adat. 

Pihak perusahaan tidak bisa semata-mata menyalahkan masyarakat yang hanya memiliki bukti seadanya, karena secara defacto sebagian besar wilayah pulau Kalimantan di huni suku Dayak yang memiliki memiliki hak ulayat, warisan, pranata adat dan hukum adat yang masih lestari dan berlaku hingga saat ini, walaupun realitas ini dianggap oleh segelintir orang tidak memiliki kekuatan hukum secara dejure (yuridis formal).

Menurut hemat saya, masyarakat hukum adat adalah masyarakat tradisional yang lemah dan termarginalkan, mustahil rasanya jika masyarakat yang harus menginventarisir dan mendata hak-hak ulayat mereka sendiri, seharusnya yang paling bertanggung jawab adalah pihak pemerintah daerah, mengingat adanya Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor S.75/Menhut-II/2004, yang mengharuskan pihak pemerintah daerah untuk proaktif melakukan inventarisir (pendatataan), dan pengakuan budaya masyarakat lokal, termasuk hak ulayat, hak individu masyarkat adat, pranata adat, bahasa daerah dan hukum adat.

Kebutuhan akan adanya sebuah undang-undang yang mengatur mengenai masyarakat adat telah lama didorong oleh organisasi masyarakat adat seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan bahkan telah disambut baik oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan menyiapkan Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (RUU PPHMHA).

Kebutuhan akan sebuah UU tentang masyarakat hukum adat juga disampaikan oleh Mahkamah Konsitusi dalam Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012,  hakim konstitusi menyampaikan: Undang-Undang yang diperintahkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 hingga saat ini belum terbentuk, oleh karena kebutuhan yang mendesak, banyak peraturan perundang-undangan yang lahir sebelum Undang-Undang yang dimaksud terbentuk. 

Baca: Fans Yakin AS Roma Balas Kekalahan dari Liverpool di Olimpico

Amar putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 menghendaki bahwa diperlukan sebuah undang-undang khusus mengenai masyarakat hukum adat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, karenanya, dapat dipahami bahwa semua peraturan perundang-undangan baik pada level undang-undang, peraturan pemerintah maupun peraturan daerah yang sudah diundangkan saat ini, dianggap sebagai peraturan yang dibuat untuk mengisi kekosongan undang-undang khusus tentang masyarakat hukum adat.

Pada tingkat nasional, terdapat empat undang-undang yang mengatur mengenai kriteria masyarakat hukum adat, yaitu UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat adalah: masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap)   ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya ada wilayah hukum adat yang jelas ada pranata hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan pada UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan harus  ada tambahan bahwa masyarakat adat harus dikukuhkan dengan peraturan daerah.

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved