Pertanyakan Pengakuan Terhadap Eksistensi Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat hukum adat menjadikan hutan sebagai sumber penghidupan, tempat berburu dan meramu.
Penulis: Sahirul Hakim | Editor: Madrosid
Citizen Reporter
Dosen, Praktisi dan Tokoh Masyarakat Dayak Beginci
Sumin, M.Si
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, KAPUAS HULU - Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat adalah aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala. Sedangkan masyarakat hukum adat menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) adalah "Komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh Hukum adat dan Lembaga adat yang mengelolah keberlangsungan kehidupan masyarakatnya”.
Masyarakat hukum adat menjadikan hutan sebagai sumber penghidupan, tempat berburu dan meramu.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Institut Dayakologi selama 10 tahun sejak tahun 1997, ditemukan 151 suku Dayak dan 100 sub-sub sukunya serta 168 Bahasa Dayak di Kalimantan Barat, mereka hidup secara tradisional dan berpegang teguh pada adat istiadat, sehigga keberadaan masyarakat hukum adat Dayak tidak bisa nafikan begitu saja, karena faktanya sebelum NKRI ini menjadi negara yang berdaulat, masyarakat Dayak sudah memiliki pemerintahan adat (pranata adat/peguyupan), tunduk pada hukum dan ritual adat serta memiliki wilayah dan hak ulayat.
Baca: Masyarakat Adat Putussibau Utara, Deklarasikan Dukungan Pada Paslon Karol-Gidot untuk Pimpin Kalbar
Sebagaimana kita maklumi bersama, wilayah persebaran masyarakat hukum adat Dayak, secara geografis berada pada wilayah hutan, lahan/kawasan yang memiliki potensi sumber daya alam melimpah.
Benih-benih konflik muncul ketika pemerintah daerah belum membuat peta tata ruang yang mengakomodir hak-hak ulayat masyarakat adat, sehingga ketika investor atang, maka konflik dengan masyarakat adat-pun tidak bisa dihindarkan, hal ini karena masyarakat adat Dayak di sekitar kawasan HPH memandang bahwa secara tradisional hutan/tanah di kawasan itu merupakan warisan nenek moyang secara turun temurun dengan bukti berupa bekas ladang (bawas), jantak (pasak) pada pohon madu, lobang sadapan pada pohon damar, pohon/batu keramat atau kuburan leluhur.
Di sisi lain para pemegang HPH memandang kawasan hutan sebagai lahan yang secara legal formal telah dikuasakan pemerintah untuk dikelola dengan tujuannya mendapatkan keuntungan sebesar mungkin.
Klaim kepemilikan lahan dari kedua belah pihak kerap kali menimbulkan gesekan dan konflik, baik horizontal (sesama masyarakat) maupun vertikal (dengan perusahaan).
Konflik kepemilikan lahan antara masyarakat adat dengan pihak perusahaan pemegang HPH atau HGU bukan persoalan baru di Kalbar. Berdasakan data yang dirilis oleh Kominisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) Kalbar, hingga tahun 2013 saja tercatat 81,4 persen (4,05 juta hektar) tanah adat dan hak ulayat masyarakat adat tumpang tindih dengan kawasan hutan, dan sekitar 2,6 juta hektar tumpang tindih dengan perizinan (konsesi HPH, tambang, sawit, dan HTI). Tumpang tindih tersebut banyak mengakibatkan konflik yang rentan terjadi pelanggaran HAM.
Koran edisi Senin (16/4/2018) memuat berita terkait penyelesaian konflik antara Bapak Elianus Poro Pipa masyarakat adat dusun Beginci Laut, desa Batu Lapis, Kec. Hulu Sungai, Kab. Ketapang, Kalbar, dengan PT Wanasokan Hasilindo anak perusahan PT. Alas Kusuma Group yang memiliki areal HPH di sekitar perbatasan Kabupaten Melawi, Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Persoalan ini bermula dari kegiatan penebangan (logging) kayu Ulin (belian) sebanyak 343 m3 (sumber: pengakuan PT Alas Kusuma Group), sedangkan menurut versi masyarakat adalah sebanyak 119 batang, oleh PT WH di Hulu Sungai Bihak (RKT tahun 2015), lokasi tersebut secara defacto merupakan hak individu atau hak ulayat adat Bapak Elianus Poro Pipa.
Berita koran tersebut kemudian dijawab oleh pimpinan PT WH, pada koran yang sama di edisi Minggu (15/4/18). Pimpinan Operasional PT WH, mengakui pihaknya memang tidak menghadiri undangan itu. Bahkan ia menegaskan pihaknya tidak akan memenuhi tuntutan hukum adat yang disampaikan pihak masyarakat itu. Hal tersebut lantaran pihaknya mengaku sudah menjalankan semua proses sesuai dengan aturan yang berlaku. Sebab itu ia mempersilakan masyarakat yang menuntut menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan persoalan itu.
Menyikapi perang opini tersebut, saya justeru berkeyakinan bahwa apapun argumentasi dan alibi yang kita kemukakan tanpa mengedepankan asas musyawarah muffakat justru akan menimbulkan konflik dan persoalan baru, karenanya semua pihak harus bijak menyikapinya.
Pihak perusahaan tidak bisa semata-mata menyalahkan masyarakat yang hanya memiliki bukti seadanya, karena secara defacto sebagian besar wilayah pulau Kalimantan di huni suku Dayak yang memiliki memiliki hak ulayat, warisan, pranata adat dan hukum adat yang masih lestari dan berlaku hingga saat ini, walaupun realitas ini dianggap oleh segelintir orang tidak memiliki kekuatan hukum secara dejure (yuridis formal).
Menurut hemat saya, masyarakat hukum adat adalah masyarakat tradisional yang lemah dan termarginalkan, mustahil rasanya jika masyarakat yang harus menginventarisir dan mendata hak-hak ulayat mereka sendiri, seharusnya yang paling bertanggung jawab adalah pihak pemerintah daerah, mengingat adanya Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor S.75/Menhut-II/2004, yang mengharuskan pihak pemerintah daerah untuk proaktif melakukan inventarisir (pendatataan), dan pengakuan budaya masyarakat lokal, termasuk hak ulayat, hak individu masyarkat adat, pranata adat, bahasa daerah dan hukum adat.
Kebutuhan akan adanya sebuah undang-undang yang mengatur mengenai masyarakat adat telah lama didorong oleh organisasi masyarakat adat seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan bahkan telah disambut baik oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan menyiapkan Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (RUU PPHMHA).
Kebutuhan akan sebuah UU tentang masyarakat hukum adat juga disampaikan oleh Mahkamah Konsitusi dalam Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012, hakim konstitusi menyampaikan: Undang-Undang yang diperintahkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 hingga saat ini belum terbentuk, oleh karena kebutuhan yang mendesak, banyak peraturan perundang-undangan yang lahir sebelum Undang-Undang yang dimaksud terbentuk.
Baca: Fans Yakin AS Roma Balas Kekalahan dari Liverpool di Olimpico
Amar putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 menghendaki bahwa diperlukan sebuah undang-undang khusus mengenai masyarakat hukum adat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, karenanya, dapat dipahami bahwa semua peraturan perundang-undangan baik pada level undang-undang, peraturan pemerintah maupun peraturan daerah yang sudah diundangkan saat ini, dianggap sebagai peraturan yang dibuat untuk mengisi kekosongan undang-undang khusus tentang masyarakat hukum adat.
Pada tingkat nasional, terdapat empat undang-undang yang mengatur mengenai kriteria masyarakat hukum adat, yaitu UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat adalah: masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya ada wilayah hukum adat yang jelas ada pranata hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan pada UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan harus ada tambahan bahwa masyarakat adat harus dikukuhkan dengan peraturan daerah.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/pontianak/foto/bank/originals/satu-di-antara-adegan_20160915_222434.jpg)