Hermansyah: Pandangan Normatifnya Keputusan Ini Sudah Benar

Dalam pendekatan ini, dalam pandangan normatif jelas bahwa keputusan ini sudah benar. Masuk dalam ketentuan aturan hukum yang ada.

Penulis: Ishak | Editor: Madrosid
IST
Dosen Fakultas Hukum Untan, Dr Hermansyah SH MHum 

Laporan Wartawan Tribun Pontianak Ishak

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Pengamat Hukum, Akademisi Untan, Dr Hermansyah mengatakan untuk membaca putusan ini setidaknya ada dua pendekatan.

Pertama adalah pendekatan normatif.

Dalam pendekatan ini, dalam pandangan normatif jelas bahwa keputusan ini sudah benar. Masuk dalam ketentuan aturan hukum yang ada.

"Bahkan hakim saya fikir juga sudah luar biasa dalam memberikan putusan. Karena biasanya, hakim memberikan putusan jauh dari tuntutan jaksa," ujarnya, Selasa (24/4/2018).

Sedangkan dalam kasus Setnov ini hanya satu tahun di bawah tuntutan jaksa. Saya fikir ini secara normatif sudah cukup luar biasa.

Adapun pendekatan ke dua, adalah pandangan sosiologis empiris. Dalam konteks ini, ada banyak sisi penilaian yang mungkin muncul.

Tapi yang jelas, masyarakat ada yang kecewa dan tidak puas terhadap putusan ini bisa saja terjadi. Terlebih jika dikaitkan dengan besaran uang yang dikorupsi, masyarakat bisa saja menilai ini tidak sepadan dengan hukumannya.

Baca: TEASER - Kasus Korupsi e-KTP, Setnov Seret Nama Puan dan Pramono

Apalagi jika denda yang diberikan hanya Rp 500 juta, dan pengganti yang hanya sekitar Rp 66 miliaran saja. Sementara yang dikorupsi jauh di atasnya, bahkan triliunan.

Dalam konteks inilah, akan sangat mungkin menyentuh rasa keadilan dari masyarakat. Terutama terkait dengan uang pengganti, yang tidak seimbang dengan kerugian yang dialami negara.

Juga soal dampak dari tindakan korupsi yang sistemik ini, masyarakat juga merasakan akibatnya. Pelayanan e-KTP yang terhambat terhadap masyarakat, data jumlah penduduk pemilihan, dan berbagai permasalahan lainnya.

Dampaknya bisa dibilang sangat luar biasa dari kasus korupsi ini. Pada sisi inilah, jika membaca putusan ini dari sisi sosiologis empiris-nya, pastinya masyarakat akan kecewa.

Terkait dengan upaya pemiskinan terhadap terdakwa, situasinya juga sama. Dibandingkan dengan nilai uang yang dikorupsi, beban kewajiban membayar uang pengganti jauh lebih kecil.

Uang pengganti, memang patokan untuk besarannya tidak ada. Namun menurut saya sejatinya hakim juga mendasarkan putusan pada kelayakan, jumlah dana yang ada, besaran uang yang dikuropsi dan dampak yang ditimbulkannya.

Bahwa nanti akan ada proses pemiskinan dalam hukum, satu dari tujuan penjatuhan pidana atau sanksi tambahan berupa kewajiban pengembalian uang yang korupsi memang tujuannya seperti itu. Memiskinkan si pelaku korupsi, sehingga berikan efek jera terhadap pelaku lainnya.

Baca: Bikin Baper! Boy William Blak-blakan Akan Pilih Ayu Ting Ting Jadi Istrinya karena Alasan Ini

Dalam sistem hukum kita, khususnya Pasal 10 KUHP yang menjadi pedoman, hakim memang diberikan kewenangan putusan tambahan. Bentuk tambahan putusan itu juga memang bisa dalam bentuk pencabutan hak politik si terdakwa.

Namun yang menjadi persoalan lain lagi-lagi adalah rasa keadilan di masyarakat. Apakah masa pencabutan hak politik yang hanya lima tahun itu sudah bisa hadirkan rasa keadilan bagi masyarakat.

Satu hal yang harus kita bawahi, bahwa fakta atau data-data yang terungkap di persidangan merupakan fakta hukum. Artinya, sejatinya KPK sudah seharusnya menindaklanjuti, menginvestigasi terhadap fakta-fakta hukum tersebut.

"Tidak bisa dibiarkan. Persoalannya sekarang ada di KPK untuk menindaklanjuti, mendalami lebih jauh terhadap fakta dan data yang terungkap di persidangan tersebut," tambahnya.

Termasuk untuk memeriksa nama-nama yang terungkap. Nama-nama yang disebutkan perannya di dalam kasus ini selama proses persidangan tersebut berlangsung.

Tingkat korupsi di negara kita memang sudah sangat memprihatinkan. Bahkan kini tampaknya sudah semakin lebih tersistematisasi.

"Karena itu saya fikir, ada baiknya penegak kita saling berkolaborasi memerangi korupsi. Terutama tiga penegak hukum, Polisi, Jaksa, dan juha KPK selaku supervisor dalam memberantas korupsi," tukasnya.

Jadikanlah korupsi ini musuh bersama. Bukan lembaganya, tapi tindakan korupsinya yang jadi musuh bersama. Siapapun dan di manapun korupsi itu ada, harusnya bersama-sama melakukan penindakan.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved