Cara Mengetahui Survei Abal-abal di Tahun Politik

Salah satu hal yang perlu dilakukan orang adalah mempelajari track record (rekam jejak) dari lembaga yang menyelenggarakan maupun orang-orang

Penulis: Rihard Nelson | Editor: Rihard Nelson
NET
Ilustrasi 

"Di mana-mana di dunia, itulah hal pertama yang dipegang orang. Jadi kredibiltas atau track record dari lembaga penyelenggara itu sebuah pertaruhan. Sekali dia melakukan kecurangan, melakukan kesalahan yang disengaja dan terbuka ke publik, maka reputasinya tercoreng," tutur Hamdi.
Oleh karena itu Hamdi mengharapkan agar media lebih menggali kredibilitas dari sebuah lembaga yang mengumumkan hasil survei sehingga khalayak umum bisa terbantu untuk menilainya.

"Waktu ada press release, wartawan harus tanya secara detail. Bagaimana metodologinya, apakah samplingnya terjaga atau tidak, bagaimana cek dan recek samplingnya. Itu semua ada prosedur ilmiah yang bisa kita telusuri," katanya
Bagi Siti Zuhro, karena tidak semua masyarakat 'melek survei' maka seharusnya ada yang bisa memberi petunjuk tentang kapan sebuah survei dijadikan acuan untuk melihat faktanya dan kapan pula tidak dijadikan petunjuk.

"Survei akan mengintrusi cara pandang, cara berpendapat dan juga mungkin cara menyimpulkan masyarakat sendiri. Dan kita belum punya satu institusi atau apapun namanya yang bisa memberikan bimbingan bahwa lembaga survei harus mampu mempertanggungjawabkannya," katanya

Apakah ada cara untuk mencegah survei abal-abal. Jawaban saat ini di Indonesia tidak ada atau, sebutlah, belum ada. "Sepanjang ini kita tidak punya, katakanlah regulasi atau undang-undang yang tidak memperbolehkan orang melakukan sebuah kegiatan survei yang pada akhirnya melakukan survei yang abal-abal itu. Kita tidak punya undang-undang yang mengatur secara tegas boleh tidak boleh," jelas Hamdi.

Memang pernah ada upaya untuk pengaturan dengan lembaga survei yang bersangkutan harus terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) namun dalam kenyataannya semua juga bisa mendaftarkan dirinya selama merupakan sebuah lembaga hukum.

"Saya lebih berpikir bahwa pada akhirnya kita harus menerima ini sebagai dinamika demokrasi, biarkan masyarakat nanti yang akan menilai dan kita selalu berasumsi bahwa dalam demokrasi, publik dan masyarakat madani memiliki sebuah kecerdasan tertentu," ujarnya.
"Publik juga tidak bisa akan ditipu. Toh nanti yang abal-abal tidak akan survive (bertahan) karena akan cepat terbuka kedoknya," tambahnya

Sedangkanya Siti Zuhro berpendapat bahwa kemunculan yang disebut 'survei abal-abal' sebagai faktor yang membuat demokrasi di Indonesia tidak terdorong menjadi lebih berkualitas. "Justru membuat politik itu semakin keruh," sebutnya.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved