Melihat Tempat Rehabilitasi Narkoba di Kota Pontianak

Ketua RBM Bumi Khatulistiwa Kalbar, M. Zaini, mengungkapkan kebanyakan dari mereka adalah korban penyalahgunaan narkoba jenis shabu.

Penulis: Muzammilul Abrori | Editor: Rizky Zulham
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/CLAUDIA LIBERANI
Tempat rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat (RBM) Bumi Khatulistiwa Kalbar. 

Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Claudia Liberani

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Di bangunan yang terletak di Jalan Putri Candramidi, Gang Suka Damai No.17 A tinggal korban narkotika yang sedang menjalani rehabilitasi di bawah naungan Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat (RBM) Bumi Khatulistiwa Kalbar.

Ketua RBM Bumi Khatulistiwa Kalbar, M. Zaini, mengungkapkan kebanyakan dari mereka adalah korban penyalahgunaan narkoba jenis shabu.

Mereka berasal dari berbagai daerah di Kalimantan Barat.

Kalbar sebagai daerah dengan angka penyalahgunaan narkoba yang cukup tinggi memiliki tujuh tempat rehabilitas baik itu milik pemerintah maupun swasta, RBM Bumi Khatulistiwa Kalbar adalah satu di antaranya yang dikelola oleh masyarakat, berdiri sejak tahun 2005 ini telah menangani ribuan korban penyalahgunaan barang haram ini.

"Saat ini ada 10 resident yang kita tangani. Mereka memiliki beragam latar belakang," katanya, Minggu (18/2/2018).

Jumlah ini paling sedikit dibanding tahun-tahun sebelumnya. Mulai dari usia pelajar hingga dewasa berkumpul di tempat ini. Mulai dari penggunaan tahunan hingga puluhan tahun. Mereka berjuang melepaskan ketergantungan, melawan diri sendiri. Sejak tahun 2015 tempat ini tidak lagi menerima klien perempuan, jika ada perempuan meminta rehab maka akan direhab di Melawi, tempat khusus perempuan.

Di tempat rehab ini terdapat berbagai fasilitas untuk menunjang proses pemulihan para resident. Di antaranya ruang medis, ruang detox, ruang bermain, ruang konseling hingga kamar yang ditempati bersama-sama.

Ruang detox merupakan ruangan tempat di mana klien pertama kali masuk, di ruangan berlapis jeruji besi ini seorang klien akan ditempatkan selama dua Minggu. Detox berarti proses penetralan berbagai zat yang pernah masuk dalam tubuhnya, masa dua minggu ini dianggap paling berat.

"Per bulan mereka membayar, sekitar 2.000.000 untuk keperluan pribadi mereka seperti keperluan mandi, maupun rokok, karena ini tidak ditanggung oleh negara," paparnya.

Dia menuturkan bantuan dari pemerintah yang minim membuat mereka harus menarik biaya bagi korban yang datang untuk menjalani proses rehabilitasi selama lebih kurang enam bulan.

Di tempat rehab ini, para resident mengikuti berbagai program yang telah dirancang untuk proses pemulihan, mereka menjalani program berbasis masyarakat. Tidak hanya melakukan aktivitas di dalam tempat rehabilitasi tapi juga bersosialisasi dengan masyarakat, bahkan ketika sudah selesai masa rehab banyak dari mereka yang kembali ke keluarga dan bekerja, tidak jarang pula mengabdikan diri membantu di RBM.

Enam bulan merupakan waktu yang mereka habiskan untuk menjalani proses rehab. Namun Zai mengungkapkan semakin lama maka semakin bagus.

"Rehab itu ibaratkan belajar, semakin lama, semakin banyak ilmu yang kita dapat. Begitu pula teman-teman di sini, bahkan ada yang memilih kembali ke sini untuk membantu menjadi staff atau volunteer," tuturnya.

RBM ini pernah berkali-kali pindah, dia mengakui tidak mudah mendapatkan tempat untuk dijadikan tempat rehabilitasi karena berbagai alasan. Mulai dari penolakan oleh masyarakat di lingkungan hingga susahnya mendapatkan orang yang mau menjadikan rumahnya disewa sebagai tempat rehab. Mereka mulai menempati tempat yang sekarang pada tahun 2015.

Tahun 2015 juga dianggapnya sebagai tahun kebangkitan RBM Bumi Khatulistiwa Kalbar karena pada tahun tersebut kementerian sosial mulai memberikan bantuan sosial, yang mana sebelumnya bantuan hanya mereka dapatkan dari BNN. Tahun 2015 juga merupakan tahun di mana banyak klien, saat itu ada 200 klien rawat jalan yang mereka tangani.

Berbagai suka duka juga dialami di RBM, proses pemulihan yang mereka lalui tidaklah mudah, beberapa resident berkali-kali ada yang melarikan diri, namun kembali lagi.

Di RBM mereka melaksanakan kegiatan terjadwal, mulai dari shalat, nicotine break, seminar, hingga wrap up yang dilakukan secara konsisten setiap hari.

"Kita ada nicotine break, di mana mereka mendapatkan waktu untuk merokok, namun tetap kita batasi, sehari tidak boleh lebih dari lima batang," ungkap Zai.

Di sini para residen juga mendapat kesempatan untuk berkontemplasi, setiap hari mereka akan mengungkapkan perasaan yang mereka alami, ketika suasana sedang tidak kondusif maka mereka saling bantu mengutarakan apa yang membuat tidak nyaman.

Di RBM, Zai dibantu oleh 17 staff, mulai dari program manager, admin keuangan, medis, konselor, peksos/TKS, securty, kitchen, hingga tim religi.

Ada tujuh konselor yang masing-masing menangani 3 klien, Zai mengungkapkan jika konselor merupakan orang terdekat klien ketika menjalani masa rehabilitasi. Untuk urusan pribadi, hanya konselor yang boleh mengetahuinya.

Di RBM ini para klien tidak memegang handphone maupun uang selama enam bulan, itu semua diterapkan sebagai proses penyembuhan, jika ada keluarga berkunjung dan membawakan makanan maka harus diperiksa juga.

"Karena kita khawatir orang tua memberikan uang, mereka di sini tidak boleh memegang uang," paparnya.

Waktu enam bulan tidak bisa jadi jaminan kesembuhan, Zai mengungkapkan jika sehebat apapun program yang dipunya, tempat rehabilitasi tidak pernah menjanjikan kesembuhan seratus persen. Tapi yang jelas rehabilitasi merupakan kebutuhan korban, ketika mereka menjadi korban penyalahgunaan narkoba maka yang mereka butuhkan adalah tempat rehabilitasi, bukan penjara.

"Tempat rehabilitasi berbeda dengan penjara, orang sering menyebut tempat ini sebagai rumah ajaib," ucapnya.

Setelah melalui beberapa tahap, klien akan ditempah skillnya, dijajaki minat dan bakatnya sehingga ketika mereka keluar, mereka bisa melanjutkan hidup dengan bekerja.

"Ada yang buka usaha meubel, ada yang bisa reparasi hp, potong rambut, macam-macam, kita bantu telusuri minat dan bakat mereka di sini," ujarnya.

Zai berharap perhatian pemerintah juga bisa diberikan pada korban narkoba. Pemerintah selama ini menganggap bahwa mereka adalah pihak yang tidak perlu bantuan, padahal Zai mengungkapkan jika kebanyakan korban di Kalbar adalah orang-orang dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Jika ada yang berasal dari keluarga kaya, maka bisa dipastikan perlahan tapi pasti materi mereka akan terkuras oleh si pengguna.

"Dalam istilah sosial, menurut dinsos orang-orang yang berhak mendapatkan bantuan adalah para fakir miskin, orang cacat, terlantar, sementara pecandu tidak, padahal mereka adalah korban narkoba yang termasuk orang miskin," pungkasnya.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved