Dilema Eks Pengungsi Kerusuhan 1999 Urusi Pencaplokan Tanah Warisan Orangtua di Sambas
Dikatakan pada tahun 2008 silam pernah menyampaikan laporan ke Polres Sambas. Namun kini belum ada proses hukum terhadap kasusnya itu.
Penulis: Tito Ramadhani | Editor: Dhita Mutiasari
Menurutnya pula, sebagian lahan dari dua bidang tanah milik orangtuanya, sudah dikapling oleh ST menjadi sekitar 10 kapling dan dijual ke pihak lain.
Yang menurutnya cukup mengganjal, bagaimana bisa tanah milik orangtuanya yang bersertifikat, bisa diterbitkan sertifikat oleh BPN Sambas.
"Dari lahan warisan kedua orangtua saya tersebut, ada sekitar 10 sertifikat baru yang dijual oleh ST kepada orang lain, mencaplok tanah orangtua kami. Luasnya itu dengan lebar sekitar 40 meter dengan panjang sekitar 100 meter, itu keseluruhannya, kurang lebih seluas itu," paparnya.
Muhammad mengaku, ia dan saudara-saudaranya mulai kesulitan mengurus tanah warisan kedua orangtuanya, pasca kerusuhan tahun 1999 yang lalu.
"Kami tidak berani kembali ke sini untuk mengurus tanah. Walau sudah ada jaminan dari Pemda Kabupaten Sambas untuk menjaganya, namun nyatanya tanah warisan orangtua kami itu ada yang mencaplok dan menjual kembali ke orang lain,"ujarnya.
Padahal dikatakan kendati dibawah pengawasan pemda Sambas, namun masih saja tanah milik orangtuanya dicaplok.
"Ada suratnya, jadi tanah korban kerusuhan itu dibawah pengawasan Pemda Kabupaten Sambas. Tapi saya menyesalkan, kenapa lalu dicaplok oleh orang lain, jadi tanah itu bermasalah sampai hari ini. Kami tentunya mempertanyakan hal ini kepada Pemda Kabupaten Sambas, termasuk kepada BPN Sambas yang menerbitkan sertifikat baru, dan mendesak laporan kami diproses oleh pihak kepolisian," jelasnya.
Ditambahkannya, nasib serupa diduga juga dialami teman dan kerabatnya sesama eks pengungsi 1999. Namun lantaran tak memiliki biaya, teman dan kerabatnya hanya bisa pasrah dan tak menempuh jalur hukum terhadap tanah-tanah milik mereka.
"Sebenarnya selain keluarga saya, kawan-kawan lain eks pengungsi kerusuhan 1999 juga banyak yang memiliki lahan di sini. Tapi mereka tidak menempuh jalur hukum, karena kebanyakan tidak memiliki biaya, biaya untuk mengurus ini kan cukup besar. Jadi kebanyakan pasrah dan diserahkan ke kepala desa," sambungnya.