Dilema Eks Pengungsi Kerusuhan 1999 Urusi Pencaplokan Tanah Warisan Orangtua di Sambas
Dikatakan pada tahun 2008 silam pernah menyampaikan laporan ke Polres Sambas. Namun kini belum ada proses hukum terhadap kasusnya itu.
Penulis: Tito Ramadhani | Editor: Dhita Mutiasari
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Tito Ramadhani
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, SAMBAS - Muhammad (55), satu di antara warga eks pengungsi kerusuhan tahun 1999 mengeluhkan sebagian dari dua bidang tanah warisan orangtuanya telah diperjualbelikan oleh pihak lain.
Warga Pasiran, Singkawang Barat ini mengisahkan, sebagian lahan dari tanah warisan kedua orangtuanya diduga telah dijual oleh seseorang berinisial ST.
"Tanah ini milik orangtua saya, ibu saya yang bernama Saerah, dijual oleh ST. Kondisi serupa juga terjadi di tanah milik ayah saya yang bernama Sanggar. Dua bidang tanah ini bersebelahan, yang terletak di Jalan Tabrani, Desa Lumbang, Kecamatan Sambas, Kabupaten Sambas. Kedua-duanya yang sekarang bermasalah. Kalau tanah milik ayah saya bersertifikat, kalau tanah ibu saya memiliki SKT (Surat Keterangan Tanah). Diserobot oleh ST. Jadi dari tanah yang ber-SKT sampai tanah yang bersertifikat yang dijual oleh ST itu," ungkapnya, Minggu (7/1/2018).
Baca: Eks Pengungsi Kerusuhan 1999 Desak Pengusutan Pencaplokan Tanah Warisan Orangtuanya
Sertifikat sebidang tanah milik ayahnya, menurut Muhammad, diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Sambas pada tahun 1991.
"Lalu kemudian bisa muncul sertifikat baru pada tahun 2000 atas nama ST. Saya herannya bisa muncul sertifikat baru, padahal ST itu tidak pernah ada transaksi jual beli dengan saya maupun dengan ahli waris lainnya. Bagaimana caranya dia bisa mendapatkan sertifikat baru, saya tidak tahu," jelasnya.
Baca: Tanpa Pengerahan Massa, Deklarasi Rakyat Midji-Norsan Bakal Berbeda Dari Biasanya
Satu persatu kaplingan tanah yang berada di tanah milik ibunya, hingga tanah milik ayahnya dikapling oleh ST untuk kemudian dijual kepada orang lain.
"Lalu ST menjual beberapa kaplingan tanah di tanah milik ibu saya yang ber-SKT, yang berada tepi Jalan Tabrani tersebut, bahkan sampai ke tanah milik ayah saya yang bersertifikat. Ini lah yang saya permasalahkan sekarang ini," terangnya.
Muhammad mengaku, ia bersama saudaranya yang lain sebenarnya tak berpangku tangan.
Selaku ahli waris pernah menggugat hingga di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), namun lantaran lambat menyampaikan banding, akhirnya terpaksa menerima putusan.
"Sebelumnya kami sudah melakukan upaya hukum untuk lahan milik ibu saya, sudah menggugat di PTUN tapi kalah karena terlambat banding. Sekarang saya menggugat di Pengadilan Negeri lagi, untuk lahan milik ayah saya," urainya.
Ia menambahkan, pada tahun 2008 silam pernah menyampaikan laporan ke Polres Sambas. Namun hingga kini belum ada proses hukum terhadap kasus yang dilaporkannya tersebut.
"Tahun 2008 saya sudah pernah melaporkan ke Polres Sambas, tepatnya tanggal 27 Mei 2008, tapi sampai hari ini belum diproses hukum, belum ada pemanggilan atau pemeriksaan. Saya berharap, laporan yang sudah kami sampaikan ke Polres Sambas tahun 2008, mohon ditindaklanjuti masalah penyerobotan tanah warisan ayah saya itu oleh ST, kami harap Polres Sambas menindaklanjuti," harapnya.