Sikapi Peralihan Kewenangan SMA Sederajat ke Provinsi, Ini Penjelasan Aswandi

Jadi, pelajar dari kalangan masyarakat kurang mampu tetap seharusnya diutamakan agar tetap bisa menjangkau pendidikan yang sama.

Penulis: Ishak | Editor: Jamadin
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/RIDHO PANJI PRADANA
Aswandi. 

Laporan Wartawan Tribun Pontianak Ishak

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Pengamat Pendidikan Untan, Dr Aswandi  mengatakan semua alasan yang dikemukakan baik oleh Dinas Pendidikan Provinsi dan juga Sutarmidji selaku Pemkot bisa dikatakan semuanya benar.

"Dari dinas provinsi benar, pak Sutarmidji juga benar.Tinggal bagaimana memadukannya saja," terang Aswandi.

Pemerintah provinsi memang membutuhkan tambahan pendanaan itu. Sebab, ada sangat banyak sekali tenaga pengajar honorer yang dibiayai.

"Bayangkan jika tidak ada dana untuk membiayainya. Bisa-bisa tidak ada guru yang tersedia, lalu bagaimana nantinya proses belajar mengajar," tambah dia.

(Baca: Sinka Zoo Rehabilitasi Orangutan Bernama Badul, Disini Tempatnya )

Selain itu, Sutarmidji pada prinsipnya nampaknya sebenarnya tidak berkeberatan dengan wacana hibah BOSDa yang dikelola oleh Pemprov ini. Jadi ini hanya masalah di persoalan payung hukum saja.

"Dalam konteks ini alasan yang dikemukakan Sutarmidji terkait kekhawatiran ini beralasan. Memang ketika kewenangan ini dialihkan, memang bermasalah," imbuhnya.

Karena saya kira selama ini edukasi yang diberikan pemerintah kepada masyarakat kurang baik. Misalnya saja ya tentang soal sekolah mesi gratis ini.

Bayangkan saja, beban biaya operasional satu orang peserta dididik dalam setahun ada di kisaran Rp 3 jutaan. Sedangkan bantuan dana bantuan operasional sekolah yang diberikan pemerintah hanya Rp 1 jutaan per siswanya dalam setahun.

Itukan artinya sebenarnya tidak cukup. Jadi untuk mencapai mutu minimal pun tidak mungkin jika hanya mengandalkan dana bantuan operasional sekolah ini. 

"Jangan berharap. Karena sebenarnya memang tidak cukup," tambahnya.

(Baca: Kasus Pencabulan Bisa Terjadi Karena Berbagai Faktor, Ini Penjelasan Psikolog )

Jadi sebenarnya para orangtua juga harus mengerti. Bahwa pemerintah memang belum sepenuhnya mampu memberikan pendidikan gratis.

Jadi jika harus membayar ya semestinya tidak masalah. Sebab, jikapun memang harus membayar, mustahil rasanya jika biaya pendidikan yang hanya puluhan ribu rupiah itu tidak mampu dibayar oleh para orangtua.

"Ini hanya masalah kebiasaan saja. Masyarakat sudah diedukasi oleh kebijakan pemerintah yang mencitrakan kebijakan dengan pendidikan gratis dan gratis,"papar Aswandi.

Memang tantangannya adalah bagaimana memberikan pengertian kepada semua pihak, khususnya masyarakat. Juga langkah pemerintah untuk bisa segera membuat payung hukum agar masalah ini bisa segera dicarikan jalan keluarnya.

Apalagi, semangat dari diterapkannya keputusan peralihan kewenangan ini sangatlah baik. Utamanya tentang pelibatan lebih peran pemerintah daerah tingkat provinsi dalam sektor pendidikan.

Selama ini, beban pemerintah daerah di tingkat kota dan kabupaten sudah terlalu besar. Dengan menangani semua jenjang pendidikan dari dasar hingga menengah.

"Masa transisi seperti ini memang umumnya selalu begitu, penuh dengan hambatan-hambatan. Terus saja, laksanakan saja sebab semangatnya sangatlah baik," jelasnya lagi.

Terkait kekhwatiran jika kebijakan ini akan berpengaruh terhadap kelangsungan pendidikan masyarakat kurang mampu, saya pikir bisa saja dicarikan solusinya. Pertama, harus difahami bahwa penyelenggaraan pendidikan juga adalah bagian dari tanggungjawab masyarakat.

Jadi bukan hanya pemerintah. Tapi juga para orangtua dan masyarakat, sebagaimana yang diutarakan dalam undang-undang bahwa pendidikan adalah tanggungjawab bersama.

Selain itu, prinsip pendidikan itu juga adalah berkeadilan. Jadi, pelajar dari kalangan masyarakat kurang mampu tetap seharusnya diutamakan agar tetap bisa menjangkau pendidikan yang sama.

Satu yang bisa diupayakan adalah dengan subsidi silang. Jika memang tidak mampu, ya tidak perlu bayar, sedangkan yang mampu harus rela membayar lebih banyak.

Sebab selama ini yang terjadi kebijakan justru berpihak kepada orang yang mampu. Mereka menikmati biaya yang sama dengan kalangan kurang mampu.

"Jika ini disepakati, bisa saja pola subsidi silang ini diterapkan sebagai solusi. Sebagai sebuah konsensus yang disepakati antara Komite Sekolah, para orangtua siswa dan masyarakat," tutupnya.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved