Miris, Warga Desa Dekat Hutan Justru Miskin
Titik pokok yang dilihat dan dianalisa adalah keterlibatan masyarakat Dayak dalam pengelolaan hutan berkeIanjutan berbasis sumberdaya Iokal.
Penulis: Tri Pandito Wibowo | Editor: Steven Greatness
Laporan Wartawati Tribun Pontianak, Maskartini
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Pemberlakuan otonomi daerah menuntut pemerintah daerah memiliki rencana ekonomi daerah yang baik untuk kesejahteraan bagi penduduknya. Namun ketimpangan masih terjadi.
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, membawa angin segar bagi daerah untuk dapat menggali dan mengembangkan potensi ekonomi.
Direktur Bina Usaha Perhutanan Sosial, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hargyono mengatakan sebanyak 25 ribu desa berada di kawasan hutan.
Meski memiliki Sumber Daya Alam yang melimpah seperti kawasan wisata, SDA, kayu, serta yang lainnya namun masyarakat desa yang ada di kawasan hutan masih miskin.
"2019 angka kemiskinan harus turun 7-8 persen dari 10, 96 persen di tahun 2014. Untuk pemerataan wilayah, gini ratio tahun 2019 dapat ditekan diangka 0,3 persen dibandingkan tahun 2014 0,41 persen. Serapan tenaga kerja yang mana angka pengangguran ditargetkan menjadi 4-5 persen di tahun 2019. Mengacu pada target tersebut, maka bidang kehutanan pun menjadi perhatian," ujarnya pada Seminar Nasional yang digelar di Hotel Golden Tulip pada Selasa (19/9/2017).
Pemerintah kata Hargyono melalui berbagai kebijakan terus meminimalisir ketimpangan yang terjadi.
"Ini menjadi konsen kita bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan hutan sekitar Rp25 ribu desa ada di kawasan hutan dan 25 juta jiwa dan masyarakat adat kondisinya masih miskin. Padahal potensi di hutan banyak yang belum tergali, mulai dari kayu, terutama potensi wisata. Kita ingin ini yang ditingkatkan seperti Mempawah Mangrove Park senang sekali mendengar perkembangannya," ujarnya.
Masyarakat yang bertahun-tahun bergantung pada hutan, kata dia sudah seharusnya memanfaatkan berbagai pola kemitraan dengan berbagai lembaga difasilitasi oleh pemerintah daerah.
"Hanya saja para pelaku usaha harus paham aturan ikuti terus perkembangan aturan yang gampang berubah. Kita ada program membentuk usaha kehutanan sosial. Lantas mengapa rakyat di hutan tidak menjadi pemain," ujarnya.
Menurutnya rakyat harus diberikan akses legal sehingga ada sentra pertumbuhan di sana.
"Jika ini digali, maka bisa menumbuhkan kearifan lokal serta usaha ekonominya. Sehingga perbaikan kualitas ekonomi masyarakat yang tinggal dihutan dapat ditingkatkan. Sekarang pihak yang bisa mengakses PMA, kenapa tidak masyarakat dengan pola kemitraan. Padahal melalui program kita bantu tingkatkan kelembagaannya serta bagaimana mengelola kawan," ujarnya.
Pemerintah Provinsi Kalbar bersama dengan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura didukung oleh mitra Yayasan Belantara dan Asia Pulp & Paper, mencoba memberikan kontribusi pemikiran yang konstruktif dan berkelanjutan meIaIui kajian akademik dengan menyusun sebuah Peta Jalan Model Pembangunan Ekonami Bisnls dan Sosial berbasis Ruang, Manusia dan Agama di Kalbar.
Titik pokok yang dilihat dan dianalisa adalah keterlibatan masyarakat Dayak dalam pengelolaan hutan berkeIanjutan berbasis sumberdaya Iokal untuk memenuhi ketahanan pangan dan pendekatan pemanfaatan ruang yang cerdas dengan membangun keberagaman melalui relasi agama yang kontruktif dan saling menghormati. Studi ini akan menjadi dasar dalam merumuskan sebuah visi, misi, dan program yang berkelanjutan pembangunan ekonomi bisnis dan sosial di Kalbar.
Pada tahapan penyusunan peta tim penyusun telah memasuki bagian sosialisasi untuk mendapatkan masukan dari pemangku kepentingan guna menyempurnakan kajian akademik di maksud. Untuk mendapatkan hasil yang optimal maka sosialisasi di desain melalui kegiatan Seminar Nasional Dayak for Forest, Food Security & Tolerance.