Citizen Reporter
Dahsyatnya Padang Muzdalifah, Inilah Cerita Jemaah Haji Asal Kalbar
Mana mungkin bisa tidur dengan hanya beralaskan tikar plastik tipis dan tusukan kerikil di bawahnya
Penulis: Nina Soraya | Editor: Jamadin
Citizen Reporter
Humas PLN Wilayah Kalbar, Hendra Fattah,
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Sering kita dengar cerita orang yang telah menunaikan ibadah haji tentang dahsyatnya Padang Arafah, tentang syahdunya beribadah di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, atau bahkan cerita serunya menginap di tenda-tenda Mina.
Namun jarang kita dengar mereka bercerita tentang ma'bid (menginap) sebentar di Muzdalifah. Padahal menginap di Muzdalifah termasuk wajib hukumnya dalam tahapan ibadah haji.
Jika ditinggalkan maka orang tersebut harus membayar denda (dam). Tidak ada syariat ibadah yang harus dilakukan selama berada di muzdalifah.
Para Jamaah biasanya disuruh beristirahat sambil memungut batu untuk dipakai melontar Jumrah keesokan harinya.
Muzdalifah adalah daerah terbuka antara Kota Mekkah dan Mina, dimana para Jamaah Haji diwajibkan untuk singgah dan bermalam setelah seharian wukuf di Padang Arafah.
Muzdalifah tepatnya berada antara Ma'zamain (dua jalan yang memisahkan dua buah gunung yang saling berhadapan) di Arafah dan lembah Muhassir.
Muzdalifah merupakan padang seluas 12,25 km persegi yang nyaris tanpa bangunan kecuali Masjid Masy'aril Haram, tempat Rasulullah SAW melakukan wukuf kedua setelah di Padang Arafah sebelum melaksanakan pelontaran jumrah di Mina.
Rombongan kami mendapat giliran bertolak dari Padang Arafah beberapa menit setelah Azan Isya berkumandang. Tak ada gambaran tentang apa yang akan dilalukan di Muzdalifah.
Rasa lelah bercampur kantuk mulai mengganggu konsentrasi. Rasanya ingin segera kembali ke tenda dan tidur sepuasnya. Batu yang akan kami pakai untuk melempar Jumrah pun telah dibagikan tadi sore oleh pihak Maktab saat di Arafah.
"Kenapa juga mesti singgah lagi di Muzdalifah kalau batu sudah kami dapatkan", pikirku dalam hati.
Tapi karena hukumnya wajib bearti tetap harus singgah dan menginap sebentar.
Sampai di Muzdalifah kulihat sudah banyak Jamaah yang hadir, mungkin jumlahnya jutaan, dengan pakaian serba putih karena kewajiban berihram masih belum berakhir.
Segera kubentang tikar plastik tipis. Berwudhu lalu melakukan sholat Maghrib dan Isya secara berjamaah. Kedua sholat tersebut dilakukan secara Jama' dan Qashar.
Badanku semakin terasa lelah sekali. Tikar plastik tipis yang kubentang ternyata tak mampu menahan tajamnya bebatuan di Padang Muzdalifah, rasanya sangat mengganggu sekali. Selesai sholat, kami segera diperintahkan untuk berbaring, dan disarankan untuk segera tidur.
Aku merasa tidak nyaman sekali. "Mana mungkin bisa tidur dengan hanya beralaskan tikar plastik tipis dan tusukan kerikil di bawahnya", pikirku pesimis.
Namun saat badan yang letih ini direbahkan, saat mata menatap ke langit, kulihat satu persatu kerlip bintang, semakin jelas, dan Subhanallah indahnya.
Ada sesuatu yang kurasakan namun sulit kuungkap. Rasa tenang, damai, sejuk dan entah apalagi...Aku merasa kini yang ada hanyalah antara aku dan alam ini, hanya aku dan Sang Pemilik Alam ini.
Aku mulai berpikir, mungkin ini sebabnya kenapa Rasulullah SAW dulu mengajak para Sahabat dan kini Umat Islam dari seluruh penjuru dunia untuk singgah dan menginap sebentar di Muzdalifah setelah kelelahan seharian Wukuf di Padang Arafah. Inilah hiburan terindah yang Beliau persembahkan kepada seluruh umatnya, dari dulu, hingga kini dan sepanjang masa.
Sungguh mulia hatimu ya Rasulullah. Engkau anjurkan umatmu untuk berbaring beralaskan bumi dan beratapkan langit untuk menjemput hikmah dari perjalanan mulia ini. Perjalanan yang mungkin tak akan aku alami lagi, karena kesempatan untuk melaksanakan ibadah haji kembali memerlukan waktu yang cukup lama. (*)