KAHMI Kubu Raya Gelar Dialog Kebangsaan
Kahmi berupaya berperan dalam merawat kebhinekaan dalam keberagaman masyarakat Indonesia.
Penulis: Madrosid | Editor: Rizky Zulham
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Madrosid
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, KUBU RAYA - Majelis daerah, Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (Kahmi) Kubu Raya menggelar pertemuan berupa dialog kebangsaan di Gardenia Hotel Reseort dan SPA Kubu Raya, Sabtu (29/4/2017).
Kahmi berupaya berperan dalam merawat kebhinekaan dalam keberagaman masyarakat Indonesia.
Dialog kebangsaan ini, mengambil dua materi pokok pembahasan. Terkait toleransi dan kecerdasan multikultural sebagai investasi sosial penguatan kebangsaan dan Rekontruksi nilai dan semangat kebhinnekaan pada kondisi Indonesia kekinian.
Ratusan peserta hadir menjadi peserta dalam pembahasan dialog dengan mengusung pembahasan dua materi. Terkait perlunya peran Kahmi dalam menjaga kebangsaan masyarakat Indonesia.
Kahmi dalam dialog kebangsaannya menghadirkan dua orang pemateri, Kaprodi Sosiologi PMIS - UNTAN Dr. Syarifah Ema Rahmaniah dan Eka Hendry Dosen IAIN Pontianak. Peserta merupakan gabungan dari gerakan / kelompok di Kubu Raya yang didominasoi pemuda-pemudi baik mahasiswa, serta dari gerakan pemuda.
Baca: Tahun 2018, Kubu Raya Jadi Tuan Rumah Naik Dango XXXIII
Dalam sesi pengupasan materi, pertama terkait rekonstruksi nilai dan semangat kebhinnekaan pada kondisi Indonesia kekininan. Mengupas sisi kehidupan masyarakat, dari adat, sosial dan budaya.
"Hal yang paling harus kita hindari dalam mengucapkan kata-kata adalam memunculkan kata minoritas dan mayoritas serta jumlah kelompok. Karena saat ini bukan masalah jumlah tapi powerfullnya. Jangan pula pernah membicarakan etnik, antara lokal dan pendatang," ujar Syarifah Ema Rahmaniah.
Ia menuturkan disinilah peran Kahmi ini harus diposisikan agar, prilaku, budaya ataupun perkataan bisa diminimalkan bahkan ditiadakan. Apalagi terhadap pandangan radikalisasi. Ujaran kebencian ini yang perlu dibahas lebih lanjut.
"Sampai sekarang pemahaman kafir dan muslim merupakan dua konsep kontra produktif. Padahal antara muslim pun jika ada perbedaan akan dibilang kafir. Sehingga ini tidak perlu kita perdebatkan dan diperbesar," ungkapnya.
Untuk itu dirinya mengambil contoh, terhadap pelaksanaan satu budaya yang sangat positif di dalamnya, yaitu saprahan. Namun satu dari pengalamannya ia menemukan pelaksanaan saprahan terdapat spanduk bertuliskan.
"Boleh ikut, semua orang muslim dari semua suku bangsa," tuturnya.
"Saya pikir kalimat ini tidak perlu. Dari tulisan ini justru memberikan batasan kepada tetangga kita non muslim mungkin yang hendak ikut. Yang seharusnya kita makan bersama membahas pembangunan, jadi terusik dan hanya memunculkan isu-isu kecil saja. Kenapa harus ada kata-kata ini. Semestinya tak perlu," terang Ema sebagai contoh kecil.
Menurutnya, dalam membangu kebhinnekaan sangat penting merawat untuk dilaksanakan dari semua hal. Dengan mengajarkan nilai-nilai perdamaian.