Pertukaran Jurnalis Indonesia Swiss
[BAGIAN 6] Apakah di Negaramu Ada Partai Hijau?
Dia bercerita pernah bertemu warga Penang, Malaysia, yang mengikuti program kunjungan ke Swiss.
Penulis: Dian Lestari | Editor: Steven Greatness
TRIBUNPONTIANAK,CO.ID - Satu pertanyaan anggota parlemen Swiss, Adèle Thorens Goumaz, menyentak saya tentang fakta bahwa hingga kini Indonesia tidak memiliki Partai Hijau, yakni partai dengan fokus perjuangan untuk kelestarian lingkungan hidup.
Partai Hijau di Swiss berupaya keras, agar Swiss tidak menjalin kerjasama dengan pelaku bisnis kelapa sawit yang merusak lingkungan dan sosial masyarakat.
Melangkahkan kaki ke area Palais Fédéral atau Istana Federal Swiss di Ibu Kota Swiss, Bern, Kamis (2/6) saya seperti ditarik mundur seabad lebih. Gedung mewah ini bergaya arsitektur klasik. Dinding, pintu, dan kubah terlihat kokoh, meski usianya sudah 114 tahun. Catatan di wikipedia menyebutkan bahwa gedung ini dibuka bagi publik sejak tahun 1902.
Setelah melewati area pemeriksaan barang-barang dan menyerahkan kartu identitas kepada petugas keamanan, saya dan Cécile harus duduk menunggu beberapa menit menunggu Adèle Thorens Goumaz, selesai bersidang dengan para anggota parlemen. Sembari duduk, saya memandangi puluhan anak tangga, dan langit-langit di kubah yang dihiasi lukisan kaca simbol 22 kanton (negara bagian) Swiss.
Cécile menjelaskan bahwa Palais Fédéral selama empat tahun masa tugas, anggota parlemen hanya mendatangi gedung ini ketika masa sidang berlangsung, yakni beberapa pekan setiap tahun.
Selebihnya gedung tersebut sepi. Para anggota parlemen di luar masa sidang, menjalani profesi masing-masing sebagai petani, pengacara, dan lain-lain.
"Di sini banyak petani yang jadi anggota parlemen. Petani adalah profesi prestisius. Sebaliknya gaji anggota parlemen tidak besar," kata Cécile.
Saya menyampaikan opini kepada dia. "Rasanya kecil kemungkinan jika petani di Indonesia menjadi anggota parlemen. Pada umumnya petani tidak punya pendidikan tinggi dan pendapatannya kecil," ujar saya kepadanya.
Tak lama setelah perbincangan singkat itu, beberapa anggota parlemen ke luar dari ruang sidang dan menuruni anak tangga. Perempuan berambut cokelat dan tinggi semampai, menghampiri saya dan Cécile.
"Maaf kalian harus menunggu. Sidang baru saja selesai," kata Adèle kepada kami.
Lantas dia mengajak kami menaiki tangga, lalu berbelok kiri menuju area selasar berlantai parket kayu. Sejenak sembari berjalan, saya memandangi langit-langit selasar dihiasi lukisan.
Di selasar kami bertiga duduk berdiskusi. Sebelumnya Cécile bercerita bahwa kami beruntung mendapat kesempatan langka, memasuki selasar bersejarah itu. Selama tujuh tahun menjadi jurnalis, Cécile baru kali ini wawancara di ruang tersebut.
Adèle membuka cerita tentang partainya, yakni Les Verts atau Partai Hijau yang dirasanya telah sukses mencegah parlemen Swiss membahas kemungkinan kerjasama dengan Malaysia, terkait bisnis kelapa sawit.
"Selama sembilan tahun di parlemen, bagi saya hal ini adalah sukses besar. Mayoritas anggota parlemen tidak ingin Swiss memakai minyak kelapa sawit yang merusak ekologi dan sosial masyarakat," kata perempuan yang bekerja untuk WWF itu.
Dia bercerita pernah bertemu warga Penang, Malaysia, yang mengikuti program kunjungan ke Swiss.
"Saya harus menahan tangis mendengar cerita mereka. Perusahaan perkebunan kelapa sawit di sana telah merusak banyak hal dalam kehidupan mereka. Warga kekurangan air bersih, hutan gundul, kehidupan sosial mereka berubah," tuturnya.
Adèle mengakui tidak mungkin industri makanan di Swiss nihil dari kandungan minyak sawit. Seperti halanya cokelat Swiss yang terkenal ke seluruh dunia, biasanya diberi tambahan minyak kelapa sawit agar teksturnya lembut.
Tetapi setidaknya menurut dia Swiss berkomitmen hanya membeli minyak sawit yang memenuhi standar, tidak merusak lingkungan dan sosial masyarakat.
Selain itu menurutnya Swiss memiliki alternatif minyak nabati yang lebih sehat, yakni minyak bunga rape. Produksi lokal minyak bunga rape juga meningkatkan pendapatan petani.
Menurut Adèle, dua toko retail terbesar di Swiss yakni Migro dan COOP berkomitmen hanya membeli produk kelapa sawit yang ramah lingkungan, dan tidak merusak kehidupan sosial masyarakat sekitar.
Migro dan COOP bukan hanya bergerak di usaha jual beli, melainkan sekaligus memproduksi barang konsumsi.
Dulu label produk makanan hanya mencantumkan tulisan bahan-bahannya adalah minyak kacang, padahal nyatanya adalah minyak kelapa sawit. Setelah ramai pembahasan di Eropa, bahwa perkebunan kelapa sawit pada umumnya tidak ramah lingkungan dan sosial, banyak warga Swiss mempertanyakan komitmen produsen makanan.
Berdasarkan hasil jajak pendapat nasional, sekira lima persen warga Swiss peduli di mana produk itu dibuat. Sedangkan 10 persen warga Swiss peduli agar produsen jujur mencantumkan bahan minyak sawit.
"Pada umumnya warga Swiss suka berjalan-jalan di hutan. Kami cinta hutan. Jadi warga Swiss tidak setuju hutan tropis rusak karena perkebunan kelapa sawit. Swiss harus memiliki kepedulian global, rusaknya hutan tropis di Borneo akan mempengaruhi seluruh dunia," ujar Adèle.
Di sisi lain, dia menyadari penolakan Swiss tidak akan berpengaruh besar terhadap bisnis para produsen terhadap minyak kelapa sawit. Jumlah penduduk Swiss sangat sedikit, hingga 30 Juni 2015 tercatat 8.279.700 jiwa. Bandingkan dengan penduduk Amerika Serikat 323,655 juta jiwa.
Nyaris di akhir wawancara, Adèle melontarkan pertanyaan kepada saya tentang Indonesia. "Apakah di negaramu ada Partai Hijau?" Saya menggeleng dan mengatakan,"Saya rasa penting mendorong Indonesia memiliki Partai Hijau. Semakin banyak konflik pengelolaan sumber daya alam. Di tempat tinggal saya, Kalimantan Barat, banyak konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan kelapa sawit." Adèle mengangguk.
Diskusi selama dua jam harus kami akhiri, karena hari sudah sore. Ruang sidang anggota parlemen sudah sangat sepi. Hanya kami bertiga yang berada di selasar yang tadinya ramai dengan lalu lalang para anggota parlemen. Adèle mengantar saya dan Cécile meninggalkan Palais Fédéral.