Kisah Krisha Murti: Di Kalijodo Ada 1.000 Tenaga Keamanan yang Siap Melakukan Apa Saja
Untuk menjamin keamanan di lapangan, setiap bos mempekerjakan "tenaga keamanan" dalam jumlah yang cukup besar.
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, JAKARTA - Aksi main bakar! Itulah ciri yang selalu dipertontonkan para pelaku tindak kekerasan setiap kali terjadi perang antargeng di Kalijodo, Jakarta Utara.
Peristiwa 22 Februari 2002 dini hari, tulis Harian Kompas, 4 Maret 2002, bukanlah yang pertama. Sebelumnya, skalanya disebut kecil, hanya satu-dua rumah.
Pada saat itu, karena jumlah rumah yang terbakar mencapai ratusan, barulah aparat pemerintah daerah dan keamanan tampak peduli.
Itu pun sebatas membongkar semua bangunan yang setiap orang tahu jelas melanggar peraturan karena didirikan di atas bantaran dan tanggul Banjir Kanal dan Kali Angke, yang masih berlangsung hingga Kamis (28/2/2002).
Kala itu, Krishna menyebut, terdapat lima bos besar di situ. Yakni Riri yang bergandengan dengan Agus, H Usman, Aziz, Bakri, dan Ahmad Resek. Mereka mengkapling-kapling Kalijodo sebagai daerah kekuasaan mereka.
Menurut Krishna Murti, para bos itu tidak mengelola perjudian. Mereka hanya menyediakan tempat dan menerima sewa dari operator judi yang adalah etnis Tionghoa.
Sekaligus, menjamin keamanan berlangsungnya perjudian. Artinya, tidak akan diganggu oleh siapapun, aparat, apalagi organisasi massa.
Menurut catatan Polsek Penjaringan kala itu, paling banyak adalah "anak buah" H Usman, sedikitnya 500 orang. Lainnya, antara 200-300 orang.
Maka, di Kalijodo terdapat sedikitnya 1.000 "tenaga keamanan" yang siap melakukan apa saja, bila ada yang mencoba mengganggu perjudian di situ.
Upah rata-rata setiap "anggota keamanan" sebesar Rp 30.000/malam.
Menurut Krishna Murti, para "tenaga keamanan" itu umumnya datang dari luar Jakarta. Semisal dari Banten dan Makassar atau daerah lain di Sulawesi.
Ke Jakarta mencari pekerjaan. Tetapi, setelah lama tidak mendapat pekerjaan, mereka akhirnya "melapor" ke Kalijodo, kepada teman-teman mereka satu daerah yang sudah lebih dulu bergabung dengan bos dari daerah yang sama.
"Tidak ada sistem rekrutmen di situ," kata Krishna.
Bila satu saat seseorang memutuskan untuk berhenti--bisa karena mendapat pekerjaan lain atau pulang ke kampungnya--dia tidak akan dihalang-halangi.
"Begitulah terjadinya pengumpulan massa di Kalijodo," kata Krishna Murti.