Imlek dan Cap Go Meh 2015

Asal Usul Perayaan Cap Go Meh

Sementara pada Dinasti Tung Han (25-220), oleh Kaisar Liu Chang, perayaan Yuan Shiau Ciek untuk menghormati Sang Buddha Sakyamuni.

Penulis: Steven Greatness | Editor: Steven Greatness
TRIBUN PONTIANAK/STEVEN GREATNESS
Tatung wanita saat perayaan Cap Go Meh di Singkawang. 

Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Steven Greatness

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Menurut kombinasi 10 Tian Gan dan 12 Di Zhi dalam sistem penanggalan Imlek, etnis Tionghoa di Indonesia akan merayakan hari Cap Go Meh. Kata Cap Go Meh berasal dari dialek Tiociu atau Hokkien yaitu Cap Go itu lima belas dan Meh itu malam. Artinya malam kelima belas.

Sedangkan dalam dialek Hakka disebut Cang Nyiat Pan yaitu cang nyiat adalah bulan satu dan pan itu pertengahan sehingga berarti pertengahan bulan satu.

Sementara di negeri daratan Tiongkok, perayaan Cap Go Meh dalam bahasa mandarin disebut Yuan Shiau Ciek artinya festival malam bulan satu dan di negeri barat lebih dikenal sebagai Lantern Festival.

Budayawan Tionghoa Kalbar, Lie Sau Fat menyatakan, setiap hari raya warga Tionghoa, baik religius maupun tradisi budaya ada asal-usulnya yang diceritakan dari mulut ke mulut, legenda, berdasarkan buku dengan beragam versi, tergantung budaya, tradisi dan daerah masing-masing.

Menurut pria kelahiran 1932 yang lebih dikenal dengan nama XF Asali ini, Cap Go Meh memiliki dua versi. Versi pertama adalah Yuan Shiau Ciek yaitu satu di antara festival yang dirayakan sejak Dinasti Xie Han (206 SM-24 M) untuk menandakan berakhirnya perayaan tahun baru Imlek.

"Secara religius pada umat penganut Taoisme, Cap Go Meh dikenal sebagai San Yuan yaitu hari lahir Shang Yuan Thian Kuan atau Dewa Langit yang memberikan karunia pada manusia," ujarnya.

Sementara pada Dinasti Tung Han (25-220), oleh Kaisar Liu Chang, perayaan Yuan Shiau Ciek untuk menghormati Sang Buddha Sakyamuni yang telah menampakkan diri pada tanggal 30 bulan 12 Imlek di Daratan Barat, yang ditafsirkan sama dengan tanggal 15 bulan 1 Imlek di Daratan Timur.

Oleh karena itu, Kaisar juga memerintahkan rakyatnya sembahyang syukuran, arak-arakan, memasang lampion, dan atraksi kesenian rakyat pada malam hari tepatnya Cap Go Meh.

Asali memaparkan, perayaan tersebut berlanjut secara turun-temurun hingga sekarang diperingati masyarakat Tionghoa yang menganut Tri Dharma (Sam Kaw) sebagai hari raya religius umat Taoisme, Budhhis, dan Konghucu.

"Sedangkan untuk etnis Tionghoa lainnya dirayakan sebagai hari raya tradisi budaya Yuan Shiau Ciek atau Cap Go Meh atau Lantern Festival sesuai kondisi dan situasi masing-masing," tuturnya.

Sementara versi lainnya, menurut Asali adalah cerita rakyat pada Dinasti Tung Zhou (770 SM - 256 SM) yaitu para petani pada tanggal 15 bulan 1 Imlek memasang lampion yang disebut Chau Tian Can di sekeliling ladang untuk mengusir hama dan menakuti binatang perusak tanaman.

Petani saat itu juga melihat perubahan warna api dalam lampion (Ten Lung) yang dipercaya dari perubahan warna api dalam lampion pada malam itu dapat diketahui cuaca yang akan datang, yaitu apakah kemarau panjang atau lebih banyak hujan sepanjang tahun.

Dengan demikian, setiap tahun pada hari yang sama petani akan memasang lampion di sekeliling ladang. Setiap tahun semakin bertambah banyak lampion yang dipasang sehingga membentuk suatu pemandangan yang indah pada tanggal 15 bulan 1 Imlek.

"Memasang lampion selain bermanfaat mengusir hama, juga tercipta pemandangan yang indah. Sedangkan untuk menakuti binatang perusak tanaman ditambah segala bunyi-bunyian, bermain barongsai serta arak-arakan tatung sebagai tolak bala dan supaya lebih ramai," cerita Asali.

Menurut Asali, kepercayaan dan tradisi budaya tersebut berlanjut serta berkembang turun-temurun baik di daratan Tiongkok maupun di daerah perantauan di seluruh dunia sesuai kondisi dan situasi negara masing-masing, termasuk di Kalbar. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved