Catatan Perjalanan ke Timor Leste

Peluru Masih Bersarang di Pinggang

Penembakan di gereja St Antonio Padua menyulut emosi warga Dili. Rasa nasionalisme dan ingin berpisah dari Indonesia membuncah.

Penulis: Stefanus Akim | Editor: Andi Asmadi
TRIBUNPONTIANAK/STEFANUS AKIM
PATUNG PEMUDA - Satu patung di Pantai Motael menggambarkan Amali berusaha menolong Levi yang tertembak saat peristiwa St Cruz, Dili. Keduanya masih hidup hingga sekarang dan aktif di Lembaga Comite 12 de Novembro. 

Catatan Perjalanan Wartawan Tribun Pontianak, Stefanus Akim

Suasana pagi di akhir Oktober 1991 sedang panas. Seorang intel militer Indonesia berusaha menangkap Sebastiao Gomes Rangel. Umat Katolik baru saja selesai misa Minggu. Beberapa suster menenangkan amarah Sebastiao. Tak disangka, emosi intel itu meledak.

SATU tembakan mengenai tubuh Sebastiao. Ia meninggal di dalam gereja St Antonio Padua, Motael, Dili, di tepi pantai saat angin semilir dari laut membelai lembut jemaat yang berduka.

Penembakan di gereja St Antonio Padua di Motael terus menjadi pembicaraan dan menyulut emosi warga Dili. Rasa nasionalisme dan ingin berpisah dari Indonesia membuncah. Dua pekan kemudian, Minggu 12 November 1991, emosi warga Timor Leste semakin memuncak.

Usai misa di gereja St Antonio Padua Motael orang-orang mulai melakukan aksi protes di jalan. Warga berjalan kaki menuju pemakaman St Cruz. Mereka sekaligus ingin berziarah ke makam Sebastiao Gomes yang dua pekan lalu tewas ditembak di depan gereja.

Kebetulan Bulan November adalah bulan arwah dalam kalender liturgi, umat Katolik biasanya berziarah ke makam, mendoakan mereka yang meninggal.

Dalam aksi itu warga Timor Leste juga membentangkan spanduk, Viva Xanana. Di antara pendemo ada, Levi dan Amali. Keduanya tak saling kenal, mereka ikut arus massa menuju pemakaman Santa Cruz. Sementara itu tentara Indonesia berjaga di sudut-sudut jalan dengan senjata siaga.

Aksi demo itu berakhir rusuh, tiba-tiba ada rentetan tembakan. Pendemo di bagian belakang roboh, yang lain bubar, lari tunggang-langgang. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste memperkirakan sedikitnya 271 orang tewas dalam insiden itu.

Pembantaian ini disaksikan dua jurnalis Amerika Serikat, Amy Goodman dan Allan Nairn, serta terekam video Max Stahl. Dalam video Max Stahl juga terekam aksi Amali yang menolong Levi. Dalam rentetan tembakan Amali menggendong Levi yang berlumuran darah.

Kini, aksi heroik Amali mendapat penghargaan dari pemerintah Timor Leste. Pemerintah membuat patung yang menggambarkan Amali menolong Levi di pinggir Pantai Motael tak jauh dari Gereja St Antonio Padua, Motael, tempat pertama kali aksi demo berlangsung.

Kejadian itu diperingati sebagai Hari Pemuda. "Ada di antara anak muda yang meletakkan bunga di patung kami, mereka mungkin mengira kami sudah meninggal," kata Amali.

Saya tak sengaja bertemu Amali, Levi, serta Manuel Saldahnya saat berkunjung ke Comissio De Acolhimento, Verdade E Reconciliacao (CAVR). Saldahnya juga punya kisah ketika penembakan itu terjadi. Ia ikut tertembak dan kini peluru itu masih bersarang di pinggangnya.

"Saya disarankan operasi ke Surabaya untuk angkat peluru. Tapi saya khawatir, siapa tahu dokternya anak seorang tentara Indonesia yang ayahnya bertugas di sini dan kebetulan meninggal di Timor Leste," ujar dia.

Kini setelah merdeka masyarakat Timor Leste berharap negaranya bisa lebih maju lagi. "Sekarang kita bebas, tak perlu bawa KTP, jalan saja dan aman. Siapa pun yang ada uang, silakan refreshing, pergi ke Bali, Yogya, atau Jakarta," kata Joao Maupelo da Costa.

Selain itu anak-anak Timor Leste juga sekolah ke berbagai negara seperti Fiji, Vanuatu, Australia, New Zealend, India, Indonesia dan lainnya. "Ada harapan besar negera ini akan lebih baik," tuturnya.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved