Ramadan 1433 H

Memanusiakan Diri

Bagaimana halnya dengan para nabi lainnya? Rasulullah SAW bersabda, "Puasa Nuh adalah satu tahun penuh, kecuali hari Idul Fitri dan Idul Adha.”

Oleh: HM Cholil Nafis Lc PhD
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU
 
IBADAH puasa diwajibkan oleh Allah SWT kepada seluruh umat beragama samawi tanpa terkecuali, meskupun cara dan metodenya berbeda-beda. Nabi Adam as berpuasa selama tiga hari setiap bulan sepanjang tahun. Riwayat lain menyebutkan, Nabi Adam as berpuasa sehari semalam pada waktu diturunkan dari taman surga.

Bagaimana halnya dengan para nabi lainnya? Rasulullah SAW bersabda, "Puasa Nuh adalah satu tahun penuh, kecuali hari Idul Fitri dan Idul Adha.” Sedangkan Nabi Ibrahim as terkenal dengan kegemarannya berpuasa terutama pada saat hendak menerima wahyu dari Allah SWT. Nabi Daud as biasa berpuasa secara berselang, sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa. Jadi, boleh dibilang tradisi puasa sama tuanya dengan peradaban manusia

Puasa mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan penegakan keadilan, ialah untuk lebih mendekatkan pada ketakwaan. Karenanya, para rasul diutus oleh Allah SWT dengan membawa kitab-Nya agar menegakkan keadilan di muka bumi.

Allah SWT. berfirman dalam surah Al-Hadid, “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-butki yang nyata, serta telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS 57:25)

Makna Adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya secara seimbang dan proporsional. Alquran menyebut adil sinonim dengan kata al-Mizan (seimbang) dan kata al-qisth (proporsional).

Al-mizan
ialah memberi sanksi dan balasan sesuai dengan perbuatannya, kadar besar dan kecilnya imbalan sesuai dengan perbuatannya (al Mu’minun - QS 23: 102-103). Artinya, meletakkan aturan secara rata tanpa pandang bulu dan tidak membedaka siapa yang berbuat, tetapi lebih melihat pada apa yang diperbuat.

Al-Qisth
ialah memberikan hak kepada pemiliknya secara proposional (al-Isra’ - QS 17:35). Artinya, memberi tenggang rasa kepada yang lain meskipun tidak sesuai dengan kadar perbuatannya. Seperti pengampunan dan melipat gandakan pahala dari Allah SWT, berbagi rasa kebahagiaan dengan sadekah kepada orang yang kurang mampu

Penegakan hukum seringkali menggunakan keadilan berdasarkan al-Mizan, dimana semua orang mempunyai status, hak dan kewajiban yang sama di depan hukum. Semua orang akan diadili sesuai dengan kadar perbuatannya secara seimbang.

Contohnya, semua orang yang sudah akil balig secara rata wajib berpuasa mulai terbit fajar sampai terbenam matahari tanpa ada perbedaan antara tua dan muda dan antara miskin dan kaya.


Sedangkan al-Qisth seringkali diukur dengan kadar rasa, sehingga posisi subjek turut menjadi pertimbangan dalam menetapkan keputusan. Seperti anak kecil berbeda dengan orang dewasa di depan hukum dalam memutuskan sanksinya meskipun melakukan perbuatan yang sama.

Allah SWT juga membedakan orang kaya dengan orang miskin dalam kewajiban berzakat, orang pintar dengan orang bodoh dalam memperoleh keutamaan. Akan tetapi yang kaya dan yang pintar harus berbagi kepada yang miskin dan yang bodoh.


Keadilan hanya dapat ditegakkan denga tiga pilar utama. Yaitu, memberi hak kepada yang punya, jika baik diakui baik, dan tanpa membeda-bedakan. Karenanya, pada zaman Rasulullah SAW, ketika ada seorang sahabat hendak berpuasa selamanya, tidak tidur sama sekali di malam hari untuk salat dan meninggalkan menggauli istrinya karena selalu pergi ke masjid maka Rasulullah menyerukan agar membagi waktunya untuk memenuhi hak dan kewajiban.

Beliau bersabda, “Tuhanmu mempunyai kepada dirimu, dirimu mempunyai kepadamu, keluargamu mempunyai hak kepadamu, maka tunaikanlah hak itu kepada yang memilikinya”

Mengasah diri untuk menegakkan keadilan kepada Allah SWT, kepada diri sendiri, kepada keluarga, dan kepada orang lain dapat dilakukan dengan latihan berpuasa. Sebab pada saat seorang muslim berpuasa telah menanam keimanan pada dirinya untuk “intim” mendekatkan dirinya kepada Allah SWT.

Memberi haknya kepada tubuh untuk istirahat dan revitalisasi organnya, memberi ruang untuk lebih akrab dengan keluarga dalam aktivitas puasa, dan mengasah empati kepada yang lain untuk saling berbagi.


Puasa dapat meraih keadilan, dan keadilan dapat mendekatkan diri kepada ketakwaan.  Puasa bukan semata-mata ibadah untuk mencapai ridha Allah SWT tetapi juga sebagai kebutuhan manusia untuk memanusiakan dirinya. (*)
 

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved