Masyarakat Nanga Dua Minta Pemerintah Jepang Bertanggungjawab

Penggagas Sejarah Petikah, Paulus Alexander menyatakan dimana masyarakat setempat meminta pemerintah Jepang harus bertanggungjawab

Penulis: Sahirul Hakim | Editor: Madrosid
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/SAHIRUL HAKIM
Masyarakat Nanga Dua Kecamatan Bunut Hulu saat menceritakan sejarah Petikah. 

Laporan Wartawan Tribun Pontianak Sahirul Hakim

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, KAPUAS HULU - Menyikapi terlupanya sejarah pahit Petikah di Desa Nanga Dua Kecamatan Bunut Hulu tersebut, Penggagas Sejarah Petikah, Paulus Alexander menyatakan dimana masyarakat setempat meminta pemerintah Jepang harus bertanggungjawab, melalui Pemerintah Indonesia memberikan kompensasi atau pembangunan untuk mensejahterakan masyarakat.

"Tak kalah penting juga adalah, sejarah ini harus diakui dengan dibuatkan monumen sejarah oleh Pemerintah kita. Dimana ada dua sejarah besar yakni, di Mandor dan Di Desa Nanga Dua," ujarnya kepada wartawan, Sabtu (3/11/2018).

Paulus menjelaskan, ada perbedaannya antara dua sejarah tersebut, dimana jika di Mandor adalah pusat penculikkan tokoh-tokoh politik pada jaman itu yang pro kemerdekaan dan pemerintahan.

Untuk di Petikah ini pusat pekerjaan paksa, Jepang juga mengeruk hasil kekayaan alam disini.

Baca: Klasemen Premier League Liga Inggris: Chelsea & Manchester City Ancam Posisi Liverpool

"Permasalahan ini sudah kami disampaikan ke Presiden RI Jokowidodo, dalam bentuk surat dan proposal, tidak hanya itu, pihaknya juga menembusi Komnasham, Kapolri, Panglima TNI, Kedutaan Jepang, Gubernur dan Bupati Serta Camat," ucapnya.

Selain itu juga kata Paulus, kalau dirinya telah membuka situs sejarah, namun Petikah ini tidak terdeteksi, sehingga dikhawatirkan apakah konpensasinya sudah dibayar oleh Jepang pada masa Pemerintahan jaman Orde baru, atau presiden sebelumnya. "Pastinya hingga saat ini masih dirahasiakan," ujarnya.

Menurutnya, penjajah Jepang mulai masuk ke Desa Nanga Dua Kecamatan Bunut Hulu sekitar tahun 1942 lalu. Tiga tahun setelah itu, Indonesia merdeka (1945). Terus orang Jepang tersebut, kembali ke tempatnya dan meninggalkan semua hasil tambang Batu Tungau yang ada.

"Maka kami berharap pihak terkait tak tutup mata sejarah pahit di Desa Nanga Dua," ungkapnya.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved