Pernyataan Sikap Himapol Indonesia Korwil III Tentang Revisi UU MD3
Ketentuan mengenai pimpinan MPR tertuang dalam pasal 15 yang terdiri atas satu orang ketua dan tujuh orang wakil ketua.
Penulis: Subandi | Editor: Dhita Mutiasari
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Subandi
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, KETAPANG – Gema lonceng mundurnya demokrasi di Indonesia mulai berderng. Hampir 20 tahun sudah sejak era reformasi alih-alih menuju demokrasi sejati, kita malah dihadiahi dengan pengesahan RUU MD3 yang syarat kontroversial.
Beberapa hari menuju penetapan revisi undang-undang No 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3), beberapa poin kontroversial tersebut diantaranya adalah.
Baca: Mahasiswa Program Studi Magister Untan Laksanakan PPM di Ketapang
Penambahan tiga pimpinan MPR, penambahan pimpinan DPR menjadi enama dan pimpinan DPD menjadi empat.
Ketentuan mengenai pimpinan MPR tertuang dalam pasal 15 yang terdiri atas satu orang ketua dan tujuh orang wakil ketua.
Kemudian mengenai pimpinan DPR terdapat dalam pasal 84 bahwa pimpinan DPR terdiri atas satu orang ketua dan lima orang wakil ketua.
Baca: Bupati Harap Mahasiswa Untan Bantu Percepatan Pembangunan di Ketapang
“Sedangkan pimpinan DPD dalam pasal 260 terdiri dari satu orang ketua dan tiga orang wakil ketua,” Kabid Infokom Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (Himapol) Fisip Untan Pontiaank, Widia Eka Lestari melalui rilis Ketua Umumnya, Hengki Hayatullah kepada Tribun di Ketapang, Minggu (11/3/2018).
Widia menilai hal tersebut merupakan ipmplikasi tanpa ada pemaparan urgensi yang jelas.
Lantaran pasal ini hanya diartikan sebagai transasksi pembagian kekuasaan dalam lingkaran parlemen.
Kemudian peranan DPR melakukan pemanggilan paksa, menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia pasal 73 mengatur tentang pemangilan pihak-pihak ke DPR dan pada ayat 4 huruf b kepolisian wajib mengikuti perintah DPR guna memanggil paksa dan pada ayat 5 kepolisian berhak menahan.
Hal tersebut melampaui fungsi DPR sebagai legislatif karena kewenangan pemanggilan paksa hanya dimiliki aparat penegak hukum bukan legislatif.
“Implikasi pemanggilan paksa yang tertuang dalam pasal tersebut akan mengakibatkan rawanya kepentingan politik tebang pilih,” ujarnya.
Selanjutnya kritikan atas DPR dapat dipidana atas pasal 122 yang berbunyi mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap perorangan, kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.