Kontroversi Perppu Kebiri, Ini Penjelasan Menteri Sosial

Jadi pelaku pun harus direhab, jangan-jangan ada persoalan-persoalan psikologis, ataupun psikologis

Editor: Arief
TRIBUN PONTIANAK / ANESH VIDUKA
Menteri Sosial RI, Khofifah Indar Parawansa, menyerahkan bantuan berupa sejumlah perlengkapan sekolah kepada sejumlah pelajar kurang mampu yang berprestasi pada acara penyerahan bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sosial hibah dalam negeri, di kantor Pos KPRK, Jl Sultan Abdurrahman, Pontianak, Kalbar, Sabtu (11/6/2016). 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu) nomor 1 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, masih menjadi polemik.

Satu di antara pemicunya adalah terkait tuntutan 10 tahun penjara terhadap pelaku kejahatan seksual di Tangerang, beberapa waktu lalu.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansah mengatakan, memang sempat ada proses debat publik yang pro dan kontra terhadap perppu.

Namun semuanya sudah dibahas sampai akhirnya diterbitkan perppu, dan di antaranya ada pemberatan dan hukuman tambahan.

“Sampai di sini kalau misalkan ada penolakan dari IDI kita tentu menghormati kebijakan, keputusan dan kesimpulan, namun saya rasa ketika hakim akan mengambil keputusan akan ada hukuman tambahan bagi pelaku paedofil berkali-kali, ingat ini berkali-kali. Nanti hakim dalam putusannya akan menentukan eksekutornya siapa. Kalau sudah putusan hakim itu sudah mengikat,” kata Khofifah saat berkunjung ke Pontianak, Sabtu (11/6/2016).

Dia menjelaskan, dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), pelaku anak, maksimum separuh dari maksimum hukuman orang dewasa. Jadi maksimum hukuman yang dijatuhkan adalah 10 tahun

“Jadi kemarin itu yang sudah divonis itu pelaku anak-anak, seperti di Rejang Lebong, makanya 10 tahun,” jelasnya.

Menurutnya, di dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, terkait dengan pemberatan, seumur hidup sampai mati, hukuman tambahan, serta publikasi identitas pelaku atau kebiri kimia atau pemasangan alat deteksi elektronik di dalam proses, semua ini akan diikuti proses rehabilitasi.

“Jadi pelaku pun harus direhab, jangan-jangan ada persoalan-persoalan psikologis, ataupun psikologis, karena ada indikasi pelaku itu dulu sebetulnya juga para korban, lalu melakukan seperti apa yang dulu dia terima, jadi ini yang sekarang kita lakukan identifikasi, dirjen lapas kemenkum dan Ham sedang melakukan koordinasi dengan kementrian Sosial,” jelasnya.

Dia menjelaskan, dalam perppu tersebut, ada tiga kementerian yang diberi tugas pengawasan jika hukuman dilakukan, yakni Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan.

Kemensos kata Khofifah juga tengah menyiapkan draf untuk memberikan input di dalam PP, hal tersebut agar proses rehabilitas bisa diambil pengalaman dari proses yang telah berjalan bebagai rekomendasi dari organisasi non pemerintah yang sudah dikumpulkan.

“Maka kita juga perlu melihat putusan pengadilannya, di mana yang akan menjadi tanggung jawab pemerintah dan mana yang menjadi tanggung jawab pelaku. Soal biaya rehabilitasi tergantung dari putusan pengadilan, sebab di dalam undang-undang perlidungan anak, sesungguhnya sudah memberikan regulasi bahwa pelaku bisa berikan semacam ganti rugi kepada korban,” jelasnya.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved