TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Tangis Kim Jong Un menyambut kepulangan tentara Korea Utara dari perang di Rusia menjadi sorotan dunia.
Pada Kamis 21 Agustus 2025, pemimpin tertinggi Korea Utara itu terlihat menitikkan air mata saat menghadiri upacara penghormatan bagi pasukan yang gugur dalam perang di wilayah Kursk, Rusia.
Momen ini sekaligus menandai pengakuan langka dari Kim tentang kerugian besar yang dialami militernya.
Ia menyebut bahwa “hatinya sakit” menghadapi kenyataan bahwa ribuan tentaranya tak kembali dalam keadaan hidup.
Di balik peristiwa penuh emosi itu, terdapat sisi human interest yang kuat: kesedihan seorang pemimpin yang selama ini dikenal keras, serta duka keluarga yang kehilangan anggota tercinta.
Namun, ada pula pelajaran penting yang bisa dipetik, terutama tentang harga mahal yang harus dibayar dalam sebuah konflik bersenjata.
[Cek Berita dan informasi berita viral KLIK DISINI]
Upacara Menghormati Tentara Korut yang Gugur
Upacara pelepasan prajurit yang tewas digelar di Pyongyang dengan penuh simbolis.
Media pemerintah KCNA melaporkan, acara tersebut dihadiri langsung oleh Kim Jong Un bersama para komandan unit yang pernah bertempur di Kursk.
Kim memberikan lencana penghargaan kepada para tentara yang masih hidup dan bingkai foto untuk mereka yang gugur, lengkap dengan nama berlapis emas.
Ia bahkan memeluk anak-anak dari keluarga korban, sebuah gestur yang jarang terlihat dari seorang pemimpin otoriter.
“Hati saya sakit dan pahit saat menghadapi kenyataan bahwa saya hanya bisa bertemu sosok-sosok mulia yang telah menyerahkan nyawa mereka demi kemenangan dan kejayaan melalui foto-foto di dinding peringatan,” ujar Kim dalam pidatonya, seperti dikutip KCNA.
Ia juga menambahkan, “Saat saya berdiri di depan keluarga yang ditinggalkan para prajurit yang gugur, saya tidak tahu bagaimana mengungkapkan penyesalan dan permintaan maaf karena tidak bisa melindungi putra-putra kami yang berharga.”
Kembali dari Medan Perang Rusia-Ukraina
Selain penghormatan bagi yang gugur, acara tersebut juga menjadi perayaan kepulangan unit tentara Korea Utara yang selamat.
Mereka disebut Kim sebagai “tentara heroik” dan disambut dengan penuh pujian.
Foto-foto yang dirilis KCNA memperlihatkan suasana haru: keluarga tentara menangis, Kim merangkul mereka, dan para prajurit berdiri tegak dengan seragam penuh tanda jasa.
Bagi Korea Utara, ini adalah upaya membangun narasi heroisme sekaligus memperkuat legitimasi kepemimpinan Kim.
Namun di balik narasi itu, fakta berbicara lain.
Menurut perkiraan intelijen Ukraina dan Amerika Serikat, dari sekitar 12.000 tentara Korea Utara yang dikerahkan, hampir 4.000 orang tewas atau terluka.
Angka itu menunjukkan betapa beratnya kerugian yang harus ditanggung Pyongyang.
Korea Utara dan Rusia: Aliansi yang Kontroversial
Pengiriman pasukan Korea Utara ke Rusia bukanlah sesuatu yang diumumkan secara terbuka sejak awal.
Pyongyang sempat menolak mengonfirmasi keterlibatan mereka.
Namun, sejak pertemuan tingkat tinggi antara Kim Jong Un dan Presiden Rusia Vladimir Putin pada tahun lalu, kolaborasi militer keduanya semakin terbuka.
Bagi Rusia, dukungan Korea Utara berarti tambahan tenaga manusia dan peralatan militer dalam invasi yang berlarut-larut.
Bagi Korea Utara, partisipasi ini dipandang sebagai strategi memperkuat hubungan dengan sekutu lama sekaligus mencari keuntungan ekonomi dan politik di panggung global.
Dampak Geopolitik
Bagi Rusia, pasukan tambahan memberi napas baru di tengah perang yang menguras sumber daya.
Bagi Korea Utara, partisipasi militer ini menjadi kesempatan memperlihatkan loyalitas sekaligus mendapatkan imbalan diplomatik dan ekonomi.
Bagi dunia internasional, hal ini menimbulkan keprihatinan tentang eskalasi konflik dan potensi perluasan perang.
Duka yang Sama, Meski Bendera Berbeda
Momen tangis Kim Jong Un mengandung pesan human interest yang mendalam.
Di luar identitas negara, ideologi, maupun propaganda politik, ada duka manusia yang sama: seorang ayah, ibu, atau anak yang kehilangan keluarga tercinta.
Kesedihan keluarga tentara Korea Utara tak jauh berbeda dengan keluarga korban perang di belahan dunia lain, termasuk Ukraina dan Rusia sendiri.
Foto Kim yang merangkul anak-anak korban menjadi simbol universal: perang selalu meninggalkan luka generasi, bukan hanya di medan tempur, tetapi juga di rumah-rumah yang ditinggalkan.
Edukasi: Belajar dari Harga Perang
Dari peristiwa ini, publik bisa belajar tentang harga yang harus dibayar dalam konflik militer.
Bukan hanya biaya ekonomi atau politik, tetapi juga kerugian manusia yang sulit terhitung.
Pelajaran Penting:
- Perang selalu membawa korban jiwa – Data korban yang mencapai ribuan orang menunjukkan bahwa perang bukan sekadar strategi geopolitik, melainkan tragedi kemanusiaan.
- Transparansi jarang hadir – Butuh waktu lama hingga Korea Utara mengakui kerugian militernya. Hal ini menunjukkan bagaimana informasi perang sering kali dikendalikan untuk kepentingan politik.
- Dampak lintas generasi – Anak-anak yang kehilangan orang tua akan membawa luka psikologis hingga dewasa, menciptakan rantai trauma panjang.
Tangis yang Mengingatkan Dunia
Tangis Kim Jong Un mungkin jarang terlihat, namun momen itu merefleksikan realitas pahit yang tidak bisa ditutupi oleh propaganda: perang membawa duka mendalam, bahkan bagi mereka yang menyebut diri “pemenang.”
Kepulangan tentara Korea Utara dari Rusia bukan hanya kisah tentang kemenangan atau kekalahan, melainkan tentang kemanusiaan yang terluka.
Dari tragedi ini, dunia seharusnya belajar kembali tentang pentingnya mengedepankan diplomasi dibanding mengorbankan nyawa ribuan manusia di medan perang.
(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Tangis Kim Jong Un Sambut Tentara Korut Kembali dari Perang untuk Rusia
* Baca Berita Terbaru Lainnya di GOOGLE NEWS
* Dapatkan Berita Viral Via Saluran WhatsApp
!!!Membaca Bagi Pikiran Seperti Olahraga Bagi Tubuh!!!