TRIBUNPONTIANAK.CO.ID – Pembongkaran ratusan bangunan di Kampung Tegaljunti, Purwakarta, menuai kebingungan dan kekecewaan warga.
Salah satu warga, Enok, mengaku telah tinggal di lokasi tersebut selama 13 tahun dan rutin membayar Rp 500 ribu per tahun ke kantor pengairan.
Namun, rumah yang ia tempati tetap dibongkar mendadak tanpa kompensasi dan tanpa kejelasan nasib penghuninya.
Pemerintah daerah menyebut lahan yang ditempati merupakan tanah negara milik Perum Jasa Tirta II, dan pembongkaran dilakukan demi kepentingan lingkungan serta pembangunan infrastruktur.
Bupati Purwakarta menegaskan tidak ada kompensasi bagi warga karena mereka dianggap menempati lahan secara ilegal.
Meski demikian, warga merasa tidak mendapat keadilan karena tidak dilibatkan dalam dialog yang transparan.
"Saya bukan kambing, Pak. Harusnya ada hati nurani," kata Enok dengan nada getir saat mengadu ke DPRD Purwakarta.
[Cek Berita dan informasi berita viral KLIK DISINI]
Apa yang Terjadi di Kampung Tegaljunti, Purwakarta?
Rabu, 11 Juni 2025, menjadi hari yang mengejutkan bagi ratusan warga di Kampung Tegaljunti, Kecamatan Tegal Munjul, Kabupaten Purwakarta.
Rumah-rumah mereka, termasuk milik Enok, dibongkar secara tiba-tiba. Enok, salah satu warga terdampak, mengaku telah tinggal di lokasi tersebut selama 13 tahun dan rutin membayar Rp 500 ribu per tahun ke kantor pengairan.
“Saya pindah, uangnya mana? Penggantinya mana? Saya tinggal di sini sudah 13 tahun. Tiap tahun bayar Rp 500 ribu ke Kantor Pengairan. Ada bukunya juga,” kata Enok, dikutip dari TribunJabar.
Pembongkaran ini menyasar 417 bangunan di sepanjang saluran Solokan Gede dan Suplesi Kamojing, termasuk rumah tinggal, tempat usaha, hingga pos lembaga masyarakat.
Mengapa Pembongkaran Dilakukan?
Apa Alasan Pemerintah?
Pemerintah Kabupaten Purwakarta menyatakan bahwa pembongkaran dilakukan atas dasar legalitas lahan yang merupakan milik negara dan dikelola oleh Perum Jasa Tirta II.
Menurut Bupati Purwakarta, Saepul Bahri Binzein, langkah ini penting untuk menjaga kelestarian lingkungan dan mengendalikan banjir.
“Ini tanah negara. Kita enggak bisa kasih kompensasi karena mereka menempati tanah negara,” ujar Bupati Binzein.
Ia juga menegaskan bahwa upaya penertiban sudah melalui proses pemberitahuan bertahap, dan sebagian warga telah melakukan pembongkaran secara mandiri.
Tujuan dari pembongkaran ini disebutkan juga berkaitan dengan pembangunan jalan guna mengatasi kemacetan di kawasan tersebut.
Bagaimana dengan Kompensasi bagi Warga?
Mengenai keluhan warga seperti Enok yang mengaku membayar sewa tahunan ke kantor pengairan, Bupati menyarankan hal itu diklarifikasi langsung ke pihak Perum Jasa Tirta II.
“Kalau soal sewa, silakan tanya ke PJT II. Kami hanya menertibkan bangunan di atas lahan negara,” ucapnya.
Bagaimana Tanggapan Warga?
Apa yang Dirasakan Enok dan Warga Lain?
Bagi warga seperti Enok, pembongkaran ini terasa mendadak dan tidak manusiawi.
Ia merasa kecewa karena tidak ada pejabat daerah yang hadir saat rapat dengar pendapat di DPRD Purwakarta sehari sebelumnya.
“Harusnya datang dan putuskan langsung. Saya bukan kambing, Pak. Harusnya ada hati nurani,” keluh Enok.
Enok tidak sendiri. Ratusan warga lainnya juga terimbas, dan banyak dari mereka merasa bingung harus pindah ke mana setelah rumah mereka diratakan.
Apakah Kasus Serupa Pernah Terjadi di Daerah Lain?
Apa yang Terjadi di Sidoarjo?
Fenomena pembongkaran bangunan liar di atas lahan negara atau saluran air bukan hanya terjadi di Purwakarta.
Di Desa Gemurung, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Sidoarjo, puluhan bangunan liar juga dibongkar pada April 2025.
Pembongkaran tersebut dilakukan oleh Satpol PP dengan dukungan aparat TNI dan polisi.
Berbeda dengan di Purwakarta, proses penertiban di Sidoarjo berlangsung lebih kondusif karena telah didahului oleh sosialisasi kepada warga.
“Kami sosialisasikan terlebih dahulu. Dan mereka menyadari bahwa mendirikan bangunan di atas saluran air melanggar aturan,” jelas Kepala Satpol PP Sidoarjo, Yanny Setyawan.
Setelah pembongkaran, Pemkab Sidoarjo berencana melakukan normalisasi saluran air dan pelebaran jalan guna mencegah banjir dan meningkatkan akses warga.
Bagaimana Nasib Pedagang yang Tergusur?
Sebagian besar pedagang di Gemurung juga menyadari posisi bangunan mereka berada di atas saluran air.
Mereka mengaku tidak menolak penertiban, tetapi berharap ada solusi dari pemerintah.
“Saya ingin dapat tempat baru di timur. Soalnya nggak punya lagi tempat cari nafkah,” kata Asriati, salah satu pedagang.
Harapan itu ditanggapi positif oleh pemerintah desa setempat, yang berjanji menyediakan lokasi pengganti bagi para pedagang yang terdampak.
Apa Pelajaran dari Kasus Ini?
Bagaimana Seharusnya Penertiban Dilakukan?
Kasus di Purwakarta dan Sidoarjo menunjukkan dua pendekatan berbeda dalam menertibkan bangunan liar.
Di Sidoarjo, pendekatan persuasif dan sosialisasi terbukti dapat meminimalisir konflik. Sementara di Purwakarta, komunikasi yang dinilai mendadak memicu ketegangan dengan warga.
Penertiban yang dilakukan di atas lahan negara memang memiliki dasar hukum.
Namun, dalam praktiknya, penegakan hukum perlu dibarengi dengan pendekatan kemanusiaan dan dialog terbuka agar masyarakat tidak merasa diperlakukan secara sepihak.
(*)
Artikel ini telah tayang di TribunJatim.com dengan judul Sudah Bayar Rp500 Ribu Selama 13 Tahun, Enok Bingung Rumahnya Dibongkar Mendadak: Saya Bukan Kambing
• Baca Berita Terbaru Lainnya di GOOGLE NEWS
• Dapatkan Berita Viral Via Saluran WhatsApp
!!!Membaca Bagi Pikiran Seperti Olahraga Bagi Tubuh!!!